Anak muda bersurai kecokelatan itu menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan kering yang terhampar luas. Merebah dan menjadikan kedua telapak tangannya sebagai bantalan kepalanya. Meletakkan kantungan yang dibawanya tepat di sebelahnya. Memejamkan kelopak untuk melindungi kedua iris safirnya dari cahaya mentari yang masih terasa panas dan menyilaukan di sore hari itu.
Istirahat kecil ini membawa pengaruh yang cukup baik pada kekakuan kaki dan badannya yang sudah lelah berjalan beberapa kilometer untuk dapat mencapai rumah dari pasar yang dia singgahi untuk membeli roti yang dipesankan oleh sang ibu. Jarak kedua tempat itu memang boleh terbilang keterlaluan. Tapi, apa daya, cuma pasar itulah satu-satunya area yang menyediakan kebutuhan sehari-hari penduduk desa seperti keluarganya.
Keluarga? Oh, dia lupa. Keluarga yang dia maksudkan bukanlah keluarga inti yang lengkap seperti pada umumnya. Keluarga yang dia maksudkan hanya terdiri dari dirinya serta ibunya.
Lalu di mana pria yang secara biologis sedarah dengannya yang harusnya dia panggil Ayah?
Pria itu masih ada. Hanya saja, dia seperti tak pernah hidup. Dia jauh dari kebaikan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas istri dan anaknya. Jangankan memberikan nafkah, tidak adanya orang-orang yang datang ke rumah sederhananya untuk menagih utang-piutang saja sudah merupakan karunia yang luar biasa. Manusia itu hanya pulang sekali dalam seminggu. Bisa dihitung dengan jari hari-hari di mana dia menampakkan dirinya di depan mereka dalam sebulan. Itu pun hanya karena dia kehabisan bahan sebagai petaruh keberuntungannya yang tak pernah membawa untung.
Ibunya bukanlah mesin pencetak uang. Wanita yang semakin lama semakin tua itu tentu akan mengalami waktu di mana krisis ekonomi sangatlah sulit, sehingga dia tak memiliki sepeser pun untuk diberikan pada suaminya. Tapi pria bejat itu tak akan mengerti. Jika itu sampai terjadi, habislah ibunya.
Pukulan, tamparan, tendangan, jambakan, bahkan injakan akan melayang dengan segera. Kata-kata yang tak seharusnya diucapkan menurut kemanusiaan pun akan terpapar tanpa batas. Tak jarang juga emosi itu dilampiaskan pada dirinya. Dia tak mungkin melawan, apalah kemampuan seorang anak lelaki empat belas tahun sepertinya untuk menghentikan kegilaan seperti itu? Ibunyalah yang mencegah kematiannya. Dia menjadi tameng hidup yang menyelamatkan nyawanya.
Remaja bermata laut itu menghela napas panjang. Mengikuti hembusan angin yang juga berlalu perlahan.
Kenapa dia harus teringat akan kenyataan pahit itu?
Ah, harusnya kan tidak perlu! Harusnya dia bisa menikmati waktu senggangnya yang langka ini dengan menyenangkan.
Anak itu tersenyum. Ladang kering ini dianggapnya dari sisi yang berbeda dari pemikiran banyak orang. Menenangkan.
Kemudian, dari kejauhan, dia mendengar gemerisik yang berbeda dari yang sudah didengarnya selama angin menyibakkan tumbuhan-tumbuhan mati yang berada di sana. Seakan-akan ada yang lain hadir di samping dirinya.
Spontan, dia membuka matanya. Bangkit dari tidurnya, kemudian memandang sekitar. Gemerisik itu terdengar semakin pelan, semakin halus, dan semakin jauh.
Lelaki muda berambut batang pohon itu acuh. Pastilah ada banyak binatang atau serangga atau apa pun itu yang juga hidup di sini. Selama itu tidak mengganggunya, tidak masalah.
Tidak menjadi masalah sampai dia mendengar lengkingan itu.
"Ah!"
Dia langsung awas. Teriakan itu tak hanya terdengar sekali, tapi berkali-kali, dan semakin meragukan.
Dia berdiri. Memandang ke seluruh penjuru tanah sempit tak terurus itu. Mencari sumber teriakan yang mengartikan orang sedang kesakitan.
Lalu mata birunya langsung terpaku di tengah-tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phantasm
RomancePada segala garis dan suratan yang seakan tak pernah berkehendak untuk menorehkan kebahagiaan kembali dalam hidupku, kukatakan bahwa telah kutemukan dia sekali lagi ... di tengah kepergian manusia brengsek itu, di sela tarian api itu, di dalam dekap...