Entah berapa menit atau jam ia bertahan di depan perapian itu. Yang jelas sudah cukup lama karena kini api perlahan mulai padam hingga dinginnya malam mengalahkan hangatnya perapian. Selimut tebal yang membungkus tubuh Melody sedikit demi-sedikit merosot dari tubuhnya yang masih terduduk di kursi dengan mata terpejam. Api di perapian padam tepat saat selimut itu jatuh sepenuhnya. Udara dingin yang tajam seperti pisau lolos melalui celah-celah ventilasi ganti menyelimuti tubuh Melody, namun ia tak merespon sedikitpun. Entah karena tubuhnya terlalu lelah untuk melawan, atau memang sudah tidak mampu lagi.
Lidya... Lidya... Lidya...
Suara Melody menggema seolah seperti berada di kejauhan. Tangannya terjulur ingin menggapai apapun yang bisa digapainya. Namun sekelilingnya hanyalah kehampaan, semuanya berwarna putih.
Lidyaaaa.....
***
LIDYAAA!!
Aku terbangun tepat ketika sebuah tangan mendarat diatas kepalaku. Perlahan aku mengerjap dan menggosok-gosok kepalaku. Awalnya semua berwarna putih. Kemudian ketika pupil mataku telah beradaptasi, kulihat sesosok siluet sedang membelakangi jendela yang bercahaya oleh matahari pagi. Sosok itu perlahan mendekatkan wajahnya kepadaku.
"Bangun, Lidsky. Kamu pikir jam berapa sekarang!?"
Setelah semua sistem di otakku bekerja sempurna, aku menyadari bahwa suara dan sosok itu telah kukenal baik sebelumnya.
"Iya iya, Mels. Kalem dong... Huft,"
"Ini apa!? Berantakan sekali!"
Aku memandang meja tempat dimana kepalaku tadi bersandar. Komputer yang masih menyala. Sebuah pensil yang patah ujungnya terselip diantara beberapa lembar kertas penuh sketsa dan coretan. Beberapa robekan dan remasan kertas juga tersebar di sekitar meja. Bahkan aku melihat sekilas Melody memungut sebuah kertas yang terlempar di ambang pintu kemudian memasukkannya kedalam keranjang sampah kecil disamping ranjang.
"Maaf ya, berantakan, seperti biasa."
"Iya, gitu aja terus, berantakan, ketiduran, huuft..." ia menghela nafas sambil berlalu.
Aku hanya tersenyum ke arah punggungnya. Meskipun Melody terlihat galak, aku tahu bahwa sebenarnya ia baik dan sangat perhatian. Terbukti dari adanya secangkir teh dan beberapa potong roti yang kini berada di atas meja, seperti biasa dan selalu dari dulu setiap pagi, bahkan sebelum kami pindah dan membuka sebuah penginapan di kota Shirohara ini, kota yang terkenal dengan wisata alamnya yang indah.
Grimmauld Village. Kami sepakat menamai penginapan milik kami ini dengan nama itu. Sama seperti ketika kami menamahi rumah yang terdahulu dengan nama; The Bouquet, aku tidak tahu apa artinya karena lagi-lagi itu ide Melody. Aku beranjak dari ranjang dan berjalan ke arah jendela kemudian membukanya. Udara pagi masih terasa dingin, namun samar-samar kehangatan matahari yang menerobos kedalam kamar sedikit demi sedikit menghangatkan kulitku. Kulihat dari jendela kamarku yang berada di lantai paling atas bangunan ini, tempat parkir penginapan tampak ramai. Bangunan yang kami tempati berdiri di bagian belakang kompleks Grimmauld Village. Sementara bangunan-bangunan di bagian depan adalah bangunan utama dan beberapa paviliun yang kami sewakan. Dan sepertinya pagi ini Grimmauld Village sedang ramai dengan pengunjung. Tentu saja kami tidak mengelola tempat ini berdua saja. Kami memiliki beberapa orang karyawan. Masing-masing karyawan telah memiliki tugasnya sendiri.
"Lids! Buruan!"
Suara Melody kembali terdengar dari kejauhan, sepertinya dari lantai bawah.
"Iya iya!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Shinkirou
FanfictionJika Melody adalah Melody, maka Lidya adalah Ritme. Keduanya berpadu dan menciptakan Harmoni. Ritme tanpa Melody akan terasa hambar, begitu pula Melody tanpa Ritme akan terasa kosong.