Sore ini begitu damai, sama halnya sore-sore sebelumnya. Kika memutar lagu The Beatles yang menggema lembut di seluruh penjuru kafe dan dia bersenandung lirih di belakang counter cucian. Sementara aku meneguk kembali teh hangat dan menikmati sore yang berharga ini.
Aku mendesah senang tatkala cairan hangat itu menuruni kerongkonganku, memberikan kehangatan yang tidak hanya sampai pada jaringan tubuhku. Tetapi juga hatiku. Well, terserah kalian mengatakan aku lebay. Tetapi aku sudah berjanji kepada diriku bahwa aku akan hidup dengan bebas.
Aku kembali melirik jam dinding klasik berwarna keemasan. Tersenyum mengingat bahwa sebentar lagi dia akan datang ke tempatku. Gadisku, Ara.
Dengan senyum yang masih tersungging di bibirku, aku mengingat lagi gadisku. Ah, dia selalu bisa membuat hari-hariku menjadi sejuta kali lebih indah, apapun yang dia lakukan.
Kemudian, seolah ketengangan sore yang syahdu ini terusik, suara gaduh mulai menggangguku. Teriakkan lelaki dan perempuan terdengar dari luar kafe, membuat Kika yang tampaknya telah selesai dengan pekerjaannya mendekati jendela.
"Sepertinya gadis itu kesulitan, Bos," gumamnya tanpa mengalihkan pandangannya. Tangannya mengepal erat dan alarm dalam diriku tahu bahwa tidak boleh membiarkan Kika keluar dan ikut campur dalam masalah dua orang itu. Bisa-bisa, aku harus memanggil ambulance ke mari.
Aku lalu bangun dari kursiku, keluar dari kafe dan melihat sosok yang sedang bersitegang yang mana salah satunya kukenali. Aku memicingkan mata sesaat. Sekali lagi memeriksa sosok itu yang berteriak dengan urat-urat di lehernya yang perlu dikasihani.
"Sudah kubilang seharusnya kamu tidak menggangguku! Atau aku akan-"
"Akan apa? Apa yang akan kamu lakukan kepadaku?"
Aku melihat untuk sedetik tatapan mereka mengunci. Tatapan sang gadis --yang mana seratus persen adalah kenalanku-- terlihat kesal dan lelah. Sementara sang lelaki terlihat marah dan murka dan terluka. Aku merengut melihat mereka, tidak berniat melerai pasangan kekasih yang sedang bersitegang jika saja tatapan tajam Kika tidak menghunus ke arahku. Oke, jadi aku akan masuk arena dan errr, sialan Kika karena sejak kapan pegawai bisa dengan mudahnya memerintahnya bosnya?
Aku lalu berdeham sekali. Berusaha untuk menarik perhatian mereka yang mana sama sekali tidak mereka hiraukan. Kemudian aku berdeham lagi, kali ini lebih keras dan bisa kulihat mereka mau tidak mau menoleh ke arahku. Well ya, kalian melakukan pertunjukkan di depan kafeku, saudara-saudara.
Saat sang gadis --yang bernama Miranda, teman lamaku-- melihatku, bisa kulihat pupil matanya melebar. Dia menarik napas kemudian mengembuskannya dengan cepat.
Aku menelan ludah susah payah. Dari reaksinya aku bisa melihat bahwa ada saklar lampu menyala di kepalanya jika saja saat ini kami berada di dalam film komedi. Kemudian aku mendengkus geli. Siapa yang mau kubohongi? Dari dulu dia memang seperti itu. Cerdik memanfaatkan situasi.
"Oh Kai, syukurlah kamu di sini." Gadis itu mendesah dan melingkarkan lengannya di leherku. Otomatis membuatnya berada di pelukanku dengan tubuh yang menempel sempurna. Satu doa yang otomatis langsung meluncur keluar dari hatiku adalah, agar Ara tidak melihat hal ini.
Aku kembali ke realita ketika merasa cengkraman di punggungku. Tentu saja itu Miranda dan untuk sesaat tatapan kami bertemu. Matanya yang berwarna cokelat gelap seperti meminta bantuanku. Membuat sudut hatiku tergerak untuk menolong orang yang pernah kukenal dulu. Errr, mungkin juga kami bisa berteman lagi di masa depan.
"Hai Sayang, apa yang terjadi?" kataku pura-pura bingung.
Gadis itu kembali mendesah dan semakin mendekatkan tubuhnya kepadaku. Aku meringis merasakan dua buah gundukkan lembut yang menekan dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORABILIA [repost]
General Fiction# After time series 1 Walaupun tidak ada satu orang pun di dunia ini yang peduli padamu. Yakinlah jika aku akan selalu peduli padamu.