Entah Lidya yang bodoh atau akting Melody yang terlalu sempurna, akhirnya si gadis jangkung itu hanya mengangguk-anggukan kepala lalu mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Memandang hiruk pikuk Jeckyll Park dari kejauhan. Beberapa menit diisi keheningan. Sampai akhirnya Lidya membuka suara,
"Oh, ya.. omong-omong, makasih buat hari ini. Aku harap, kita bakalan selalu kayak gini, Mels. Tetap sama-sama. Aku ada buat kamu, begitupun sebaliknya," jeda sejenak. Melody sedikit menahan nafas menunggui Lidya menyelesaikan kata-katanya.
"Apalagi sekarang kamu tinggal sendirian, Mels. Gimana pun orang tua kamu udah nitipin kamu ke aku. Kamu tanggung jawab aku. Jangan pernah sungkan. Bukannya kita berteman, Mels? Sesama teman sudah seharusnya saling menjaga. Kamu orang yang paling deket selama ini sama aku. Kamu udah aku anggep kayak keluarga aku sendiri, udah seharusnya aku ngejagain kamu," tutur Lidya setenang permukaan air sungai yang terbentang di bawah jembatan yang menopang mereka.
Bertolak belakang dengan seseorang yang sedari tadi ada di sampingnya. Yang hanya terdiam mencoba menyerna apa yang baru saja keluar dengan lancar dari mulut Lidya. Melody merasa waktu mulai berhenti tepat pada detik dimana Lidya mengemukakan alasan yang selama ini ingin ia dengar. Sebelah tangannya terangkat, mencengkram dengan pelan bagian dadanya. Ia mendengar bunyi retakan disana. Melody tahu bahwa pada akhirnya akan ada jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya, atau sebenarnya tanpa harus mendengarkan penjelasan panjang dari Lidya ia sudah bisa menebak akhir dari semua kisah yang selama ini ia khayalkan? Ya, harusnya ia tetap menyimpan hatinya pada zona aman, hingga ia tak perlu susah-susah merasakan sakit. Harusnya ia bisa mengontrol perasaan bodoh ini, harusnya ia tak terlalu banyak berharap, harusnya ia buang perasaan ini dari dulu. Karena bagaimanapun apa yang Lidya katakan barusan adalah harga mati bagi Melody. Bahwa selamanya tak akan ada yang berubah dari status mereka.
"Mels," Melody merasakan sentuhan pada bahunya. Sentuhan ini begitu nyata, tetapi mengapa semuanya terasa asing dimata Melody? Ia menoleh, dan matanya bertabrakan dengan Lidya yang juga sedang menatap kearahnya.
"Are you Ok?"
Apa yang Lidya bilang? Apa dirinya masih bisa dikatakan baik-baik saja setelah semua yang dialaminya? Apa ia masih bisa dikatakan baik-baik saja setelah seseorang mematahkan hatinya?
Tiba-tiba saja kepalanya terasa pening. Ingin sekali Melody berteriak di depan Lidya, mengungkapkan apa yang sekarang ia rasakan. Tetapi, semua kata-kata yang hendak ia ucapkan serasa tertahan di pangkal lidahnya. Ia tak bisa, atau bahkan, ia tak boleh... Melody tak boleh gegabah. Jika ia mengungkapkan isi hatinya, mungkin saja Lidya akan menjauhinya, dan kembali, luka dihatinya akan bertambah.
Tidak. Jadi, jalan terbaik adalah...
"Ya, I'm ok..."
Berpura-pura bahwa ia baik-baik saja.
"Makasih, u-udah nganterin,"
Kini keduanya telah tiba di depan rumah Melody. Berdiri berhadapan di depan pintu pagar bercat hitam itu.
"Iya, udah kubilang, kalau..."
"...udah kewajiban kamu ngejagain aku? Begitu?" sambar Melody saat Lidya belum menyelesaikan kata-katanya. Sedetik kemudian gendang telinganya menangkap kekehan dari si gadis jangkung yang ada dihadapannya. Diam-diam, Melody tersenyum miris. Ya, mulai sekarang, sepertinya kata tersebut akan selalu ia ingat. Seolah tercetak tebal pada dahinya.
"Huft, yaudah, Mels. Masuk gih. Kelamaan di luar kamu kisut nanti, heheh..." canda Lidya.
Alih-alih merasa terhibur, candaan Lidya rasanya bagaikan luka disiram lemonade. Melody merasakan matanya mulai memanas. Bagaimana bisa persahabatan yang penuh ketulusan dari Lidya, ia nodai sendiri dengan cinta searahnya yang sangat tidak jelas?

KAMU SEDANG MEMBACA
Shinkirou
أدب الهواةJika Melody adalah Melody, maka Lidya adalah Ritme. Keduanya berpadu dan menciptakan Harmoni. Ritme tanpa Melody akan terasa hambar, begitu pula Melody tanpa Ritme akan terasa kosong.