6▶Pengakuan

118 7 0
                                    

Pengakuan

"Felin, bisa gak sih lo gak usah ganggu cewek gue? Mau lo sebenarnya apa sih?"

Ya, itu Arvin. Berdiri dihadapanku dengan wajah tampannya yang kini ternoda oleh guratan amarah.

"Cewek lo? Si cupu itu?"

Arvin masih menatapku dengan rahang yang terkatup rapat.

"Lo juga nanya mau gue apa? Mau gue lo putusin si cupu itu!"

"Apa urusannya?"

"Lo buta atau gimana sih vin? Gue tuh cinta sama lo. Gue sayang. Bertahun-tahun gue perhatiin lo, gue mau dideket lo, tapi akhirnya apa? Lo malah lebih milih si cupu itu dibanding gue!"

Air mata yang kutahan dari tadi tumpah ruah. Mungkin inilah saatnya untuk mengungkapkan semua perasaan ini.

"Cinta? Lo bilang cinta? Elo bego apa gimana, Fel? Lo selalu bully gue, mana mungkin lo cinta sama gue? Gak usah ngarang deh!"

"Elo yang bego. Seharusnya lo sadar, gue bully lo itu biar bisa dideket lo. Biar bisa mandang lo dari deket!"

"Tapi cara lo salah, Felin. Cinta itu bukan pake kekerasan untuk ngungkapinnya!"

"Elo lupa atau pura-pura lupa sih vin? Dulu awal kita masuk sekolah, gue pernah merhatiin lo. Senyum ke elo setiap hari. Tapi apa? Lo malah gak pernah nanggapin senyum gue bagai angin lalu. Lo cuma ngeliat ke satu titik. Sampai akhirnya gue sadar, siapa titik yang selalu jadi fokus lu. Itu Frigga. Dia gak ngelakuin apa-apa tapi dia dapet cinta lo. Giliran gue? Gue cuma dapet kebencian. Terus lo bilang cara gue salah? Cara yang mana yang salah? Kasih tau gue!"

Arvin terdiam. Menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Sementara air mata ini masih saja mengalir. Sakit rasanya mengingat kejadian 2,5 tahun silam ketika Arvin selalu berjalan tanpa mau menengokku.

"Gue... Gue bener-bener gak tau kalau lo pernah senyum ke gue. Sorry!"

"Itulah sebabnya gue pake cara kekerasan biar lo liat keberadaan gue, vin! Dan lo bilang cara gue salah? Haha!"

Aku tertawa bersamaan dengan air mata yang mengalir. Dulu aku bahkan tidak tau bagaimana caranya menangis sambil tertawa. Tapi Arvin mengajariku hal itu.

"Sorry. Tapi, gue mohon cukup sampai disini aja lo siksa Frigga!"

"Dengan satu syarat!"

"Apa itu?"

Aku tersenyum licik. Inilah saatnya Arvin jatuh kepelukanku.

"Lo harus jadi pacar gue!"

"Gak bisa. Gue gak akan mau."

"Baiklah, tapi jangan harap gue mau lepasin Frigga."

"Oke. Tapi gue gak akan putusin Frigga."

"Itu urusan lo!"

"Lo tuh bener-bener licik tau gak sih. Lo itu cantik. Lo bisa dapetin cowok manapun, Felin!"

"Kecuali lo!"

Arvin berlalu begitu saja. Sekali lagi, dia menatapku dengan penuh kebencian. Dia bilang aku licik. Mungkin memang benar, tapi inilah satu-satunya cara agar Arvin menjadi milikku. Ketika punggungnya sudah tak tertangkap oleh mataku, aku menjatuhkan diriku ketanah lapangan basket dibelakang kompleks perumahanku. Dadaku nyeri seperti diremas. Perlahan, kudengar langkah kaki yang mendekat. Kukira Arvin. Ternyata...

"Kamu gak capek nangis terus? Saya aja yang ngeliatnya capek!"

"Haidar? Ngapain kamu kesini?"

Ah jika melihatnya, aku mengingat kejadian malam itu. Aku merasa dilecehkan olehnya.

"Hanya dengan satu ciuman, kamu manggil saya dengan nama saja tanpa ada embel-embel om!"

"Terserah!"

Aku berdiri hendak berlalu pergi. Namun dia mencekal tanganku.

"Lepasin!"

"Hei, saya cuma mau minta maaf atas kejadian malam itu."

Aku mengangkat sebelah alisku. Menatapnya dengan malas.

"Yaudah. Sekarang lepasin. Saya mau pulang!"

"Oke, jangan nangis lagi! Mending kamu marah, Kamu akan lebih cantik kalau lagi marah!"

Dia melepaskan pergelangan tanganku. Dan aku berlalu meninggalkannya. Entahlah. Aku merasa bersalah. Hal yang Arvin lakukan kepadaku, malah kulakukan lagi pada Haidar.



A/N

hello.
Comment, kritik, dan sarannya!
Enjoy!

BLACKISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang