Moment To Remember

617 36 1
                                    

"Ketika jalan mimpi itu telah terbentang dihadapannya,haruskah aku memutuskan jalannya?" 



Simponi langit berubah menjadi coklat, tak biru lagi. Warnanya keemasan, menggambarkan sinaran kuning akan segera kembali keperaduannya. Kutatap lurus langit itu. Kutarik kedua lengkung bibirku membentuk sebuah guratan senyum. Mataku kupejamkan seraya mengambil sebanyak – banyaknya oksigen yang ada dibumi itu, menyimpannya agak lama, baru kuhembuskan lagi oksigen yang telah berganti menjadi karbondioksida dan uap air itu.

Aku terduduk disebuah gazebo berbentuk segienam itu. Sendiri, hanya di temani sebuah benda elektronik dengan berat lebih dari satu kilo. Kurasakan otakku telah terrefresh kembali. Mungkin sekarang aku bisa menatap layar laptopku kembali. Jari lentikku ini bermain di tuts keyboard, menekan berbagai huruf membentuk untaian kata yang menjadi kalimat lalu menjadi barisan paragraph. Lelah sebenarnya, apalagi sebenarnya aku tak terlalu menyukai menulis makalah yang menyebalkan ini. Tapi ini adalah tugas, tugas yang harus kuselesaikan, aku tak ingin mengecewakan orang tuaku yang telah bersusaah payah membiayaiku sekolah, hingga aku bisa masuk kesebuah universitas terkemuka di kota ini.

Sesekali kuedarkan mataku menatap sekeliling, mencoba mencari sesosok manusia yang tengah kutunggu. Nihil, belum terlihat juga batang hidungnya. Kesal menyergap hatiku. Dua jam menunggunya sembari menyelesaikan makalah, tanpa makan tanpa minuman dan sendirian. Kulirik telpon genggamku, berharap ada sebuah pesan masuk darinya, sama saja, tak ada satupun pesan masuk ke telponku. Aku hanya mampu berdecak kecewa. Gelap, kurasakan sebuah tangan menutupi mataku hingga aku tak bisa melihat apapun.

"Lepaskan tanganmu Oppa! Dasar anak kecil!" kesalku pada seseorang yang kuyakin adalah orang yang kutunggu, kekasihku yang telah menemaniku selama Dua tahun di kampus ini.

"Aish, aku ini bukan anak kecil!" Ujarnya seraya melepaskan tangannya dari mataku. Aku segera mengalihkan pandanganku, meencoba menengok ke kanan. Blush wajahku memerah saat wajah lelakiku berada di depan mataku. Aku hanya bisa memicingkan mataku seraya menikmati desiran darah yang mengalir deras di tubuhku ini.

"Aku tau aku tampan, berhentilah menatapku seperti itu" Ucapan dari suara lelaki yang terlanjur kusayang itu cukup menghentakkan jantungku. Aish, kenapa aku bisa memiliki lelaki se percaya diri seperti dia.

"Benarkah?" kataku dengan membentuk ekspressi seperti anak kecil polos, tak lupa kueratkan kedua tanganku dan kutaruh di depan dadaku seraya membulatkan mataku.

"Tentu saja kau itu sangat beruntung mendapatkan Kim Jong In, lelaki paling tampan. Makanya seringlah bersyukur pada Tuhan karena aku memilihmu!" Ujarnya seraya mencubit kedua pipiku. Sakit. Cih, aku ingin muntah mendengar barisan katanya, over confident.

"Ish, rasakan ini!" akupun menjitak kepalanya. Dia meringis kesakitan.

"Sayang, kau ingin kepalaku benjol ya!!!" ucapnya sedikit keras, namun bukan bentakan, aku lebih merasakan ini sebagai sebuah kekesalan.

" Oppa juga ingin pipiku tembem kan!"

" Itu salahmu memasang wajah manis dan imut seperti tadi, membuatku ingin meremas pipimu!" Katanya yang masih sibuk mengelus bagian kepalanya yang baru saja kujitak. Untung saja, hal ini membuatnya tak sadar akan perubahan mimic mukaku yang makin memerah. Aku mengalihkan pandanganku ke layar laptop, tak menggubris kata – katanya lagi. Aku memintanya untuk menunggu 5 menit lagi, aku hanya tinggal menyelesaikan bagian kesimpulan.

Jariku telah lelah berkutat pada tuts keyboard ini. Kugerakkan anak panah yang ada dilayar ke sebuah kotak kecil di pojok atas berwarna merah, dimana ada tanda silang putih didalamnya, Tak lupa sebelumnya telah kusimpan semua data yang baru selesai kubuat. Setelah itu kutekan icon star dan memilih shutdown untuk mengakhiri semua kerjaaanku, hanya sebentar aku harus menunggu hingga layar laptopku telah berganti hitam, Kututup dan kutaruh benda kotak itu di dalam tas gendong yang kubawa.

JUST YOUR GAME || KAISTALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang