Part 6

57 5 0
                                    

"Aku menyerah, Harry. Aku benar-benar menyerah!" Chloe melempar tasnya ke sembarang arah, lalu membanting tubuhnya ke ranjang besar milik sepupunya.

Harry menjawab dengan sorot matanya yang penuh tanya. Tangannya masih sibuk dengan air mineral yang hendak diteguknya. "Apa yang terjadi padamu, Chloe?"

Chloe berguling kesana-kemari. Seperti pikirannya yang terjungkir balik, hatinya pun kini mengalami dilema. Antara harus bergerak dan bertahan, atau harus diam dan mundur perlahan.

"Kau angkat tangan akan perasaanmu pada Shawn?'' tanya Harry, usai meneguk minumannya--membuat bibirnya basah dan membuatnya nampak makin tampan saja.

"Iya."

"Mengapa? Berikan aku alasan, sepupuku sayang." Dengan kilat, Harry melompat ke ranjangnya, dan ikut berbaring di sebelah Chloe.

"Intinya aku lelah, Harry. Aku tak bisa terus menerus berjuang, padahal lubang di hatiku sudah menganga dan terkikis karena terlalu lama menahan sakit," jawab Chloe sekenanya.

"Menahan sakit karena Lily dan Shawn?" tebak Harry.

Chloe memutar bola matanya. "Menurutmu? Haruskah aku menjawabnya sementara kau sudah tahu jawabannya?!''

Harry tersenyum kecut. "Apa kau fikir, aku tak cemburu? Apa kau fikir, aku baik-baik saja dengan kedekatan mereka?"

Tak perlu dijelaskan, bahwa itu sudah hukum alam-- bahwa dalam urusan hati, akan ada yang namanya bahagia, menderita, cemburu, dan juga luka.

Cemburu dan luka. Mungkin itu penggambaran yang tepat untuk dua manusia yang terguling lunglai di ranjang. Ya, Harry dan Chloe.

"Menyerahlah, Harry."

Harry membeku sejenak. "Apa?"

"Menyerahlah. Mundur saja. Aku bisa menebak akhirnya akan seperti apa."

"Memang bagaimana?"

Chloe menghembuskan nafas berat. "Aku tak tau tepat bagaimana akhir dari kisah ini. Yang aku tau, baik kau maupun aku tak akan mendapat mereka berdua. Karena Lily, sepertinya sudah ditakdirkan untuk Shawn."

Harry menggeleng dan bangkit dari ranjang dengan kasar. "Bahkan kau bukan cenayang, Chloe. Jadi, jangan pernah gunakan otak udangmu untuk menebak apa yang akan terjadi di esok hari.''

"Apa butuh keahlian khusus untuk menebak akhir dari dua orang yang saling mencintai? Meski aku nyaris tak naik kelas di SD dulu, tapi aku paham benar, bahwa dua orang yangg saling mencintai, memang ditakdirkan bersama." Chloe ikut bangkit, dan berdiri tepat berhadapan dengan Harry.

"Tidak!"

Chloe mengusap bahu kanan sepupunya. "Mengalahlah pada takdir, Harry. Sebelum takdir menunjukkan secara langsung apa yang tak ingin kau lihat, dan pada saat itu kau hanya bisa menyesal karena tak mendengar ucapanku sejak awal." Ujar Chloe, lirih.

***

Harry terus terngiang akan perkataan sepupunya tadi siang. Haruskah ia menyerah pada takdir? Ya, takdir adalah sesuatu yang membingungkan. Kita tak bisa melawannya, karena memang takdir sudah tergariskan adanya. Tapi, jika kita menyerah pada takdir, itu sama saja menyerah akan sesuatu yang bahkan belum diketahui akhirnya oleh si pemeran.

Dan itulah yang terjadi pada Harry.

Saluran TV yang ia ganti berpuluh kali, tak ada yang menarik minatnya sama sekali. Cola di hadapannya pun kini bagai air tawar yang tak menggodanya untuk segera menyeruputnya.

Cklek.... Seseorang membuka pintu ruang keluarga. Dan dari aromanya, Harry bisa menebak jika si pembuka pintu itu adalah Chloe.

"Harry? Apa kau mau es krim? Aku baru saja membelinya," tawar Chloe. Di tangannya, terdapat dua buah es krim cone. Yang satu tengah ia santap, dan yang satu akan ia berikan untuk Harry, jika ia mau.

"Kau sedang patah hati, Chloe." Harry menatap Chloe.

"Ah, lalu apa hubungannya?" Gadis itu duduk di samping Harry. "Tadi aku menawarkanmu es krim, bukan menyuruhmu untuk menebak perasaanku, bodoh!"

"Sialan!"

Chloe terkekeh. "Serius.. Apa kau mau es krim? Jika tidak, aku akan menyimpannya untuk nanti malam."

"Kau gila." Harry mengacak rambut Chloe, membuat sepupunya berdecak sebal. "Semua orang patah hati selalu menangis dan menutup pintu kamarnya. Semua orang patah hati selalu berhenti makan, bahkan berhenti bicara."

"Lalu?"

"Ya mengapa kau bisa sesantai itu padahal suasana hatimu sedang tak baik-baik saja?" Harry meraih remote TV dan mematikan TV yang sudah tak ada fungsinya lagi--karena sudah ada Chloe yang meramaikan ruang ini. "Apa kau bersembunyi pada dua buah es krim cone?"

Chloe mengerutkan dahinya. "Harry... Apa kau ingin aku bertindak seperti orang-orang pada umumnya? Apa kau ingin aku mogok makan dan mogok bicara? Apa kau ingin a--"

"Tidak, tentu saja tidak," potong Harry. "Itulah mengapa, kau patut dikatakan unik dan limited edition, karena kau tak sama seperti wanita cengeng pada umumnya."

Sepupu Harry yang mungil itu tersenyum kecut. "Kau tau, Harry, aku sangaaat bersedih. Ya, aku akui itu. Aku pataj semangat dan patah harapan, kau juga pasti paham itu." Chloe menarik nafasnya sejenak. "Dan kenapa aku melakukan ini? Hmm.. Aku bukan menyembunyikan kesedihanku di balik dua es krim cone, tetapi, aku hanya berusaha untuk ikhlas dan melepaskan Shawn.."

"Secepat itu?" tanya Harry tak percaya.

"Ya! Untuk apa aku mengejar Shawn yang tak pernah melirikku, sementara ratusan siswa di kampus banyak sekali yang mendambakanku?" ucap Chloe dengan penuh pecaya diri.

"Kau menggelikan," ejek Harry.

"Biar saja. Yang penting aku bisa berpikir dewasa, bahwa tak semua yang kita cintai atau kita inginkan, bisa menjadi milik kita."

"Kau menyindirku?"

Chloe menggeser posisi duduknya, lebih dekat ke arah Harry. Ia menepuk pundak Harry pelan. "Harry, lepaskan apa yang tak bisa kau genggam erat. Makin kau menggenggam, ujungnya akan makin sakit jika takdir tetap membiarkannya lepas dari genggamanmu."

Sebenarnya kata-kata Chloe ada benarnya juga. Eh, ralat, memang benar sepenuhnya.

Tapi.. Apakah semudah itu, merelakan sesuatu yang ingin kita perjuangkan?

"Chloe?" panggil Harry.

"Hmm.." Gadis itu masih menjilat es krim conenya dengan semangat.

"Beri aku satu alasan yang kuat, mengapa aku harus melepasnya?"

Es krim yang disantapnya kini ia letakkan di dalam gelas. Biar saja mencair, toh ia masih punya satu lagi. Yang terpenting saat ini hanyalah, membuka mata saudaranya yang keriting dan menyebalkan itu.

"Kau tau, Harry, bahwa tatapan mata mengalahkan segalanya."

Harry menatap Chloe intens. "Maksudmu?"

"Hanya karena tatapan mata, kita bisa jatuh cinta. Hanya karena tatapan mata, kita merasakan bahagia. Tapi juga hanya karena tatapan mata, kita bisa tahu kalau dia tak mencintai kita."

Lelaki bermata hijau itu menelan ludah. Berusaha mencerna apa kata saudaranya.

"Kau tau, tatapan Shawn pada Lily sangatlah lembut dan penuh kasih--seolah Shawn bersedia melindungi Lily bagaimanapun dan apapun keadaannya," kata Chloe cepat.

Harry masih diam.

"Begitupun sebaliknya... Tatapan Lily mengartikan sebuah kepasrahan--yang berarti bahwa Lily mempercayakan dirinya pada Shawn. Lily yakin Shawn adalah org yang tepat untuknya, yang bisa melindunginya."

Ya, itu logika yang masuk akal.

"Jadi... Lily dan Shawn memang ditakdirkan bersama." Chloe menelan ludahnya, terasa pedih dan penuh luka. "Dan dari tatapan itu pula, kita tahu, jika baik Shawn maupun Chloe, tak pernah mencintai kita. Dan kita harus menghargainya, kita tak boleh memaksakannya."

Harry tersenyum perlahan. Chloe sepertinya bisa membuka mata hati si hati batu ini.

Ya, semoga saja Harry bisa mengiklaskan Lily, layaknya yang Chloe lakukan pada Shawn.

"Chloe, maukah kau menemaniku?''

"Kemana?"

"Ke lapangan golf. Aku ingin merelakannya, meski harus bersembunyi di balik tongkat dan bola golfku."

Tawa mereka berdua meledak. Yang satu es krim, yang satu bola golf. Tapi tak masalah, kan? Toh lihat saja, semua sudah tampak lebih baik, bukan?

BreakevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang