Aku tidak tahu sejak kapan tertidur di dalam mobil. Ketika aku terbangun, aku merasa matahari sudah bersinar cerah. Melirik tempat duduk lainnya, tidak kutemukan sosok Ara ataupun Alex.
"Kamu sudah bangun?" sapa sebuah sosok yang tiba-tiba ada di depanku.
"Baguslah. Kamu bangun tepat waktu!" Dia membuka pintu mobil dan menyuruhku turun. Aku berdiri dan melihat jaket yang terjatuh dari pangkuanku. "Pakai itu kalau mau. Bersih kok," katanya santai sambil melenggang pergi.
Dia menyuruhku untuk duduk di tikar tak jauh dari mobil. Memberiku sebotol air mineral dan sebuah box berisi makanan. Aku melirik ke sekitar dan baru sadar bahwa di sekelilingku sudah banyak orang berkumpul. Masing-masing sibuk mengobrol asik sambil diselingi tawa. Aku mendengkus kesal karena dibawa ke tempat antah berantah.
Tidak ada penjelasan untukku?
Angin dingin lalu menerpa tubuhku. Membuatku mau tidak mau memakai jaket yang Ara sodorkan padaku.
"Kamu pernah main paralayang?"
Aku menggeleng.
"Bagus!" pekiknya senang. "Ini akan menjadi pengalaman pertamamu dan itu pasti akan menyenangkan. Setidaknya dibanding mengonsumsi narkoba," kekehnya sebelum dia membuka box berisi makanan yang sama denganku.
Aku mengernyitkan kening. Ngomong-ngomong soal narkoba, aku penasaran bagaimana dia bisa mengenal Joe. "Bagaimana kamu bisa mengenal Joe?"
"Oh?" Dia berhenti menyuapi makanannya dan tampak terkejut. Aku mengira dia enggan menjawab sampai akhirnya dia bersuara. "Kami pernah menjadi teman."
Aku mengrnyit, bingung. "Sekarang dia bukan lagi temanmu?"
Ara tergelak. "Dia masih temanku. Tapi aku sedang marah kepadanya," jawabnya enteng. "Lebih baik kamu segera menghabiskan makananmu sebelum angin berubah besar." Dia lalu melanjutkan makannya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Ara."
Dia mendesah kesal. "Apa?"
"Siapa kamu?" tuntutku.
Dia mendecak sebal. "Aku Tiara, kamu bisa memanggilku Ara."
"Kamu tahu bukan itu yang aku maksud," kataku datar. Aku sudah menanyakan itu berkali-kali dan ada apa dengan jawaban konyol miliknya. Aku Tiara, kamu bisa memanggilku Ara.
"Kamu akan terus menanyakannya?"
Aku mengangguk. "Aku memang bodoh karena mau saja kamu seret kemari. Tapi setidaknya aku harus tahu siapa yang bertanggung jawab." Tatapan kami bertemu dan aku baru menyadari warna mata Ara yang berwarna cokelat gelap. Cukup gelap hingga menyerupai hitam.
"Baiklah." Dia memutus kontak mata kami dan meneguk minumannya. "Seseorang, yang peduli padamu yang memintaku," dia tampak berpikir. "rr, mengawasimu atau setidaknya menolongmu jika kamu mulai bertindak bodoh."
Aku terkekeh. "Kamu benar-benar mengawasiku? Kamu bercanda."
Dia mengedikkan bahunya. "Hanya sebatas itu yang bisa kuberitahukan padamu. Tanpa kuberi tahu apapun lagi, seharusnya kamu tahu siapa yang mengirimku, nanti."
Ara menghabiskan makanannya dengan cepat selagi aku memikirkan apa yang dikatakannya tadi.
"Ara! Kemari, bantu aku!" seru seseorang ketika akhirnya Ara menghabiskan nasi kotaknya. Dia beranjak dan menyuruhku ke tempatnya jika aku sudah menghabiskan sarapanku. Dia menekankan kata 'menghabiskan' dengan tatapan tajamnya.
Seusai sarapan aku mengedarkan tatapanku berkeliling dan di sudut aku bisa menemukan Ara membantu seorang gadis --yang sepertinya sebaya dengannya-- dengan memakaikan helm dan flight suit. Tak lama kemudian Alex tampak memberi penjelasan singkat dan mereka mulai meluncur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORABILIA [repost]
General Fiction# After time series 1 Walaupun tidak ada satu orang pun di dunia ini yang peduli padamu. Yakinlah jika aku akan selalu peduli padamu.