V. Saya Dibebaskan, Tapi Saya Diawasi

22.5K 2.4K 409
                                    

            Arbi menatap dua lukisannya yang sudah jadi. Dari sudut manapun lukisan itu tampak seperti dua buah lukisan dengan inspirasi sama. Objek yang sama. Tentu saja Arbi tahu kalau memang itu yang dia lakukan. Lukisan pertama terinspirasi dari ketakutan Nenda soal petir, lalu lukisan kedua adalah gambar kucing dan seorang anak lelaki. Kucing itu memakai mahkota seperti raja.

Arbi merasa kalau kucing dalam lukisan itu sudah menyindir seseorang. Cowok kaya yang sedang terpekur karena bingung.

"Lukisan saya sudah jadi. Terima kasih, mas Nenda!"

Nenda terusik mendengar panggilan baru untuknya. Dia tidak tahu sejak kapan namanya sudah berubah jadi menyebalkan seperti itu. Arbi membungkus lukisannya agar tidak berdebu.

"Saya sudah banyak merepotkan. Terima kasih sekali lagi."

Nenda berdehem sekilas.

"Lalu mau kamu kirim ke sekolah gitu?"

Arbi menggeleng pelan. Tidak mungkin dia mengirim lukisan itu. Dia harus mengirimkannya sendiri ke sekolah. Andaikan dikirim via pos pun pastinya ada alamat pengirim. Nenda pasti akan melarangnya.

"Jadi, mau kamu apa?" Nenda bertanya sekali lagi.

"Saya harus kembali ke sekolah, setidaknya sampai pameran selesai."

Nenda menaikkan alisnya.

"Saya tahu kalau mas tidak akan membebaskan saya. Saya tahu diri, saya diculik di sini. Jadi saya harus kembali jadi tawanan, setidaknya sampai Gita mau kembali ke pelukan mas Nenda."

Nenda yakin kalau cowok di depannya ini memang bebal dan oon setengah mati. Ada ya orang diculik tapi dia tetap konsisten untuk tinggal di rumah penculiknya begitu?

"Lalu?"

"Saya ingin membalas budi pada mas Nenda."

Kali ini Nenda tertarik. Balas budi berarti mendapatkan sesuatu yang sebanding dengan usahanya selama ini. Nenda sudah melakukan banyak hal terhadap Arbi, dengan tujuan agar cowok itu tetap hidup. Arbi diberi makan, nebeng belajar juga, lalu dibiayai untuk melukis. Penculik mana yang sebaik dirinya, coba?

"Apa yang bisa kamu berikan?"

"Saya bisa mengajari mas Nenda untuk move on dari Gita."

Nenda bukan cowok bodoh yang percaya pada janji klise seperti itu. Move on terhadap Gita? Bahkan dia sudah lupa soal Gita. Dia tidak ingat soal Gita karena perhatiannya sudah teralihkan karena kerusuhan cowok oon yang ajaib ini.

"Kenapa?"

"Sebagai balas budi saya, saya ingin membuat mas Nenda bangkit dari Gita. Gita bukan tipe orang yang akan mengulangi kesalahannya. Dia keras kepala, mas."

"Jadi kamu anggap aku sebagai sebuah kesalahan?"

Arbi tahu, dia sudah salah bicara. Lantas karena dia sudah bingung mau bicara apa, akhirnya cowok absurd itu menghembuskan napas berat.

"Saya hanya ingin membantu mas Nenda untuk move on."

"Baik banget. Kenapa?"

"Karena mas sudah berbaik hati untuk merawat saya selama ada di sini." Arbi menjawab datar. Perlahan Nenda menelisik wajah yang sedang bicara ini. Bahkan ketika hampir dua minggu lebih dia berada di sini, Nenda masih belum bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.

"Apa yang bisa kamu ajarkan?" Sejujurnya, Nenda hanya penasaran. Dia tahu kalau mendengarkan cowok absurd ini bicara sama dengan menjerumuskan dirinya sendiri.

"Kepribadian mas yang harus diubah."

NGACA!!

Kalau memang dia tahu, harusnya dia sadar soal itu. Ini sama saja dengan masuk rumah sakit jiwa, tapi dokternya juga gila. Itu tidak lucu sama sekali! Nenda melongo, bersiap melepaskan amarahnya. Dua minggu lebih dia diuji. Kesabarannya diuji. Pak Gito dan yang lain seolah senang-senang saja dengan perubahannya.

Kidnap Me, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang