One

99 10 2
                                    

Aku terbangun karena suara alarm yang mengagetkanku. Ku lihat jam dan jam menunjukan jam tujuh pagi.
"Astagaaa!" Langsung aku bergegas untuk sekolah.

Karena aku bangun kesiangan aku nyaris telat masuk sekolah. Aku mesti lari kencang seperti dikejar-kejar anjing gila kalo nggak mau terkunci di luar gerbang. Masih ngos-ngosan aku mesti berlari ke kelas, menaruh tas kemudian ke lapangan karena setiap senin pagi semua siswa harus mengikuti upacara! Semua siswa harus mengikuti upacara kecuali siswa yang memiliki penyakit. Kira- kira tiga puluh menit sampai dengan empat puluh menit terpanggang oleh sinar matahari yang sangat menyengat kulit ini.

Entah kenapa, baru saja beberapa menit aku mengikuti upacara, tiba-tiba kepalaku seperti dikelilingi oleh banyak bintang. Sekelilingku jadi memucat kekuningan serta pudar...lalu ....BLUK! aku pun tak ingat apa-apa lagi.

Saat membuka mata aku langsung tahu bahwa aku sedang berbaring di kasur tipis yang keras. Ruang UKS sekolah! Aku mengerjap-ngerjap.

"Hei!"

Aku menoleh ke sumber suara. Wajah bulat dengan kacamata bukat, sedang menatapku. Wajah, poni , dan kacamatanya itu mengingatkanku akan tokoh culun dalam film kartun scooby Doo.

" kau sudah siuman ya? Lama juga loh pingsannya. Upacaranya sudah hampir selesai tuh." Telunjuknya menunjuk ke arah jendela.

Aku bangkit dari kasur sekeras batu. Pantas saja jarang ada yang mau masuk ke sini.

"Oh ya? Bagus deh. Aku benci upacara. Aku ingin setiap senin pagi pingsan aja deh." Kataku dengan sepenuh hati.

" Kamu tau, aku juga benci sekaliiiii...untung ibuku salah satu orang terpenting di sekolah, jadi aku bisa bolos upacara kapan saja aku mau." Bisik si cewek Scooby Doo itu. Lalu dia ketawa cekikikan.

Aku melihat ke cewek itu, entah kenapa aku langsung menyukainya. Bukan karena penampilan fisiknya yang culun, tapi karena sikapnya yang kuanggap lucu dan ada sedikit kebandelan dalam dirinya. Mirip-mirip denganku. Oke aku sedikit lebih bandel sih.hehe

"Yeah... Begitulah kalo jadi kerabat orang penting. Andai aku jadi dirimu, aku bolos upacara setiap senin sepanjang aku sekolah di sini!" Aku ikut-ikutan nyengir.

"Uh. Maunya sih gitu. Nggak ada manfaatnya selain membuat kita sakit kepala, jadi hitam, atau....pingsan!"

Cewek itu tersenyum.

" aku morita. Kelas 3B." Morita mengulurkan tangannya kepadaku.

" Laras. Larasati. Aku di 3A."

"Sekelas dengan Laura , the most wanted girl yang populer itu, iya?"

Perkataannya langsung aku sambut dengan memutar bola mata. " kayaknya semua orang tahu siapa dia. Pak oleh saja tahu."

Pak oleh adalah tukang kebun sekolah kami. Dia sudah lumayan tua.

Itulah awal pertemuanku dengan morita, yang ternyata adalah anak kepala sekolahku. Sejak itu kami sering mengobrol saat istirahat atau pas ketemu sepulang sekolah. Morita adalah sahabat pertamaku dan satu-satunya saat ini.

Pas istirahat siang kami, aku dan mori, bertemu untuk makan siang bareng. Aku makan bekalku. Kalau dia sih nggak bakalan bawa bekal tapi beli makanan di sekolah. Enaknya sekolah di sekolahan mahal ini, ada kantin yang super luas, dengan kursi yang memadai untuk diduduki, bukan sekedar kursi plastik yang murahan itu. Kantin juga diurus dengan bagus, penjual yang boleh berjualan sudah di seleksi, tak boleh jualan makanan yang enggak sehat atau yang aneh-aneh. Jadi jangan harap ada yang bisa jualan rokok atau narkoba. Di samping itu, ada koperasi yang di urus oleh beberapa istri atau kerabat guru sekolah kami. Peraturan sekolah yang ketat tak membolehkan para siswa keluyuran keluar lingkungan sekolah pada saat istirahat.

Mori membeli semangkuk bakso dengan segelas es jeruk. Sedangkan aku hanya membeli sebotol air mineral. yang biasanya kusimpan sampai pulang nanti.

"Kau itu sebetulnya cantik loh, ras. Orangtuamu pasti cakep-cakep, ya? Matamu kenapa nggak hitam seperti orang indonesia dan wajahmu juga seperti ada bulenya? Memangnya siapa yang mempunyai turunan orang sono, ras? Ayah atau ibumu?"

Uhukuhukuhuk! Seketika aku tersedak makananku dan terbatuk-batuk dengan hebat. Kusambar botol minuman dan meneguknya. Hal itu malah membuat batukku menghebat. Pernyataannya mori membuatku kaget

"Hei, pelan-pelan aja dong makannya. Lagian ngapain buru-buru, jam istirahat kan masih lama..." mori dengan polos menepuk punggungku sementara aku masih berjuang dengan batukku.

Aku terbatuk sambil mengeluarkan sesuatu dari mulutku, "...wortel sialaann!"

"Eeeeeewwww, dasar manusia jorok!!!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah anak-anak yang duduk di meja sebelah. Geng populer. Ekor mataku melirik mereka. Beberapa dari mereka langsung menghadapkan punggung ke meja tempat aku duduk bersama mori. Mereka para kaum ningrat modern di sekolah eksklutif ini. Tapi ke ningratan mereka berasal dari harta benda mewah yang dimiliki oleh orangtua mereka, bukan gelar bangsawan asli. Merekalah yang membuat kehidupan di sekolah jadi tidak mudah.

Aku nyengir ke arah kelompok itu sambil mengacungkan wortelnya.
" ada yang mau?" Tanyaku sambil mengedarkan pandangan meraka. Laura yang terkenal itu salah satu di antaranya.

Mori tertawa ngakak melihat perbuatanku. Yah, tak salah kalau kami langsung akrab, karena jelas sekali kami sangat cocok, kan?

" emang dasar anak kampung, kelakuan pasti juga norak. Heran deh, kok bisa-bisanya dia sekolah di sini. Dia kan pantesnya sekolah di kampung." Sebuah suara bernada tajam mengomentarai dari meja sebelah. Cukup keras untuk di dengar oleh meja-meja dekat kami.

Wajah mori langsung berubah. Dengan rasa tak suka yang terpancar dia menatap orang yang bicara. Aku pura-pura tak melihat dan mendengarnya. Kembali kulanjutkan makanku yang tertunda.

"Dia nggak berhak ngomong kayak gitu. Kasar bangett!" desis mori geram.

Kepalaku menggeleng pelan. "Biarkan saja. Nggak usah di dengerin, mor. Kalau kamu bereaksi mereka malah akan senang dan semakin bersemangat menghinaku. Aku terlalu sering mendengar ejekan- ejekan mereka kok, jadi sudah kebal." Aku tersenyum mengambil minumanku dan meneguknya dengan santai.

" setahuku, siapapun boleh saja sekolah di sini. Ini sekolah umum, bukan sekolah khusus untuk orang-orang tertentu. Yang penting kita mampu bayar, kan? Mori melotot dari balik kacamatanya.

"Kau lupa, sekolah ini memang sekolah mahal. Dan orang-orang seperti mereka merasa tempat ini diperuntukkan komunitas mereka saja." Aku menggeleng. "Kalau bukan kemauan ibuku, aku juga nggak bakalan memilih masuk sekolah ini."

"Tapi, kalau begitu , kita nggak bakalan kenal dong?" Sahut mori polos.

"Yah. Selalu ada sisi positif di balik hal-hal tak menyenakkan, ya?". Kututup kotak makanku dan kumasukan ke dalam tas.
Mori mengangguk setuju.

Sampai kami berpisah dan masuk ke kelas masing-masing, mori tak menyinggung-nyinggung masalah orangtuaku lagi. Dia sepertinya lupa pernah menanyakan hal itu. Kali ini aku selamat dari pernyataan yang tak pernahku sukai. Sampai saat ini aku tak pernah membahas tentang orangtuaku dengan siapa pun. Bukan karena apa-apa, aku sendiri bingung harus menjawab apa bila di tanya Siapa ayahku? Dimana ibuku?.

Yeayyy udh sampe chapter ke dua nihh wkwk! Tambah semangattt buat ngetik lagi^_^ yaa walaupun yang baca baru sedikit. I'ts oke

Jangan lupa di vote&Comment ya^_^
Saya sangat mengharapkan itu hehe. Thanks yaa

Happy reading!
ClaudiamaharaniD

 I Love You Goodbye!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang