2. Lamaran Pesimis

53 5 0
                                    

Tepat tiga bulan setelah reuni SMA itu Allan mulai membicarakan masalah ini pada orang tuanya. Pasalnya Sudarsono, sang ayah, selalu mendesaknya agar menikah. Kakaknya, Dhea, yang hanya berjarak beberapa bulan dengannya sudah menikah tepat waktu. Sementara Kiara si bungsu sudah punya calon dan akan segera menikah setelah lulus kuliah.

"Apa? Kamu sudah punya calon?"seru Sudarsono gembira.

"Tapi kan belum tentu mau, Pa. Cuma Allan udah nemu wanita yang pas."

"Siapa dia? Kami pasti akan segera melamarkannya."

"Aqilla."

"Kamu pernah cerita dia udah punya anak kan? Lupakan dia, Allan. Kamu itu egois, ya!"timpalVera, ibunda Allan.

"Suaminya udah meninggal, Ma."

"Aduh, kamu cari perawan ting-ting aja daripada sama janda. Stoknya masih banyak, kok. Kamu tinggal pilih. Sekarang kamu udah mapan dan wanita mana yang nggak mau sama kamu."rayu Vera.

"Nggak, Ma. Sama Aqilla atau nggak sama sekali."cecar Allan bersikeras.

"Dia itu janda, Allan!"bentakVera.

"Apa bedanya? Kalian pikir, karena siapa dia jadi berpaling pada pria lain?" Mereka terdiam mendengar bantahan Allan. Mungkin mereka terkejut. Karena baru kali ini putranya itu tidak menurut pada perkataan mereka. "Kalian yang menyuruh Allan putus sama dia. Kalian ingat kan? Kalian bilang Allan harus fokus belajar dan jadi penerus Papa. Kalian itu orang tua kolot yang terlalu memanjakan Allan. Sementara Dhea sama Kiara pacaran kalian biarkan."

"Allan! Dari mana aja kamu?!"bentak Vera begitu putranya membuka pintu utama. Tapi cowok itu tidak menjawab, ia malah mengernyit heran. Tumben ibunya jam segini sudah di rumah? Padahal masih jam delapan.

"Dari mana, Allan?"desis Vera mengulang pertanyaannya.

"Belajar, Ma."jawab Allan lirih sambil berjalan menuju kamarnya.

"Mama belum selesai ngomong! Kamu belajar apa pacaran, hah?!" Allan menghentikan langkahnya. "Kamu ngapelin pacar kamu si Aqilla itu kan? Udah SMA, pacaran melulu kerjaannya. Pantas, kamu nggak pernah juara umum lagi."

"Allan belajar di rumah Aqilla. Mama tahu sendiri kan kalau Aqilla itu juara umum sekolah berturut-turut?"

"Alasan, bukannya belajar kamu malah nggak fokus kalau lagi berduaan sama dia, iya kan? Kamu diam-diam pacaran sama dia kan beberapa bulan ini?" Allan mendesah lelah, ia pikir ia bisa mengelabui ibunya soal hubungannya dengan Aqilla. "Mama tahu dari hape kamu. Percakapan SMS kamu, log panggilan kamu. Semuanya Aqilla. Kalian juga diam-diam sering kencan kan hari Minggu?"

"Kalau iya kenapa, Ma? Lagian, kita juga pacarannya bermanfaat, kok. Kita jalan-jalannya ke museum, ke perpustakaan kota atau ke warnet ngerjain tugas bareng."bantah Allan.

"Nggak ada yang namanya pacaran bermanfaat. Mama nggak mau tahu, pokoknya kamu harus putusin Aqilla dalam waktu dekat ini. Mama akan daftarin kamu bimbel buat persiapan UN. Dan hape kamu Mama sita!"

Sejak saat itu, hubungan Allan dan Aqilla merenggang. Bukannya tambah fokus belajar, cowok itu malah stress. Di sekolah dia sudah ikut kelas OSN dan dicekoki rumus-rumus. Sekarang ia juga harus ikut bimbel dimana ia dicekoki soal-soal masuk perguruan tinggi. Padahal ia lebih nyaman belajar dengan Aqilla, gadis yang selalu membuat sejuk hatinya.

Lingkaran hitam di bawah matanya semakin kentara. Cowok itu kurang tidur. Semalaman suntuk sering ia pakai untuk mengerjakan soal-soal latihan UMPTN yang setebal kamus. Orang tuanya menuntut ia harus masuk jurusan pendidikan dokter di perguruan tinggi negeri.

Cawan Sang CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang