Setahun berlalu sejak Allan bisa menikmati hidup bersama keluarga impiannya. Benarkah Allan menikmatinya? Tidak, selama ini ia selalu was-was akan perihal istrinya. Ia tak ingin kehilangan wanita itu lagi untuk yang kedua kalinya.
Sikap ibunya masih saja belum melunak meski Aqilla telah memberikan buah hati yang lucu-lucu dan lincah. Bukannya Allan berburuk sangka, tapi ia melihatnya sendiri bahwa ibunya itu selalu saja ingin mencelakai istrinya. Dan bisa saja kan malah berakibat fatal hingga ia harus kehilangan Aqilla?
Satu lagi ketakutan Allan, pria itu... Ya, ia memang sudah tak mendapati kabarnya lagi selama setahun ini. Tapi tetap saja Allan khawatir. Dan akhir-akhir ini rasa khawatirnya semakin besar.
"Allan, apa lo nggak berpikir buat punya anak perempuan?"tegur Susan ketika mereka makan malam berempat dengan suami Susan. Ini dia! akhirnya muncullah sesuatu yang paling Allan takutkan. Seketika tubuhnya menegang. Aqilla yang menyadarinya, berusaha menenangkannya dengan mengelus bahu pria itu. "Kita udah punya Bunga, San."tepis Aqilla.
"Iya, sih. Tapi kan Bunga cewek sendiri. Pasti dia juga ingin punya teman main yang sepadan. Senggaknya buat diajak diskusi masalah cewek."Susan tetap berargumen. Tapi ia tak berani menambahinya lagi ketika melihat ekspresi memohon Aqilla. "Oke anggap pembicaraan ini nggak pernah terjadi."
Selama perjalanan pulang, Aqilla dan Allan diselimuti suasana suram. "Allan, omongan Susan nggak usah dipikirin lagi. Dia emang ceplas-ceplos."hibur Aqilla berusaha mencairkan suasana. Karena sedari tadi mereka hanya diam.
"Kamu pasti sebenarnya ingin anak perempuan lagi kan? Buktinya, kamu senang banget sama Olive, anak Dhea. Maafin aku, Qil. Aku bukan lelaki yang sempurna."ujar Allan sinis.
"Wajar kan aku sayang sama keponakanku?" Aqilla bersedekap dan memejamkan matanya. Perjalanan masih panjang karena macet. Ia sudah lelah akan sikap kekanakan suaminya.
"Aku akan lakukan apapun agar kamu nggak pergi, Aqilla."gumam Allan lirih.
Setibanya di rumah, Aqilla langsung turun dan masuk ke kamarnya. Sementara Allan lebih memilih menelepon seseorang di teras rumahnya. "Halo? Apakah saya mengganggu anda?"
"Oh, Mr. Allan? Justru saya sangat berterima kasih karena saya jadi tidak bangun terlambat. Disini sedang musim dingin saya jadi keenakan tidur. By the way, ada apa?"jawab seseorang di seberang.
"Seperti yang anda katakan dulu, cepat atau lambat saya akan membutuhkan bantuan anda dan anda harus siap."
"Tentu saja. Jangan sungkan. Memangnya anda ingin bantuan apa?"
"Berikan aku donor spermamu lagi, Morgan Stephenson."jawab Allan penuh penekanan. Hatinya sudah diselimuti kegelapan. Ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan.
* * *
Setelah perjanjian dibuat, Allan memaksa Aqilla agar mau ikut program donor sperma lagi di Singapura. Awalnya wanita itu bersikeras ingin menemui sang pendonor atau tak ada operasi sama sekali. Tapi sikap dominan Allan berhasil membuatnya tak membantah lagi.
Tak perlu menunggu lama, Aqilla langsung dinyatakan positive hamil di minggu kelima. Tapi aneh, pada kehamilannya kali ini ia ngidam hal yang tidak biasa, yaitu ingin selalu berada di dekat Morgan. Ya, sebenarnya selama ini Aqilla berteman baik dengan pria itu tanpa sepengetahuan Allan. Entah mengapa Aqilla merasa nyaman dengan pria itu meski mereka sama-sama tak ingin saling mengenal lebih jauh. Asal mereka bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama, itu sudah cukup.
"Aku berjanji akan memenuhi keinginan peri kecil dalam kandunganmu ini. Andai aku juga bisa berada di samping anak biologisku..."ucap Morgan ketika ia makan siang bersama Aqilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cawan Sang Cendekia
ChickLitKetika masa lalu saling berlomba mencuat ke permukaan, memperebutkan cawan sang cendekia yang rapuh dan sulit dijangkau. Siapa yang akan menang? Si pejuang dengan kegigihannya atau si pejuang dengan segala kreativitasnya? Pasti si pengecutlah yang a...