Chapter 19

363 31 5
                                    

Tidak ada yang bisa Albert lakukan sehabis pertarungan ini, karena tidak berlaku apapun padanya selain mempunyai kebebasan yang sedari dulu dirinya impikan. Kian lama, kebebasan yang Albert miliki jauh sekali dari ekspetasinya selama ini. Dia hanya berpikir kebebasan yang diberikan ayahnya layaknya anak sebayanya lakukan, bermain, jalan-jalan, dan sebagainya. Bukan kebebasan karena dia membunuh keluarganya untuk lepas dari kekangan.

Lepas dari kebebasannya, sang saudari—Alret—harus menanggung semua yang terjadi, karena dari awal dialah yang melakukannya. Sayang sekali, kehidupan muda mereka harus berakhir.

Albert tahu, dia tidak bisa terus-menerus memaksa kakinya berjalan. Pertarungan tadi memang tidak lama, namun energinya terkuras habis, bahkan untuk berpindah tempatpun dia tak sanggup. Dengan menyeret stick baseballnya, dia terpaksa jalan lagi. Kadang dia terhenti, untuk sekedar bernapas sejenak dan merelekskan saja. Udara semakin dingin setiap dia melangkah, ditambah kemungkinan salju akan segera turun, Albert tidak bisa berlama-lama di dalam hutan sembari berjalan santai. Dia tahu, untuk sekedar memejamkan mata saja, dia tak akan melihat dunia lagi.

Dari yang apa Albert tahu. Cairan merah yang mengalir pada tubuhnya itu, tidak mempunyai efek samping sama sekali, bahkan untuk sekedar gatal-gatal saja tidak ada. Tapi khasiatnya jadi luar biasa, perubahannya bahkan tidak sampai dalam satu jam. Ingat, satu jam. Dan sekarang porsi yang harus ditanggungnya adalah kematian karena tertidur. Bagaimana bisa Albert memahaminya bila kekurangan cairan itu tertidur, apa lagi, pertarungan tadi menguras tenaganya yang hanya bisa di isi dengan tidur.

Apa Ia harus tidur dengan mata terbuka?

Tentu saja, Albert menolak.

Memang benar, otak Albert tidak sejenius kembarannya, Alret, namun dia tahu bagaimana mengatasinya. Jangan berpikir bila dia mempunyai obatnya, untuk menuangkan air ke gelas saja dirinya tak mampu, bagaimana bisa dia harus membuat obatnya. Tidak mungkin.

Lelaki itu hanya mempunyai sebuah solusi, untuk itu dia menyuruh Alret untuk menghidupkan kembali Marco, karena kuncinya hanya ada di Marco dan juga... Ezra.

Ah, Albert lupa dengan orang itu.

Ia memejamkan mata sejenak, otaknya sedang menelusuri apa yang terjadi, akibat yang terjadi, dan apa yang harus di lakukan. Benaknya muncul dengan keadaan Marco dan Ezra di ruangan Alret, mereka mencuri barang-barangnya, dan sedikit terjadi percecokan kecil untuk membawa barang apa, lalu terjadi Ezra menatap dua botol di depannya. Pertama yang orang itu ambil adalah minuman datang bulan Alret, dan Marco menggeleng keras sambil memarahi Ezra. Saat kedua kalinya Ezra berucap, Marco tegang setengah mati saat melihat cairan hijau yang Ezra kali ini ambil. Kening Albert mengkerut melihat semua kejadian itu, hingga mereka keluar dari rumah dan dua ledakan terjadi, ledakan terakhir terjadi karena barang yang Marco bawa di dalam tasnya. Setelah itu, Ezra kabur ke arah utara dengan bayang-bayang bawahan Alret yang mengejar orang itu. Hingga dia sampai di sebuah rumah kayu yang berada di pinggir hutan. Rumah Harvey Jarvey.

Albert membuka mata, lalu tersenyum dengan penuh kemenangan sebelum dia menghilang dari tempatnya.

****

"Ya Tuhan Ezra, Jesus tolong dia! Ya Tuhan, ya Tuhan!"

Ezra mendecih dan menendang Harvey yang hanya berteriak-teriak tidak jelas tanpa mengobatinya sama sekali,"Harvey, kau bisa membuat mereka tahu dimana aku! Tenanglah!"

"Tapi Ezra, ya Tuhan—" orang itu berlari mengambil kotak P3K, dan kembali untuk mengobati Ezra. "Kau gila! Tidak, kau sinting!"

Ezra tidak menjawab perkataan Harvey lagi, tapi hanya diam membisu. Dia mengingat kejadian karena ledakan tadi, kejadian Marco yang tewas di depan matanya. Lalu tak lama kemudian, seluruh bawahan Alret mengejarnya dengan senapan-senapan canggih yang di rangkai sendiri oleh Alret, yang pasti lebih sempurna lima kali lipat dari aslinya. Sampai dirinya mengingat seorang detektif yang tinggal di pinggir hutan dekat sini, dan berusaha menjangkau, dan untungnya dia berhasil sebelum dia tewas oleh bawahan Alret yang tidak bisa di bilang seorang manusia.

"Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan Marco?" Tanya Harvey sembari membuka luka di tangan Ezra akibat terkena peluru saat dirinya lari ke rumah ini.

"Apa mungkin dia... eum—tewas?"

"Iya."

Seketika suasana menjadi hening, hanya terdengar suara peluru-peluru yang Harvey taruh di mangkuk kecil.

"Aku turut berduka."

Ezra menoleh pada Harvey, dan tersenyum kecil. "Terima kasih, sobat."

"Sudahlah, sebaiknya kau beristirahat dahulu, kita harus mengambil jasad Marco untuk di makamkan, bukan?" Jelas Harvey, lalu berdiri menaruh peralatan P3K dan mencuci tangannya di kamar mandi.

"Iya kita—"

DUGH,DUUGH,DUUGH.

Mereka saling melotot dan menatap satu sama lain. Ezra langsung loncat, dan kabur ke arah pintu belakang untuk bersembunyi, sedangkan Harvey mengambil senapannya untuk berjaga-jaga sembari berjalan ke arah pintu. Dia mengintip dari lubang kecil di pintunya, melihat seorang polisi yang tengah memunggunginya, menunggunya membuka pintu. Aku kira Albert, batin Harvey lalu membuka pintu.

Bisa dilihat polisi itu tampak tinggi semapai, lengkap dengan pistol dan topi yang biasanya jarang polisi pakai.

"Hei, ada apa kau mencariku?"

Harvey tidak merasakan sama sekali hal ganjil, dia bahkan tidak menyadari bila polisi itu tidak membawa mobil polisi dan temannya, padahal dari jarak jauhpun sirine polisi pasti terdengar. Dan, Harvey sama sekali tidak menyadarinya sama sekali.

Polisi itu tetap memunggungi Harvey, dia tak berbalik untuk bertatap muka, dia hanya diam menatap salju yang tengah turun. Akhirnya Harvey maju selangkah, menatap polisi itu dengan kening mengkerut, sampai saatnya dia sadar dengan sebuah tongkat panjang yang polisi itu pegang.

Waktu seakan melambat saat polisi itu membalikan badannya, mata Harvey jatuh tepat di tangan polisi itu yang penuh dengan darah, lalu dia membayangkan sebagaimana parahnya dia membunuh korban dengan brutal, sadis, dan tak terbeblas kasih. Harvey menegang, tanpa bisa melakukan apapun.

Wajah yang baru pertama kali Harvey lihat ini penuh dengan darah yang mengucur deras, lima buah cakaran yang panjang dan dalam hingga leher itu hampir membuat rongga dalam mulutnya terlihat. Bahkan barisan gigi yang tertata rapih bisa di lihat jelas oleh Harvey tanpa harus memicingkan mata. Pipi Harvey sampai harus merinding karena membayangkan wajahnya seperti itu, dia tidak bisa merasakan lagi bahwa dia masih mempunyai pipi atau tidak.

Lalu sepasang mata hitam menatap balik tatapannya, sepasangan mata yang mungkin di lihat sekilas tidak ada apapun di dalamnya. Mata hitam itu menatapnya dalam dan juga menusuk, yang bisa saja membuat Harvey mati seketika bila itu nyata.

Dengan baju yang terciprat banyak darah, tangan yang seakan mengambil jantung secara langsung, wajah penuh darah akibat cakaran yang bisa membuatnya kehilangan separuh wajah, lalu sepasang mata hitam yang menatapnya tanpa henti. Harvey yang tadi berjaga dengan membawa sebuah senapan, diam tanpa berkutik, diam tanpa melakukann sesuatu, diam tanpa tahu apa yang harus di lakukan. Orang yang menyamar menjadi polisi itu sudah membalikan tubuh sepenuhnya, dan terpampang jelaslah seringai penuh kemenangan tercetak di bibirnya.

"Albert... Albert Vieonless..."

Tanpa aba-aba, Albert melayangkan stick baseballnya ke arah Harvey dan membuat orang itu terpental jauh, tubuhnya menabrak dinding-dinding kayu rumahnya yang keras, cukup menyakitkan. Buaagh, suara keras seperti itu tidak bisa di sembunyikan, bahkan Ezra yang tengah bersembunyi di luar tepat di samping pintu belakang rumah Harvey, mendengar suara tabrakan itu. Siapa itu? Albert atau Rai? Ezra berpikir dengan keras, dirinya takut, sudah bertahun-tahun berhenti membunuh dan umurnya juga semakin menua.

Namun, Ezra tidak ingin kehilangan rekannya sekali lagi. Dengan berusaha menahan gemetarnya, Ezra masuk lagi ke dalam rumah Harvey. Baru saja dirinya menampakkan wujud, dihadapannya sudah ada tubuh tersungkur Harvey dengan mulut yang banyak mengeluarkan darah. "Harvey!" Teriaknya langsung lari menuju tubuh Harvey, Ezra tahu latar belakang Harvey yang tidak menjadi polisi karena fisik dan batinnya yang sangat lemah, untuk itu Harvey lebih memilih menjadi seorang detektif.

"Hah Ezra... Akhirnya kau keluar juga."

Tubuh Ezra gemetar hebat, inilah akhirnya, bertatap muka dengan seorang kelinci percobaan. Kelinci percobaan, yang membuat dunia gila akan kehancuran.

FREETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang