DUA : TAWARAN

2.1K 315 49
                                    

Ibu kembali menemuiku di kamar setelah dirinya menemui ayah di ruang keluarga. Wajah ibu tampak tak bergairah, matanya memerah seperti menahan tangis. Ia sesekali mengucek-ngucek hidungnya. "Ah hidung ibu gatal sekali." katanya seperti orang putus asa.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa sayang. Maaf ibu tidak bisa melanjutkan ceritamu lagi. Segera ke ruang makan, kita akan makan siang bersama-sama!"

"Ada yang ibu sembunyikan dariku?" ibuku baru saja akan melangkah keluar, dan langkahnya seketika terhenti di depan pintu ketika pertanyaanku terlontar jelas.

"Hanya memikirkan kuliahmu saja."

"Ada apa dengan kuliahku?"

Hening sejenak, lalu ibu mencoba menjawab, "Ibu hanya bingung, kau akan melanjutkan kuliah dimana. Lagipula anak sepandaimu seharusnya kuliah di luar negeri, sehingga kelak jika kau sudah besar kau akan menjadi pengusaha yang sukses, Vendela."

"Luar negeri?"

"Ah, nanti saja bahasnya, setelah selesai makan siang! Ayo cepat, ibu tunggu di meja makan!" ibu langsung pergi meninggalkanku dengan langkah kaki yang cepat sekali.

Aku segera merapihkan surat-surat dan beberapa sertifikat yang diletakan di lantai. Setelah kurasa selesai, aku beralih ke meja riasku, kemudian menguncir rambut. Aku sebenarnya ingin sekali mempunyai warna rambut coklat muda, karena sepertinya akan sangat cocok dengan kulitku yang berwarna putih. Apalagi aku tidak ingin teman-temanku terus-terusan memujiku karena rambutku yang terbilang berbeda dari wanita pada umumnya, bahkan tidak pernah ada manusia yang dilahirkan dengan memiliki rambut biru sepertiku. Sehingga banyak sekali yang bilang kalau rambutku diberi cat pewarna rambut, sebagian ada yang mengira aku menggunakan rambut palsu. Sangat tidak masuk akal.

Tujuanku menata rambutku agar ayahku bisa tersenyum melihat kecantikanku di ruang makan nanti. Aku juga ingin sesekali ayah dan ibuku terlihat akur, sehingga bisa meminimalisir adanya perang meja makan yang keseratus kalinya. Setelah semuanya selesai, aku segera ke dapur. Ibu sedang duduk di sisi kanan meja dan ayah duduk tepat di depan kursiku. Di meja sudah disajikan beberapa makanan kesukaanku.

"Ayo, duduk! Sudah ibu buatkan makanan kesukaanmu-cumi bakar dan sup kari." ibu tersenyum kepadaku, sambil tangan kirinya memegang garpu.

Aku membalas tersenyum.

"Mau minum apa, Nona?" tanya Nona Emil menyerbu masuk ketika ibu menderingkan lonceng kecil penanda makan siang siap disajikan.

"Ah, aku yang ambil sendiri saja."

Nona Emil seorang pelayan serabutan di rumahku. Ia seorang perawan tua yang ditinggal menikah oleh seorang pria. Katanya, sebelum acara pernikahan dimulai, sang mempelai pria tidak datang dengan alasan ada panggilan kerja yang mendadak di luar kota. Merasa tak percaya, Nona Emil akhirnya menyelidiki calon suaminya sendiri. Dan usut punya usut, ternyata sang mempelai pria harus mendatangi isterinya yang harus melahirkan saat itu juga. Merasa trauma, akhirnya Nona Emil menetapkan untuk tidak menikah dulu, meskipun sampai sekarangpun masih. Selama ia mengabdi di rumahku, dirinya kukenal sebagai pribadi yang dapat dipercaya. Sedikit pendiam-walaupun jika hanya aku dan dirinya yang sedang di rumah, namun sebenarnya selain membereskan rumahku, ia juga sering sekali bergunjing dengan sesama pembantu sekitar komplek rumahku. Ada banyak topik yang ia bicarakan, mulai dari dunia selebriti, dirinya sendiri, hingga kebiasaan baik-buruk majikannya, bahkan berita bahwa aku mendapatkan sertifikat sebagai anak tercerdas sedunia sudah menyebar ke seluruh penduduk komplek rumahku. Lama-lama kalau begini terus, aku bisa jadi bintang Top deh.

"Kau cantik benar, Putriku." sapa ayah dengan senyumnya yang menawan

Aku membalas tersenyum. Tanganku meraba sisi kanan meja mengambil napkin dan meletakkan serbet dipangkuan, kemudian beralih menuju alat makan yang diletakan telungkup.

VendelaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang