Malam sudah menjelang ketika kami pulang dari Rumah Hebat. Selepas percakapanku dengan Miranda, dia berusaha menghindariku dengan terus menerus menempel kepada Ara. Ketika sudah di depan mobil saat akan pulang, Miranda menolak duduk di sampingku seperti sebelumnya.
"Kenapa? Padahal aku ingin memberikan ruang agar kalian untuk bisa mengobrol. Kalian kan sudah lama tidak bertemu," kata Ara ketika Miranda memberikan penolakannya.
Miranda tetep kukuh pasa keputusannya. Membuat Ara mengehela napas dan akhirnya duduk di sampingku.
"Aku menghargai apa yang kamu lakukan, Ara. Tapi aku tinggal dekat dengan kafe milik Kai. Kami punya banyak waktu untuk mengobrol nanti." Putusan final itulah yang akhirnya membuat Ara menyerah hingga akhirnya dia duduk di sampingku.
"Kau menikmati hari ini, Mir?" tanya Ara ketika aku mulai melajukan mobilku. Jalanan mulai lenggang dan kuharap hanya butuh waktu dua puluh menit hingga sampai di kafe.
"Uhm, ya. Aku senang."
"Bagus!" pekik Ara. "Aku akan mengajakmu di kunjungan yang berikutnya."
"Kamu sering ke sana?"
Ara mengangguk. Dia sudah berbalik dan membelakangi dashboard mobil. Membuatku berdecak kesal karena berpikir memiliki seorang anak bertubuh dewasa.
"Paling tidak sebulan sekali. Jika aku tidak terlalu sibuk bisa dua kali."
Aku melirik dari kaca spion dan Miranda tampak berpikir.
"Aku pernah tinggal di sana, Mira." Ara mengatakannya dengan enteng. Seperti membicarakan apa yang dia makan siang ini. Kenyataan bahwa dia yatim piatu dan hidup di panti asuhan --dulu-- tidak menganggu gadisku sama sekali.
"Uhm, maaf."
"Hey, kenapa kamu minta maaf? Tidak ada yang perlu dimaafkan." Ara tertawa. "Fakta bahwa aku yatim piatu bukan sebuah kesalahan siapa pun, Mira."
"Kamu benar."
Ara bergerak dan berputar. Dia mencari-cari di dalam tas dan menemukan permen. "Kamu mau, Kai?"
Aku mengangguk dan dia menyuapiku permen yang sudah terbuka bungkusnya. Ara juga membuka untuk dirinya dan memakannya, kemudian memberikan sebuah untuk Mir. "Eeght, rasa durian," keluhnya. Permen yang dia sukai memang memiliki bungkus yang sama dengan rasa yang berbeda. Padahal setengah dari isinya berisi buah-buah eksotik yang tidak disukainya. Lalu ketika aku menyarankan memilih permen lain, dia selalu menolak dengan berkata, "Mana kejutan dan kesenangannya, Kai?" Sangat khas Ara.
Aku tergelak, melihat wajah anehnya sekilas. Ara benci durian
Namun aku tahu dia tidak akan membuang permennya."Kai, kamu dapat rasa apa?"
"Vanilla." Aku menyeringai dan menggigit permennya di sela gigiku.
"Dan kamu, Mira?"
"Uhm, Strawberry?"
Ara mendengkus sebal. "Mira, maafkan aku. Bisa kamu menutup matamu atau menatap ke samping ketika lampu merah di depan?"
"Eh?"
"Kai, tukar!" katanya saat lampu merah yang dia maksudkan. Dia lalu merengkuh wajahku dan menciumku. Lebih tepatnya, dia menukar permennya dengan milikku. Bibir kami bersentuhan dan yeah, selalu seperti ada listrik statis menyenangkan di antaranya.
Aku belum siap menerima bibirnya. Merasa gemas dengan apa yang Ara lakukan dan berniat membalas ciumannya ketika Ara menarik diri. Ugh!
"Hey!" gerutuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORABILIA [repost]
General Fiction# After time series 1 Walaupun tidak ada satu orang pun di dunia ini yang peduli padamu. Yakinlah jika aku akan selalu peduli padamu.