Hujan turun membasahi bumi. Aku terduduk di bangku halte, suasana ini yang paling ku suka. Saat hujan turun, saat-saat yang akan membuatku tenang.
Aku berjalan ke sisi halte. Kumainkan tanganku dibawah guyuran hujan, kebiasaanku ketika hujan turun. Hawa disini semakin dingin. Dan aku mulai tak nyaman berada sendirian disini.
Ponselku bergetar. Entah siapa yang menelpon. Tentu bukan orang tuaku. Dulu, aku sangat ingin mempunyai seorang kakak. Kakak yang akan melindungiku. Kesedihan terlihat jelas dimataku.
Memiliki seorang kakak. Ya, itu yang aku inginkan. Tapi? Itu hanya hayalanku saja. Hanya bualan semata. Aku hanyalah anak tunggal di keluarga Symphsons.
Kuambil ponsel yang ada disaku celanaku. Kupandangi layar ponselku. Nomor tidak dikenal. Siapa? Aku tak pernah memberi nomorku pada siapapun.
Kuangkat telpon dari nomor yang tidak aku kenal. Jujur, aku malas mengangkatnya. Tapi? Ah sudahlah.. ini akan membingungkan.
"Halo, ini siapa?"
"Ini aku manis"
"Untuk apa kau menelponku?"
"Aku mengkhawatirkanmu manis"
"Untuk apa kau mengkhawatirkanku?"
"Apa kau mau mendengar alasannya?"
"Aku? Entahlah. Apa ada yang penting lagi sebelum ku tutup telponnya?"
"Tung.."
'Pip'
Tidak jelas, itulah dia. Kenapa dia mendapat nomorku. Kulihat kejalanan, Hujan sudah reda.
Kulangkahkan kakiku keluar dari halte itu. Aku berjalan dengan memandangi sekitar, berawal dari langit.
Dulu saat masih anak-anak, aku pernah bermimpi untuk memiliki sayap dan terbang kesana kemari. Melintasi jalanan, dan menembus awan. Sebuah hayalan yang sangat indah. Senyum terukir diwajahku.
'Citt'
Terdengar ban berdecit, aku mengalihkan pandanganku. Keluarlah sesosok makhluk halus yang berjalan kearahku.
"aku bukan makhluk halus manis" Vano berucap sambil tersenyum
"terserah" ucapku acuh dan pergi menjauhi Vano. Dari mana dia tau aku sedang disini?
"Hei manis! Tunggu aku, ayo kuantar kau pulang!" teriak Vano dari belakang.
Aku tetap berjalan dan mengacuhkannya, layaknya seperti orang tuli yang diajak bicara. Oke, aku tidak tuli. Hanya pura-pura tidak mendengar.
Mobil Vano berhenti disampingku, aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli.
"hei, ayo! Aku antar kau pulang" Vano menawarkan tumpangan padaku. Tapi maaf, aku tidak mengikuti ucapannya. Aku tetap berjalan layaknya orang tuli, berpura-pura tidak mendengar.
'Sret'
Tanganku ditarik paksa, pergelangan tanganku sangat sakit. Kasar sekali dia. Mau tak mau aku mengikuti langkah kakinya. Vano membukakan pintu mobil untukku, aku melirik dia. Wow! Apa hanya karna aku acuhkan dia marah seperti ini? Betapa menyeramkan wajahnya itu.
'Brak'
Vano menutup pintu mobil dengan kasar, dia marah? Dasar aneh. Aneh sekali dia, hanya karena aku acuhkan dia marah?
Vano menyalakan mobilnya, lalu mulai jalan. Suasana hening. Dia tidak memulai pembicaraan, aku pun begitu. Aku tidak pintar untuk memulai pembicaraan.
Kulihat dari sudut mataku, dia masih marah? Karena aku? Apa yang harus kulakukan? Meminta maaf? Untuk apa aku minta maaf, aku tidak salah apa-apa kan? Dianya saja yang aneh.
***
Kami sudah sampai didepan rumahku. Sejak perjalanan, Vano hanya diam membisu. Lagi pula aku tidak tau harus bicara apa.Aku tidak bergerak sama sekali, entah mengapa pergerakanku terkunci. Suasana tetap hening. Aku ingin turun dari mobil ini, tapi badanku seakan mati rasa.
Aku menatap Vano, dia pun balik menatapku. Wajah Vano tetap menyeramkan seperti tadi, tapi mata violetnya memikatku. Aku tenggelam dalam pandangannya.
Kemudian, ia memejamkan matanya sesaat. Guratan amarah diwajahnya menghilang. Ia membuka matanya kembali dan tersenyum kearahku.
"Kita sudah sampai, manis. Saatnya kembali kerumah" Ia berkata dengan riangnya. Aku mengernyit bingung. Secepat ini berubahnya?
"Ada apa?" Dia bertanya dengan memiringkan kepala. Manisnya. Apa yang barusan aku pikirkan? Aish.
"Tidak." aku menjawab dengan menggelengkan kepalaku.
"Aku akan turun" Jawabku singkat. Dan membuka pintu mobil. Vano mengelus rambutku, aku diam mematung.
"Selamat malam manis, tidur nyenyak. Jangan memimpikan aku." Dia tersenyum. Percaya diri sekali dia. Memimpikannya? Oh ayolah.
"Tidak akan. Dan tak akan pernah." Jawabku dingin dan memutar bola mataku.
"Tak ada yang mengatur mimpi, manis." Dia tersenyum. Sangat manis, aku suka senyumnya. Apa yang baru saja kupikirkan, nesy bodoh.
"Terima kasih tumpangannya." aku melangkahkan kakiku keluar. Berjalan menuju rumahku.
"Selamat malam, manis!!" Dia berteriak dan melambaikan tangannya. Dia tak sadar ini sudah malam? Kenapa harus berteriak?
Aku melambaikan tangan kearahnya, dengan wajah datar. Ingin tersenyum, sangat sulit untukku. Entahlah mengapa.
Dia sudah meninggalkan perkarangan rumahku. Aku membuka pintu rumahku dan..
"Dari mana saja kau?"
***
Lama banget ya aku ga ngelanjut ceritanya. Xixixi. #pletakDan jujur, ini ngelanjut ceritanya males malesan. Karena temen maksa aku buat ngelanjutin. Huhuhu*nangis dipojokkan*
Tapi, maaf buat keanehan kata dan cerita yang bener bener gaje. hehehe.
See kalian lagi.. Dan entah sampai kapan #peace
KAMU SEDANG MEMBACA
Believe It !!
FantasyDengan kepribadian yang dingin, bukan berarti aku tidak mempunyai masalah. Aku punya. Mungkin banyak. Kalian tau? Ini tidak mudah untukku Dengan seiring berjalannya waktu, aku berharap, agar semua masalah ini selesai. Aku lelah menghadapinya. Terk...