01

3K 154 21
                                    

Pukul 05:23 pagi. Dua belas menit lagi kereta pertama di hari itu tiba. Kabut menyelimuti peron yang masih sangat sepi. Hanya terlihat beberapa orang berjalan di antara bangku-bangku panjang tempat penumpang duduk menunggu kereta. Bukan hanya berjalan ternyata, mereka sedang sibuk membersihkan lantai. Melody melihat jam tangan mungil di tangan kanannya untuk kesekian kali, "5 menit lagi," gumamnya. Pagi itu dingin sekali, sampai-sampai untuk bernafas pun terasa susah.

"Huft..." Melody mendengus. Dia masih tidak percaya bahwa dia harus melakukan ini, pergi dari kotanya sendiri, meskipun akhirnya ia memang melakukannya.
Dengan langkah gontai Melody menyusuri area stasiun, lantas matanya tertuju pada bangku besi panjang yang ada beberapa meter di depannya. Lagi-lagi helaan nafas keluar dari mulutnya, diiringi dengan sekumpulan uap yang keluar dari hidung mancung yang ujungnya mulai memerah karena terpaan hawa dingin. Kepalanya berulang kali melihat ke ujung jalan, lalu beralih pada jam tangannya. Terus begitu hingga akhirnya bunyi peluit panjang mulai sayup-sayup terdengar dari ujung lintasan. Mulai mendekat hingga benar-benar memasuki area stasiun. Lantas ia berdiri, menghadap pada pintu yang terbuka, dan memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

'Benarkah yang akan aku lakukan?' Hati kecilnya bersuara.

Ia masih mematung, tak peduli bahwa badan mungilnya sesekali terdorong oleh penumpang lain yang berebut keluar dari kereta. Dan, akhirnya, dengan segenap tekad yang membumbung, kaki kecil itu mulai menjejakan diri di atas permukaan lantai kereta. Tubuhnya menghilang, seiring dengan tertutupnya pintu kereta yang entah akan membawanya kemana.

Benar atau salah, ia tetap harus melakukannya..

Di dalam gerbong terlihat suasana yang nyaris sama dengan di dalam stasiun tadi, hanya ada beberapa orang, minus petugas kebersihan yang membersihkan lantai. Dia merogoh saku jaketnya, memeriksa tiket yang di bawanya sambil berjalan dan menoleh kiri-kanan.

"24B. Hmm... Nah!"

Dia menemukan kursinya. Langsung saja dia duduk dan menyandarkan punggungnya yang lelah. Kereta mulai berjalan, pepohonan perlahan tampak bergerak kebelakang.

Dinginnya pagi itu membuat jendela kereta berembun, memantulkan samar-samar bayangan wajahnya, dia tersenyum kecil sambil menggumam ke arah wajah yang terpantul itu, "hmm... Kasihan banget sih." Wajah di balik jendela balas tersenyum seperti mengejek.

"Hihihi..." Melody tertawa geli sendiri.

Kini dia mengalihkan pandangan dari jendela, kembali menghadap kedepan sambil memejamkan mata, memikirkan apa yang telah dia lakukan, keputusan ini, memang berat, tapi dia merasa dengan cara ini akan membuatnya jadi lebih baik.

***

Lidya, gadis muda, teman masa kecil Melody, di suatu pagi lima tahun yang lalu itu berbicara kepadanya.
"Ayolah Mels... Langsung aja daftar bareng ke kampus itu,"

"Yah, aku ga di bolehin daftar disitu. Mama maunya aku daftar di UNW, biar sama kek mama," jawab Melody.

"Tapi di kampus UNB kan lebih Deket, lagian kita entar bisa berangkat bareng kan?"

"Tapi Lids, aku ga--"

Tiba-tiba Lidya menekan tombol untuk berhenti ketika bus mereka tiba di depan kampus UNB.

"Ayo!" kata Lidya sambil menarik tangan Melody.

"Eh, ehh...," Melody mencoba menolak, tetapi dalam hati kecilnya, sebenarnya dia juga sangat ingin bisa kuliah satu kampus dengan sahabatnya itu.

ShinkirouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang