Ingin peduli dan mengerti , tetapi hati ini terlalu gengsi untuk melakukannya. Ingin acuh dan pergi, tetapi hati ini tak mampu untuk mengacuhkan dan pergi meninggalkan dirinya. - Bagas -
^^^
Chindai menekuk kedua lututnya, menenggelamkan wajah nya disana.Tangisan itu tak mampu di tahannya lagi, kedua bola matanya mulai membengkak karna terlalu benyak air mata yang dikeluarkan gadis itu.
Hingga suara langkah kaki mulai mendekatinya, langkah kaki itu berhenti tepat disebelah Chindai.
Chindai merasakan ruang kosong di sebelahnya telah diisi oleh seeorang. Sebuah tangan mengambil tangannya, menggenggam kedua tangan wanita itu dengan posisi tubuh menghadap wanita itu. Hangat.
Genggaman tangan itu terasa sangat hanyat dan membuat Chindai merasa nyaman.
Chindai mengangkat wajahnya, memandang seseorang yang sudah memandangnya lebih dulu.
Kedua tangan pria itu mulai terangkat, mendaratkannya tepat di kedua pipi gadis itu.
Kedua jari jempol pria itu diusapkannya lembut, menghapus bulir-bulir air mata yang sudah membanjiri pipi gadis itu. Chindai menatap lurus kearahnya dengan ekspresi datar.
Bingung apa yang harus dia lakukan. Hati nya terlalu berat jika harus menolak itu semua, rasa nyaman di bagian pipinya seakan membuktikan bahwa Chindai tak mampu sendiri. Dia butuh seseorang.
"Ini pertama kali nya dan untuk terakhir kali nya gue ngelihat lo nangis. Mana ada cewe berandal nangis sekejer ini. Air mata lo terlalu berharga buat dikeluarin. Entar cantiknya hilang lagi, ya tapi lo akan tetep cantik juga siiii..... dalam segi apa pun dan dalam ekspresi apa pun."
Tak tau harus menanggapi apa. Seulas senyuman terukir di bibir Chindai.
Jika biasanya Chindai akan merasa jijik mendengar gombalan dari pria itu, namun beberbeda dengan kali ini, dia benar-benar merasa nyaman dan tenang. "Kenapa lo bisa ada di sini sih? Pergi sana."
Hanya ucapan singkat yang mampu Chindai katakan. Bukan karna salah tingkah atau pun malu, tapi dia benar-benar bingung harus bersikap seperti apa.
Dia benar-benar tau, ini bukan perasaan cinta atau pun hal yang serupa dengan itu.
Rian, pria itu Rian. Mantan pacarnya yang dia putuskan tempo hari, pria brengsek yang sangat dia benci.
Si raja gombal dan playboy yang membuat Chindai seakan muak melihat tingkah lakunya.
Tapi kali ini dia memandang Rian berbeda, seperti sosok seseorang yang peduli padanya. Mungkin. "Kan dimana ada lo disitu ada gue.
Lagian ngapain sih nangis dia atap sekolah, mendingan nangis di pundak gue atau gak di pelukan gue. Gratis nih, tanpa embel-embel apa pun."
Seketika rangkaian tawa keluar dari mulut gadis itu, raut wajahnya sudah tidak menggambarkan kesedihan lagi.
Rian yang melihat ekspresi dari wajah Chindai yang awalnya menggambarkan kesedihan dan saat itu langsung tergantikan dengan mimik wajah bahagia nya, Rian yang melihat itu langsung ikut tersenyum.
Dan satu hal yang dia ketahui, kebahagiaan yang ter-ekspresikan di wajah Chindai penyebabnya adalah dirinya.
Baginya ini adalah lampu hijau yang menandakan Chindai akan segera membuka hatinya kembali untuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Games and Love
Teen FictionJika Tuhan memang adil dalam segala hal. Tetapi, mengapa hingga saat ini aku tak pernah mendapat keadilan itu? Kenapa Tuhan seakan menjerumuskanku dalam sebuah persoalan, yang aku sendiri tak tau harus bagaimana menghadapinya. -Chindai- Mengapa Tuha...