Part 7

94 5 0
                                    

Angin berhembus pelan, mengayunkan rambut panjang Chloe yang sedang duduk di taman tengah kampus. Sendirian. Sore ini, setelah selesai kelas Phsycology, Chloe memilih menyendiri. Lily dan Shawn, juga sudah pergi entah kemana.

Chloe mendongak, menatap cabang pohon akasia yang sepertinya sengaja di tanam untuk memperindah taman tengah ini. Jarinya berhenti menulis pada notesnya. Ia memejamkan matanya lama. Membiarkan angin menggoyangkan rambutnya, dan menyapu lembut pipinya.

Setelah perbincangannya malam itu dengan Harry--sepupu tengilnya, entah mengapa ia merasa seperti membohongi hati kecilnya. Ia seperti membohongi perasaanya, membohongi dirinya sendiri.

Tetapi, Chloe paham. Akan sangat sulit jika ia memaksa tetap bertahan, atau bahkan berjuang. Karena seseorang pernah berkata padanya, jika kamu terlalu erat menggenggam, jangan salahkan bila sesuatu itu akan terlepas dan hilang berserakan. Itulah yang sekarang sedang Chloe coba lakukan.

Ia berusaha menata hatinya untuk menghentikan harapan atas kemungkinan Shawn untuk melihatnya. Ia berusaha sekuat yang ia bisa untuk mengajak otak dan pikirannya berdiplomasi, agar berhenti terus-terusan memikirkan segala kemungkinan yang peluangnya bahkan dibawah 5%.

Ia masih berupaya untuk memantapkan hatinya, agar melepaskan semuanya. Just let it flow. Chloe hanya perlu membiarkan semuanya berjalan seadanya, seperti sebelum ia masuk dalam lingkaran pertemanan antara ia, Shawn, dan Lily.

Chloe kemudian menutup notesnya, dan bangkit dari duduknya. Ia tidak keberatan bila harus merasakan hal seperti ini. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah benar-benar menaruh perasaan pada orang lain. Shawn lah yang pertama, tetapi bukan yang terakhir. Chloe bahkan berjanji pada dirinya sendiri, untuk terbuka pada siapa saja.

Ia terus melangkah ke arah ruangan perkuliahan. Bibirnya tertarik, membentuk segaris senyum simpul. Seharusnya, ia berterimakasih pada Shawn dan Lily. Mereka berdua sudah berhasil menghidupkan lagi perasaannya. Bahkan, gadis seperti Lily, sudah mampu merubah Harry. Setidaknya, mengubah image cold dalam diri Harry Styles, menjadi sedikit lebih warm.

Berkat Shawn, ia bisa kembali merasakan seperti apa cepatnya jantung berpacu dan kupu-kupu yang seperti mengitari perutnya. Dan itu semua, menjadikan Chloe lebih hidup. Lebih ekspresif.

Thank you, Shawn. Thanks for all the moment I get. Lirih Chloe. Tak terasa, kakinya sudah mendekat pada lobby depan kampus.

Disana, tampak Shawn dan Lily yang sedang menunggu hujan reda sambil saling melemparkan lelucon. Gelak tawa mereka terdengar berirama dan pas. Seperti memang sudah di takdirkan bahwa suara tawa mereka saja, bahkan terdengar sangat cocok. Tawa yang lepas. Bukan suara tawa sumbang, ataupun tawa pura-pura.

Bibir Chloe kembali melengkungkan senyuman. Kali ini adalah sungguhan senyum bahagia. Beberapa waktu ini ia mengenal Lily, Chloe berani bertaruh bahwa Lily memanglah gadis yang baik. Sangatlah pantas jika Shawn bahkan memutuskan Lily menjadi miliknya. Miliknya, yang akan sepenuh hati Shawn jaga dan bahagiakan.

Lalu bagaimana dengan Harry?

Tak butuh waktu lama bagi lelaki kriting bermata hijau itu untuk menyadari semuanya.

"Thanks Chloe, kau telah menyadarkanku, bahwa segala yang kuperjuangkan, jika memang bukan untukku, maka harus kulepaskan. Karena lagi-lagi, takdirlah yang harus berbicara," gumam Harry--padahal Chloe tak ada di dekatnya. Ya, ia patut berbicara seperti itu karena memang faktanya, Chloe-lah yang paling ahli untuk membuka matanya.

Baru saja Harry hendak menuju kelasnya, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang.

"Harry! Wait!"

Harry menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah sesosok yang menahan pergelangan tangannya. "Chloe? Ada apa? Mengapa kau di sini? Seharusnya kau berada di jurusanmu, bodoh! Ah, jangan-jangan, kau ma--"

Chloe menginjak kaki Harry keras, hingga Harry mengaduh kencang. "Hhh, dengarkan aku dulu, keriting tak berotak! Aku ingin berbicara sesuatu!"

"Apa?"

"Tadi aku mendengar gumaman pelanmu, bahwa kau berterima kasih padaku. Ya, kan? Mengapa kau hanya menggumam? Mengapa tak mengatakan langsung padaku saja? Ah, kau terlalu gengsi. Ka--"

Dan kini giliran Harry yang menginjak kaki Chloe, dan giliran gadis itu yang mengaduh. "Kau terlalu banyak bicara!"

"Kau balas dendam padaku, ya? Dasar, sudah penuh gengsi, pendendam pula. Apa sisi baikmu, Harry?"

Harry memutar matanya. "Aku harus ke kelas. Waktumu tuk berbicara denganku tidak banyak, cerewet!"

"Oke, oke. Jadi begini, aku ingin membuat hidupmu makin berguna, sehingga kau menabung pahala dan hidupmu tak hanya tentang onar saja."

Sepupunya benar-benar membuat Harry kesal. Terlalu bertele-tele dalam bicara, padahal Harry sudah berkata bahwa lima menit lagi dirinya akan kelas.

"Grup musik membuka pendaftaran. Mereka akan mengadakan lomba! Dan karena aku tau kalau sepupu keritingku berbakat akan itu, kuminta kau mengikuti club musik itu!" tandas Chloe.

"Hah? Aku? Club musik? Untuk kuliah saja aku malas dan enggan, apalagi untuk hal seperti itu! Hah. No, Chloe!'' tolak Harry tegas, sambil berjalan perlahan menuju kelasnya.

Chloe berlari mengikuti Harry sambil terus berbicara. ''Please, Harry. Kau tahu kan, bahwa aku selalu ingin yang terbaik untukmu?"

"..."

"Dan kau tau kan, kalau aku menyayangimu?" tanya Chloe lagi, meski tak mendapat jawaban dari Harry.

Ah, si keriting benar-benar keras kepala, batin Chloe.

"Harry, kau mendengar berita kan, kalau Shawn dan Lily sudah resmi berpacaran?"

Yeah. Berhasil. Harry menghentikan langkahnya. "Oh ya?"

"Ya. Kau bisa membuka facebook milik mereka. Mereka telah official, Harry."

Harry mengendikkan bahunya. ''Wow, selamat," katanya tanpa ekspresi.

''Nah begitu pula denganku, Harry. Aku menemukan pria tampan di club drama yang baru kemarin kuikuti!" Chloe antusias sekali menceritakan ini pada Harry. Siapa tahu, Harry mau mengikuti jejaknya tuk segera move on dan mencari pengganti Lily.

Harry menatap Chloe dengan tatapan ragu. "Secepat itu?"

"Ck, Harry... Aku kan pernah berkata bahwa ratusan lelaki di sini memperebutkanku."

"Hm ya, ya, ya. Siapa laki-laki tak beruntung itu?" tanya Harry dengan nada super-menyindirnya.

"Namanya Liam! Akan kuperkenalkan kalau kau mengikuti saranku untuk ikut seleksi di grup musik!" Chloe tersenyum penuh kemenangan.

"Mengapa kau memaksaku?"

Gadis mungil itu menghela nafas dan menggenggam tangan Harry. "Sepupuku, kau tahu kan, kalau aku menyayangimu?"

"Ya."

"Ikutilah saranku. Hidupmu akan berkembang di sana. Kau akan melihat dunia luar. Mengikuti perlombaan di mana-mana, mencari dana sebagai sumber bantuan sosial, menunjukkan pada dunia, bahwa kau berpotensi dengan suara indahmu... Dan dengan begitu, kuyakin, matamu akan terbuka. Terbuka dalam hal pergaulan, dalam hal percintaan, dan yang terutama, dalam seluruh lapisan kehidupanmu ini."

BreakevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang