4. Seratus Delapan Puluh Derajat

39 4 0
                                    

Acara pernikahan Allan dan Aqilla berlangsung sukses. Veranda Wijaya, ibu Allan, benar-benar menyiapkannya tanpa cela. Tapi ini hanya dijadikannya ajang pamer pada teman-temannya. Dalam hati, ia begitu dongkol karena akan kehilangan putra kesayangannya.

"Aqilla, tata barang-barang kamu sendiri. Pembantu disini pulang dulu karena kecapekan bersihin rumah."pesan Vera pada menantunya.

"Baik, Ma."

"Apa kamu bilang?"

"Bukankah saya harus ikut panggil anda Mama karena saya telah menikah dengan Allan? Berarti anda adalah Mama saya juga kan?"

"Jangan berharap saya sudi jadi Mama kamu."ucap Vera sinis. Aqilla sempat terkejut akan reaksi ibu mertuanya itu. Tapi ia lebih memilih diam dan menurut.

Begitu selesai menata barang-barangnya, Aqilla menghempaskan tubuhnya di kasur. Angannya melayang menuju kejadian beberapa jam lalu. Ia menangkap kesan tidak suka dari Vera. Masih sedendam itukah wanita itu padanya? 'Brakkk!' tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan menampakkan sosok yang baru saja dipikirkannya. "Jangan mentang-mentang kamu udah menjadi bagian dari keluarga ini kamu seenaknya bermanja-manja! Cepat siapkan makan malam!"bentak Vera.

Baru Aqilla hendak membuka mulut, "Apa? Mau bilang capek? Kamu tinggal terima jadi pernikahan ini saja masih mengeluh. Kamu pikir siapa yang mempersiapkan semuanya? Kamu nggak ikut ambil bagian secuil pun. Ingat?" Dasar mak-mak rempong. Padahal tadi Aqilla sama sekali tak bermaksud membantahnya, ia hanya ingin bilang 'iya'. Aqilla pun beranjak keluar kamar melewati Vera yang masih memelototinya dari pintu.

"Sudah berani bersikap kurang ajar, ya?!"terdengar makian Vera dari kejauhan. Tapi Aqilla memilih mengabaikannya dan mulai memasak.

"Ada apa, Qil? Kenapa Mama marah-marah gitu?"sapa Allan yang baru pulang bersama Sudarsono Wijaya, ayah Allan, dari bandara mengantar sanak saudara mereka.

"Paling beliau cuma kecapekan."jawab Aqilla sekenanya.

"Maafin Mama, ya?"

"Nggak apa-apa, kok. Ya udah kamu mandi. Nanti aku panggil kalau makan malamnya udah siap." Allan pun mengecup ubun-ubun Aqilla singkat dan masuk ke kamar.

* * *

Semakin hari perlakuan Vera pada Aqilla semakin keras. Bahkan wanita itu hampir menampar Aqilla cuma gara-gara lupa mematikan kran kamar mandi. Untung ada Allan di rumah yang sempat mencegahnya.

"Kamu jangan manjain dia, dong Allan!"bentak Vera.

"Siapa yang manjain dia, Ma? Emangnya Mama mau masuk penjara gara-gara KDRT?"bantah Allan.

"Biarin, biar dia tahu, kehidupan disini nggak sama dengan di kerajaan dongeng itu. Nggak selamanya dia akan jadi nyonya besar."

"Mama!" Vera hanya tertawa sarkastik mendengar teriakan putranya. "Qil, kenapa kamu diam aja? Lihat kan, Mama makin semena-mena sama kamu!" Allan beralih pada istrinya yang tampak santai-santai saja. Bahkan menangis atau meringkuk ketakutan pun tidak.

"Udah, Allan. Jangan bentak ibu kamu lagi, dosa. Aku nggak apa-apa, kok."lerai Aqilla yang mengajak Allan ke kamar.

Allan memang marah akan sikap ibunya. Tapi ia lebih tidak terima pada Aqilla yang terlihat baik-baik saja dan masih menampilkan senyumnya.

* * *

Suatu hari Allan menemukan lebam di pelipis Aqilla, "Kamu kenapa, Sayang?"tegur Allan sambil mengelus lebam itu.

"Tadi aku jatuh kepleset di kamar mandi."jawab wanita itu tanpa mau menatapnya.

"Benar nggak ada orang lain yang niat nyelakain kamu?"Aqilla hanya mengangguk dan menarik selimutnya sampai sebahu.

Cawan Sang CendekiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang