BAB 3 [2/2]

25 4 0
                                        

Disana bukan hanya ada sebuah masjid saja. Tetapi, di sekelilingnya terdapat taman bunga yang indah. Mungkin karena letaknya yang juga dekat dengan taman kota. Helena pergi ke taman tepat di sebelah kanan masjid. Dari sana ia juga bisa melihat Rafa yang sedang khusyuk beribadah kepada Tuhannya. Ia merasa tenang setiap kali melihat Rafa yang sedang beribadah dan bersujud kepada Tuhannya. "Ya Tuhan, sungguh indah ciptaanMu. "

Saat tengah sibuk memandangi Rafa. Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras membasahi Helena dan semua yang ada di bumi. Helena langsung berlari menuju pelataran masjid, tempat dimana ia disuruh menunggu oleh Rafa. Sesampainya disana Rafa masih juga belum selesai. Ia duduk di teras masjid sambil mengusap-usap rambutnya yang basah karena terkena air hujan. Karena sibuk dengan kegiatannya, ia sampai tak dengar kalau Rafa daritadi memanggil dirinya.

"Helena. " Teriak Rafa tapi tidak terlalu keras.
Sontak mengagetkan Helena yang masih mengusap rambutnya. "A-apa? "

"Lagi ngapain sih? Dipanggilin dari tadi sampai kering nih tenggorokan gue. " Jawab Rafa dengan nada kesal.

"Lo ga ngeliat apa gue lagi kebasahan? Tuh baju gue basah. " Gerutu Helena sambil menunjukan ke arah bajunya.

Cakrawala masih tengah menumpahkan seluruh air matanya ke bumi. Membasahi lantai bumi dengan jutaan air mata yang ia miliki.

Rafa sendiri, memandang salah satu fenomena alam yang menakjubkan itu dengan wajah datar. Lalu, dia segera mengambil posisi duduk tepat di samping Helena seraya memandang sekilas seragam putih abu-abu sahabatnya yang basah. Dahinya berkerut samar melihat Helena dengan seragam yang basah, bibir yang mengerucut, dan rambut yang lepek.

"Lagian lo sih. Kayak anak kecil banget."

Helena menoleh ke arah Rafa. "Apa lo bilang? Gue kayak anak kecil?"

Rafa mengangguk sekali. Tangannya sibuk memakai kaus kaki ke kedua kakinya. "Lah, iya. Buktinya seragam sama rambut lo basah, berarti habis main hujan-hujanan, kan?" sahutnya dengan tenang.

Sementara itu, Helena melotot. Tidak menerima penghinaan itu. Rafa sendiri, melirik sekilas ke arah Helena. Wajah gadis di sampingnya itu tampak semakin menekuk. Dahinya mengerut. Bibirnya mengerucut. "Nyebelin banget sih, lo! Gue gak main-main hujanan tau. Tadi tuh gue cuma jalan-jalan di sekitar sini aja. Kalau gak tahu apa-apa, jangan asal ngomong deh!"

"Ssstt, Hel. Kecilin volume suara lo. Di dalem, ada orang yang lagi ngaji," balas Rafa yang masih dengan suara yang tenang. "Lo lupa kita sekarang ada di mana?"

Mendengar hal itu, Helena pun berkedip dua kali. Baru ingat bahwa dia berada di sebuah rumah ibadah. Dia memperbaiki kembali posisi duduknya. Menghadap ke arah hujan.

"Maaf." Helena membeo.

Di hadapan mereka, hujan tidak lagi turun begitu deras dan angin masih silir-semilir membelai kulit dan wajah, membawa aroma tanah yang begitu menenangkan.

Lengan Helena tergerak untuk memeluk tubuhnya sendiri seraya menghirup dalam-dalam aroma hujan menenangkan yang seringkali disebut-sebut dengan sebutan Petrichor.

Sementara itu, Rafa tak melakukan hal apa pun, seusai dirinya mengenakan sepatu. Rafa hanya memandangi langit yang abu, dengan wajah santainya. Dia memang tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi, di dalam hatinya, pemuda itu mengucapkan rasa syukur yang begitu besar kepada Tuhan Semesta Alam, karena telah memberikan satu nikmat lagi kepada makhluk-makhluk hidup yang menaungi bumi, dengan menurunkan hujan dan memberikan angin tenang yang bertiup lembut.

Setelah puas memandang langit, Rafa menolehkan wajahnya ke gadis di sampingnya. Dari matanya, Helena tampak tengah memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua lengannya dan memandang sendu tanah yang dijatuhi air hujan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unspoken FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang