8. Kenyataan Pahit

36 1 0
                                    

Dalam perjalanan Aqilla memilih diam. Ia menatap kosong ke jendela di sampingnya. Sementara Vera meliriknya penuh kemenangan dari kaca depan. Bahkan sebelum berangkat tadi, Vera masih sempat meributkan bahwa Aqilla dan Allan tak boleh duduk bersisian lagi. Maka wanita itu duduk di belakang sendirian. Sementara Allan yang mengemudikan mobilnya dan Vera duduk di sisinya.

Pengajuan gugatan cerai berjalan lancar. Vera ngotot mengatakan pada pengacaranya bahwa Aqilla selingkuh. Allan membantah. Bahkan saat hampir bercerai pun, ibunya itu masih menyakiti Aqilla. Tapi akhirnya Allan mengalah sebelum ibunya teriak-teriak dan membuatnya malu.

Usai mengurus perceraian, Biyan di bawa ke panti rehabilitasi. Namun Vera ingin ikut juga. Alasannya Allan dan Aqilla sudah menanda tangani surat cerai. Maka mereka tak boleh berhubungan dekat lagi. Setidaknya ketika ada Vera, mereka akan enggan.

"Pak Allan, bisa ikut saya sebentar?"panggil psikiater yang menangani Biyan tadi, Dr.Herlina.

"Iya? Bagaimana anak saya?"tanggap Allan antusias. Sementara Aqilla sedang menenangkan Biyan di ruangan lain.

"Anak Bapak bisa sembuh. Yang terpenting adalah kemauan dia dan dukungan dari orang-orang tersayangnya."jawab Dr.Herlina sambil tersenyum dan dibalas Allan dengan senyum pula.

"Syukurlah. Jujur saya nggak nyangka, Dok. Anak saya masih di bawah umur. Tapi..."Allan tak melanjutkan kalimatnya dan mengusap wajahnya kasar.

"Sebenarnya yang ingin saya bahas bukan itu."potong Dr.Herlina, membuat Allan mengernyit bingung. "Saya perhatikan, sepertinya salah satu wanita yang mendampingi anda tadi mengidap kelainan jiwa."

"Maksud anda Aqilla? Dia memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Anak saya yang satunya lagi juga sedang bermasalah."

"Bukan, Ibu Aqilla baik-baik saja. Yang saya maksud wanita yang lebih tua, yang satunya lagi."

"Memangnya ibu saya kenapa?"

"Sebelumnya maaf kalau saya kasar, ibu anda seorang psikopat. Apakah anda tak menyadari sikapnya?"

"Apa lagi ini? Nggak mungkin, Dok. Ibu saya baik-baik aja."

"Saya tahu ini sulit. Tapi ini demi kebaikan orang-orang di sekitarnya. Anda tentu ingin semuanya selamat kan?" Allan tercenung. Ia ingat betul bagaimana cara Vera memperlakukan Aqilla. Bagaimana bisa selama ini ia begitu bodoh? Seharusnya ia sadar. Betapa kelakuan Vera tidak wajar. "Tolong segera bawa ibu anda berobat."

Allan bergegas mengajak keluarganya pulang sebelum semuanya terlambat. "Aku mau disini temenin Biyan."tolak Aqilla tanpa mau menatap Allan. Pria itu hanya bisa mengiyakannya. Padahal Aqilla juga harus memperhatikan dirinya sendiri yang tampak acak-acakan. Tapi setidaknya wanita itu lebih aman dari jangkauan Vera disini.

"Ya udah, jangan lupa makan sama mandi."pamit Allan. "Ma, ayo pulang."Vera mengikuti Allan menuju parkiran.

"Mama senang kamu nurut sama Mama. Sekarang kita bisa nikmatin hidup kita bertiga sama Papa."ucap Vera dalam perjalanan dengan riang.

"Ma, apa yang bikin Mama senang banget sekarang? Apa cuma karena aku nurut?"

"Mama senang saat wanita itu menderita. Coba kamu lihat wajahnya tadi. Lucu banget! Sama kaya dulu."

"Maksud Mama?"

"Kiandra... pelacur itu..."gumam Vera.

Sudarsono Wijaya, hidup serba berkecukupan. Harta berlimpah, punya istri cantik, jaringan dimana-mana. Namun satu, di usia pernikahannya yang sudah menginjak enam tahun ini ia tak kunjung dikaruniai putra. Tidak, istrinya tidak mandul. Bahkan dokter mengatakan alat reproduksinya baik-baik saja. Mungkin Tuhan hanya belum mempercayainya menjadi orang tua.

Cawan Sang CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang