Chapter 15

408 44 14
                                    

"Rai, ini bahaya, obat itu sudah membuat Albert menjadi kanibal. Lambat laun memori ingatannya akan segera terhapus, ini bahaya, amat bahaya!"

Suara lantang Alret bergema diseluruh penjuru rumah, ditambah lagi semua pengawal dan bawahannya tidak ada yang berkata satu patahpun. Alret semakin panas, dirinya sudah tidak bisa berpikir secara jernih. Dari awal cairan itu memang berbahaya, untuk itu Ia tidak mencobanya karena dia sendiripun tidak mempunyai penawarnya.

Rai berjalan mendekati Alret dan memegang bahunya, "Tenanglah, bila kau marah dan berjalan kesana-kemari pikiranmu tidak akan lancar."

"Bagaimana aku bisa tenang?!" Teriaknya, "Disana, saudaraku satu-satunya terancam karena ulahku sendiri. Apa kau mengerti?! Kita bahkan tidak bisa menunggu, bila ingatan Albert telah hilang sepenuhnya, aku sendiri bahkan tidak bisa menjamin bahwa kalian akan bertahan atau tidak."

Tiba-tiba suasananya semakin mencekam, cuaca diluar menggelap, suara petir mulai bergemuruh. Semua yang berada di rumah itu seketika mati rasa, sekuat-kuatnya mereka, mereka masih takut dengan kematian.

Begitupula dengan Ferla, kekasih Albert. Ia tidak bisa menahan kesedihannya melihat Albert separah itu, sesadis itu, dan semenyeramkan itu. Tak bisa dibayangkan, Albert, lelaki manis yang sangat santun harus berubah seperti ini. Bahkan sampai detik inipun, Albert tidak pernah memanggil Ferla, atau lebih tepatnya Albert melupakan kekasihnya sendiri.

"Master!"

Pintu di dobrak begitu saja oleh bawahannya, membuat semua orang didalamnya teralihkan. Orang itu seketika sadar dengan keadaan, Ia langsung berpura-pura membersihkan bajunya dan masuk ke dalam menyampaikan info yang baru saja Ia dapatkan.

"Maaf mengganggu, tapi ada yang tengah menunggu anda di telepon."

Julian berdecih sebelum berbicara, "Siapa dia yang seenaknya menelepon kita? Sepenting apa dia?!"

"Sangat penting, tuan Julian," jawab bawahan itu sambil terus menunduk dan tidak menatap orang yang sedang Ia ajak berbicara. "Alex-maksud saya, Ayah dari master tengah menunggu master mengangkat panggilannya."

Alret berjengkit kaget, lantas Ia masuk ke dalam kamarnya untu mengangkat panggilan orangtuanya itu. Tangannya bergetar untuk mengangkatnya, setengah takut dan khawatir.

"Apa kabar Alret, puteriku?"

"A-Ayah..."

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Albert? Apa dia baik?" Terdengar suara kekehan kecil disana, Alret berjengkit ngeri mendengarnya.

"Di-Dia..."

"Kanibal? Ah, aku sudah tahu itu. Ada lagi yang baru?"

"Albert tidak bisa dihentikan yah..."

"..."

"A-ayah?"

"Alret sayang, jangan hancurkan dunia ini dengan kenaifanmu. Apa menurutmu kita menyukainya? Tidak."

Alret membeku mendengar ucapan ayahnya, lidahnya kelu untuk membalas ucapan ayahnya itu. Pupil matanya membesar, memperlihatkan seberapa terkejutnya Ia. Dan ucapan ayah selanjutnya semakin membuat Alret semakin menjadi batu, dirinya tidak pernah tahu bila ayahnya, seperti itu.

"Kalau begitu, bunuh saja Albert."

Tutt... tuttuttt...

****

Bulu kuduk Albert berdiri karena tubuhnya terhembus angin yang sangat dingin, dirinya tengah berada di pusat kota namun tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap. Matanya melirik salah satu tokoh pakaiab hangat, dengan berteloportasi dirinya sekarang tengah berada di depan tokoh itu.

Kringg kringg, suara gantungan yang menunjukan Ia telah masuk ke dalam toko. Disini ramai, banyak orang yang tengah membeli jaket atau pakaian hangat karena cuaca hari ini. Albert menoleh kesana-kemari, dirinya bahkan tidak bisa majuk selangakh saking banyaknya pembeli.

"Sore tuan, ada yang bisa saya bantu-" ucapan pegawai itu terpotong setelah melihat pembelinya. Albert yang tengah memandang pegawai itu dengan seringainya, ternyata pegawai ini adalah orang yang sama di restoran tempat dirinya makan saat itu.

"Oh hai," ucap Albert dengan senyuman yang bisa dibilang mengerikan. Pegawai itu lantas lari meninggalkan Albert, meskipun harus berdesak-desakkan dengan para pembeli.

Dengan seringai, Albert mengikuti pegawai itu. Tujuan utama kesini hilang begitu saja dipikirannya, sekarang tubuhnya tengah panas, yang bahkan bisa melawan udara dingin di luar. Langkah pelannya, menghantui pegawai itu. Dilihat dari sini, sudah beberapa kali pegawai itu menoleh ke arahnya, seakan bahwa dirinya memang tengah mengejar dia.

Bola mata Albert yang sedari tadi berwarna biru tenang, berubah menjadi merah dengan kilatan kejejaman. Ia bawa kakinya melangkah kian lebar untuk segera menggapai pegawai itu, keberuntungan berada di tangan Albert karena targetnya sekarang adalah perempuan, yang tidak akan membuatnya kewalahan mungkin hanya sedikit teriak-teriakan yang keluar dari mulut pegawai itu.

"Tolong biarkan aku pergi hiks..." tangis pegawai itu pecah, Albert dibuat bingung karena ulah pegawai itu. Bila dilihat, baru kali ini Albert melihat perempuan menangis, ditambah ini karenanya. Namun, hawa nafsunya lebih besar dari hawa manusiawinya.

Tangan Albert terangkah ke dagu perempuan itu, "Aku tidak akan membiarkanmu lari, targetku." Setelahnya Albert berteleportasi dengan membawa pegawai itu, ke luar toko, pinggir kota, sampai mereka berada di tengah hutan yang gelap.

Jari-jari Albert terangkat menghapur air mata pegawai itu, targetnya tengah berada di pelukannya sekaranng, lebih tenang dari sebelumnya. Tangan kirinya tengah berada di pinggang perempuan itu, membawa perempuan itu lebih dekat dengannya, membuatnya tidak bisa lari dari jeratan seorang Albert.

"M-mau apa.. k-kau?"

Senyuman Albert tampak di wajah tampannya, bukan seringai yang seperti di toko tadi, kali ini lebih hangat. "Mau menciummu, apakah mau?"

Sebelum pegawai itu menjawab, bibir Albert sudah berada di bibir perempuan itu. Ciuman tiba-tiba yang membuat perempuan itu tegang seketika tapi, setelah Albert memegang tengkuknya dan membuat ciuman lebih dalam, perempuan itu menyerah lalu membalas ciuman manis yang Albert berikan.

Kian lama ciuman mereka semakin bertaut, Albert semakin liar memainkan ciumannya dan perempuan itu sudah dibuat gelisah di dalam pelukan Albert. Kedua tangannya di bawa kebelakang kepala perempuan itu, membuat ciumannya semakin dalam.

"A-albert..." desah perempuan itu membuat Albert melepaskan pangutannya, "Iya?"

"Terima kasih," ucapnya dengan senyuman. Perempuan itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai saat bola mata Albert berubah menjadi warna merah darah.

Kreekk krekk, "Sama-sama."

Albert mematahkan perempuan itu dengan cepat, mana mungkin dirinya rela mencium seorang perempuan tanpa alasan. Tubuh perempuan itu ambruk di hadapannya, dengan kepala yang sudah patah. Albert tetap tersenyum melihat perempuan itu, sampai dia tersadar ada seseorang yang tengah memperhatikannya sedari tadi.

"Albert," ucap orang itu.

Ia membelalakan mata setelah melihat orang yang sedari tadi memperhatikannya, tubuhnya bergetar hebat, bahkan kaki-kakinya tidak sanggup membopang tubuhnya. Albert sangat terkejut dengan pemandangan yang Ia lihat.

"B-bagaimana kau bisa berada disini?!"

"Tentu saja untuk membunuhmu," sahut seseorang dibalik pohon. Bahkan orang ini sanggup membuat Albert, bertekuk lutut dengan mudah.

"Maafkan aku yang tidak becus merawatmu, Albert."

"Maafkan kami yang harus membunuhmu, maafkan kami Albert."

Dua kalimat yang di telontarkan oleh ayah dan ibunya itu membuat Albert membeku sesaat, hanya sesaat. Selanjutnya Ia berdiri, tanpa adanya badan yang bergetar, ataupun nyali kecil lagi. Sekarang tidak ada lagi yang namanya Albert, tidak ada lelaki manis dengan juta pesona, tidak ada lagi lelaki santun yang menghormati, semuanya tidak akan ada lagi.

Albert dihadapi oleh kedua orangtuanya, Alex dan Anna. Mampukah Albert melawan mereka? Atau, mampukah Albert melihat kedua orangtuanya mati di tangannya sendiri?

Mulai sekarang tidak ada lagi permainan, yang sekarang ada hanya peperangan.

FREETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang