II. Menculik Saya pun Tidak Akan Menguntungkan

25.6K 2.9K 585
                                    

Kelas seni lukis kedatangan seorang murid baru yang agak ajaib. Bukan agak, tapi benar-benar antimainstream. Orang normal menyebutnya oon, atau juga dodol. Itu semacam makanan dari kasta jenang yang rasanya lumer di mulut dan lengket. Mereka tidak mengerti bagaimana cara pikir anak itu. Dia akan menjawab apa yang orang tanya, namun dalam beberapa detik jawabannya akan melantur kemana-mana.

"Kok bisa pindah ke sini?" Cewek nyentrik di pojokan bertanya pada cowok nyeleneh itu. Arbi sebagai korban yang harus menjawab pertanyaan serupa itu hanya tersenyum, lantas mengedikkan bahu.

"Takdir mungkin." Arbi sudah menjatuhkan talak atas hidupnya. Lantaran hidupnya seperti lukisan aliran surealisme. Tidak bisa diartikan secara gamblang hingga melampau batas logika. Tidak tahu, ya! Dia sendiri jarang berlogika soal hidup. Dia hanya ingin menjalani hidup ini hingga maut menjemput. Meski kadang Arbi memberontak. Dia tidak tahu kenapa dia harus bertanya aneh-aneh. Kadang ibunya sampai pusing untuk menjawab pertanyaan Arbi kecil.

Orang tidak akan menyebutnya jenius, karena apa yang ditanyakan anak itu selalu saja aneh. Orang-orang terpaku pada tingkat kejeniusan seseorang berdasarkan logis tidaknya ucapan dan pemikiran. Sudahlah, Arbi hanya perlu menjalani hidupnya saat ini.

"Kamu suka lukisan surealis?"

"Tidak juga."

"Trus?"

"Bahkan saya sendiri tidak pernah tahu jenisnya. Saya hanya ingin melukis." Arbi kembali menggoreskan kuasnya di kanvas. Cewek nyentrik itu terganggu karena ucapan Arbi yang cenderung kaku dan juga formal.

"Cara ngomong kamu kaku banget!"

"Saya sudah hidup dengan fleksibel."

Cewek nyentrik itu ingin salto sekarang. Tidak bisa! Dia tidak akan pernah bisa berteman dengan makhluk seperti ini. Cara pikir dan juga cara bicaraya sangat berbeda dengan manusia normal. Oke, kita meletakkan nama normal untuk hal yang kontekstual. Anak seusianya menggunakan ragam santai ketika bicara dengan teman sebayanya.

Namun Arbi berbeda.

"Jam kelima nanti ada pembekalan buat pameran lukisan. Kamu datang juga, kan? Wajib, lho!" Cewek nyentrik itu berdiri, lalu berlalu. Ketika melewati punggung Arbi, iseng dia menoleh dan menatap lukisannya. Matanya melotot.

Tidak paham surealisme?!

Lalu lukisannya itu jenis apa?

Cewek nyentrik yang bahkan belum Arbi tahu namanya itu melengos kesal. Lukisan Arbi tentu saja masuk dalam jajaran aliran surealisme. Murid baru itu punya aura aneh ketika melukis. Caranya memegang kuas, caranya menatap kanvas, bahkan caranya menarik napas. Menghembusi bau cat yang sudah terhampar di palet.

"Apa melihat lukisan adalah keharusan?" Arbi menggumam sendiri. Tangannya masih sibuk berkutat dengan kuas. Dia tidak perlu ikut sosialisasi atau apapun itu. Meski dia senang juga. Persiapan pameran tentu saja akan memakan waktu lama. Project Work untuk pameran lukisan pasti membutuhkan persiapan. Jadi...

Selamat tinggal tugas!

Juga sekolah!

"Ini udah jam istirahat." Gita muncul tiba-tiba di belakang Arbi. Arbi menoleh dan mendapati sepupu cantiknya itu sedang duduk manis. Arbi dan Gita itu mirip sekali. Bedanya hanya dari mata. Mata Arbi lebih sipit. Orang akan sering menganggap mereka kakak adik.

"Saya tahu."

Gita meradang seketika.

"Mas, bisa nggak sih ngomong pake bahasa yang lebih akrab? Aku kayak lagi ngomong sama pejabat!"

Kidnap Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang