Part 4

1.8K 82 3
                                    

Aray's POV

Aku menghela napas sejenak sebelum turun dari motorku.

Hari ini akan berjalan , entah seberapa buruk itu , hari ini pasti akan berakhir .

Aku menyeret langkahku, sedikit bergegas karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 6.30 . Sudah kuduga papan pengumuman dimana sudah penuh diisi oleh anak- anak yang ingin melihat dimana kelas mereka ditempatkan.

Tidak sulit bagiku untuk mendapati namaku yang terletak di kelas 10-ips-2. Sambil membenarkan posisi kacamataku yang melorot, aku berjalan dengan sembari melepas jaketku.

Aku memastikan langkahku sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan kelas. Mataku menyapu seluruh ruangan dan mendapati bangku kosong yang akan kududuki.

Disebelahku sudah terdapat seorang anak laki-laki, tubuhnya gempal. Dia terlihat sedang menyumpal telinganya menggunakan headset.

Kuletakkan tas hitamku diatas kursi lalu duduk. Kembali mengedarkan pandanganku di seluruh kelas ini. Tak ada yang dapat menarik perhatianku. Kurogoh saku celanaku untuk mengambil ponsel. Youtube akan selalu jadi teman terbaikku. Selamanya.

Bergegas aku menggeser layar ponselku lalu membuka kuncinya. Tidak sengaja mataku menangkap sebuah update dari aplikasi Path.

Michi Naomi Dean is listening to We Don't Talk Anymore Charlie Puth feat. Selena Gomez

Hatiku berdesir.

Michi. Gadis pendek sialan yang merupakan pemilik saham terbesar dihatiku. Suara tawanya yang renyah selalu terdengar indah di telingaku.

Seperti film semua berputar diotakku. Bagaimana kami berkenalan. Bagaimana kami menjalani hobi yang sama. Kami sama-sama jatuh cinta pada gitar. Tanpa sadar, aku pun jatuh kepadanya.

Aku berpacaran dengannya hampir satu tahun, cukup lama untuk sebuah cinta monyet pertamaku di masa SMP. Aku ingat betapa manisnya cinta pertamaku bersama Michi. Kali pertamaku menatap matanya lalu pipinya berubah menjadi kemerahan akibat menahan rasa malu.

Aku ingat kali pertama aku mencoba memegang tangannya di malam itu. Mengingatnya sama saja membuka luka lamaku.

Masih jelas diingatanku kejadian malam itu, Michi memutuskan hubungan kami lewat aplikasi BBM tanpa alasan. Ia hanya mengatakan bahwa ia ingin berpisah dariku. Tak ada alasan lain.

Aku sudah berusaha menahannya untuk pergi dari kehidupanku tetapi dia sangat keras kepala. Beberapakali aku mencoba menghubunginya lagi tapi hanya berakhir dengan pesan yang tak berbalas.

Sampai detik ini tidak ada yang dapat menggantikan Michi. Belum mungkin. Ntahlah, aku tidak terlalu berharap.

"Gue Afrizal." Kulihat sebuah tangan terulur ke arahku.

"Gue Arayandi. Panggil gue Aray." Ujarku.

Aku tersenyum kepadanya. Ia pun tersenyum kepadaku. Aku bergegas menghentikan kegiatan senyum-senyuman-jijik ini dengan memalingkan kepalaku ke lain arah. Bisa berabe kalau dilanjutkan. Aku kan masih mencintai wanita *kibas rambut*

Waktu pun berlalu, tak terasa kelas ku hampir sepenuhnya terisi. Hanya ada beberapa bangku kosong yang belum berpenghuni. Aku belum melihat ada yang spesial di kelas ini. Apalagi, aku satu-satunya anak dari smpku yang ada di kelas ini.

Tak terasa, bel pun telah berbunyi. Aku bergegas melepas headsetku dan menswitch off ponsel pintarku.

Bunyi sepatu memasuki ruang kelasku. Hak yang tingginya dapat kuperkirakan mencapai lebih dari 7cm, terdengar sangat nyaring ditelingaku.

Kulihat, ia sudah duduk di kursi guru. Ternyata, ia adalah wali kelasku. Seperti biasanya, ia membacakan absen dan melihat anak satu persatu.

Umurnya sekitaran 28 tahun. Masih terbilang muda untuk seukuran guru sepertinya. Setelah atmosfer ketegangan hilang, kelasku bergantikan dengan gelak tawa.

Ternyata ia adalah seorang guru seni. Mendengar hal itu aku langsung merasa bersemangat! Ia membuat beberapa kelompok kecil lalu menugaskan agar anak-anaknya menampilkan sesuatu didepan kelas sebagai perkenalan.

Ia pun mengijinkan kami menggunakan alat musik yang ada di ruang seni untuk digunakan dalam pertunjukan kecil ini.

Aku cukup bersemangat. Mengingat hobiku juga berhubungan dengan kegiatan ini. Aku langsung mengambil gitar yang tersedia dan segera bergabung dengan kelompokku.

Aku sekelompok dengan Afrizal, Sanu, Iqbal dan Rendra. Kami sepakat membawakan lagu Bento- Iwan fals.

Formasi pun telah dibentuk. Aku, tentu saja, sebagai pemain gitar. Afrizal akan bernyanyi bersama Rendra. Sanu akan bermain cajon dan Iqbal akan bertanggung jawab dengan bass.

Kami berlatih cukup singkat. Lalu, tak berapa lama. Kami tampil didepan kelas.

Aku mulai menarikan jari-jariku diatas gitar. Kuketuk ketukkan kaki guna menyamai tempo dengan cajon. Afrizal mulai bernyanyi dengan suara emasnya. Ups, bukan emas. Timah lebih tepatnya.

Kelas kami pun terbawa suasana. Semua ikut bernyanyi, ada pula yang bertepuk tangan.

Aku pun ikut senang. Dengan lincah, kumainkan senar dengan indahnya.

Aku melihat kearah luar jendela.

Kulihat gadis yang tadi pagi mengacungkan jari tersakralnya kepadaku.

Aku tersenyum kepadanya.

Dia membalas.

Aku bergumam dalam hati.

Aku telah menemukan sesuatu yang lebih manis. Lebih manis dibandingkan coklat panas bercampur marshmellow di malam itu.

Aku, Kamu Dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang