Sisi mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar lampu yang lumayan terang sedikit membuat sisi harus menyesuaikan nya.
"lo gak papa?" sisi memandang seorang yang menarik kursi tunggu untuk mendekat ketempat ia terbaring.
Sisi harus kembali terbaring lemah, tangan kanannya kembali terpasang jarum dan infus. Mungkin sisi memang benar benar membutuhkan istirahat total, kali ini bukan hanya mag yang jadi kendala tapi sudah memasuki gejala tifus.
Sisi menggeleng lemah. Rasanya tenggorokan nya kelu tak mampu bersuara.
"kali ini sepertinya lo harus benar benar kehilangan kerjaan lo si, gue baru terima surat teguran dari kantor lo. Wajar aja sih, lo hampir satu bulan lo gak masuk kerja. Karna lo pinter aja masih dikasih toleransi" jelas sila yang lansung membuat mata sisi melebar.
Ia tak bisa melakukan apa apa, benar yang dikatakan sila. Nasibnya masih begitu baik karna tidak lansung dipecat. Dan kali ini ia harus benar benar kehilangan pekerjaan. Gejala tipes yang dialami sisi membuat ia harus benar benar beristirahat dan tak membantah.
"lo kenapa sih bisa sampek pingsang didepan rumah gitu?" Tanya sila sembari membenarkan selang infus sisi.
"gue juga gak tau kak, tiba tiba aja gelap dan gue gak inget apa lagi" terang sisi dengan masih mengurut keningnya sendiri.
"tekanan darah lo juga rendah si, jangan banyak fikiran dulu deh. Penyakitan juga tapi banyak tingkah" cela sila meninggalkan sisi.
Untung saja ia memiliki kakak seorang perawat. Sisi selalu tertangani dengan baik meskipun tidak dirumah sakit. Sisi menaikan selimutnya, mencoba kembali memasuki dimensi lain berharap setelah bangun sakit kepala dan lemas ditubuhnya menghilang.
"dia gak papa, lo tenang aja" ucap sila setelah menutup pintu kamar sisi.
"lo pantau pola makan nya, jangan sampai dia kena tifus beneran sil."
Sila mengangguk patuh. Sila memang langsung menghubungi digo setelah membawa sisi yang tak sadarkan diri masuk kedalam rumah. Sila panik, satu-satu nya hal yang terlintas difikirannya adalah meminta bantuan digo.
"tekanan darahnya juga rendah, maafin gue sil. Seharusnya gue tadi gak ninggalin dia sendiri" digo mengusap wajahnya.
Dengan masih mengenakan setelan baju dinasnya ia memandangi punggung sisi dari luar kamar sisi. Ia langsung meluncur ketika sila menghubunginya, ada rasa bersalah didalam dirinya. Jika saja ia tak meninggalkan sisi sendiri mungkin hal in tidak akan terjadi.
Saat didalam ruang kerjanya digo sudah sempat membatin kenapa wajah sisi terlihat sedikit pucat. Tapi hal itu tak sempat ia sampaikan karna digo sudah lebih dahulu dikuasai rasa jengkelnya. Sisi masih terus membahas sila, itulah yang tak disukainya.
"dia menghindar sil, semakin menjauh dari rengkuhan gue" terang digo masih didepan kamar sisi. Memandang punggung gadisnya itu.
"dia hanya gak ingin menyakiti gue dig, yakin aja cepat atau lambat sisi akan menyadari kalo dia gak bisa tanpa lo" sila mengusap punggung digo.
Mendengar jawaban sila digo hanya mampu tersenyum. Ia harus kembali menunggu dan tak bisa memaksa. Meskipun sisi sudah tepat didepan matanya, tapi masih ada jarak diantara mereka.
Digo menghempaskan tubuh kekarnya diatas kasur empuk miliknya. Bayangan masa SMA nya kembali berputar, mencari cara untuk menarik sisi kembali dalam pelukanya.
Digo bangkit duduk ketika mengingat buu miliknya, didalamnya ada beberapa hal yang ia tulis dengan samar karna memang sisi memberinya dengan samar.
Diusapnya sampul buku itu menghilangkan debu tebal yang menempel. Buku biru dengan sampul bergambar langit dengan tulisan latin diatasnya.
"tentang aku" gumam digo membaca judul buku dihalaman pertama itu.
kau mengenal namaku tapi tidak dengan diriku
aku adalah mawar yang kau sebut indah tapi melukai
aku adalah tetesan air menyejukkan tapi tak menghilangkan rasa hausmu
aku adalah rasa benci dari rasa pedulimudigo menarik kursi di depan meja belajarnya. Ada sebuah makna dari sebuah kata. Butuh waktu dan konsentrasi untuk menyimpulkanya.
Lama sekali sejak buku ini ia terima tak pernah ia buka. Usang sekali bahkan tinta yang tergores membentuk sebuah tulisan hampir tak bisa terbaca.
Digo mulai membuka lembar demi lembar, membaca tanpa melewatkan satu katapun. Ada hal yang belum ia pahami dari sisi kepribadian sisi. Ia memang ekspresif mudah sekali menyampaikan perasaan lewat raut wajahnya.
Indah jika ada perjuangan
tapi jika aku harus sendiri
mungkin harusnya aku berhenti
karna langkahku tak berarti lagiDigo sedikit memijat pelipisnya. Sisi menyiratkan yang masih abu. Ini memang hanya sebuah tulisan hampir lima tahun lalu tapi sampai saat ini digo belum benar benar memahami.
"dari siapa bik?" digo membuka pita pink yang mengikat kotak biru itu.
"non sisi den, tapi dia pesen ke bibi buat gak ngomong siapa pengirimnya" digo tersenyum mendengar jawaban polos bi surti.
"terimakasih bi"
Ingatan digo kembali berputar saat dimana ia mendapatkan buku ini. Sisi tak ingin mengetahuinya dan hari itu tepat dimana digo mengakhiri hubungan mereka.
"apa yang pengen lo sampein si" gumam digo menutup lembar terakhir buku itu.
Digo sudah membaca setiap lembar tulisan dibuku itu. Kesimpulannya pun tak ia dapatkan, semua masih samar dan tak bisa ditebak.
" kau mengenal namaku tapi tidak dengan diriku" ucap digo sembari beranjak dari meja belajarnya.
Fikirannya kembali berputar saat dimana sisi menjelaskan alasan ia meninggalkan digo. Sisi yang dikenalnya adalah sisi yang tidak begitu peduli dengan orang lain. Ia hanya memikirkan bagaimana dirinya ada diposisi yang mana.
"dia menyelamatkan gue" gumam digo.
Sisi memang mengorbankan cintanya untuk keselamatan digo. Bahkan ia juga harus rela menahan luka untuk berpura pura mencintai laki-laki lain.
"aku adalah mawar yang kau sebut indah tapi melukai" ingat digo menyebut baris kedua dari puisi itu.
Indah tapi melukai. Kiasan yang sering digunakan untuk menyatakan rasa sakit dari sebuh cinta. Cinta mana yang tak indah? Bahkan kita selalu mengharapkan kehadiran cinta disetiap hembusan nafas. Tapi dari cinta kita sering merasakan luka.
Mawar adalah lambang cinta. Harumnya yang memikat, keindahan kelopaknya yang menarik pemandangnya, warna yang menyejukan mata. Tapi jika kita tak berhati-hati maka akan terluka dan merasakan perih. Dari keindahanya ada duri yang siap melukai.
"mungkin yang dimaksud sisi, dialah keindahan dan gue yang tersakiti" digo menyimpulkan.
Buku itu hanya berisi teka-teki yang harus digo pecahkan sendiri. Sempat terlintas difikiranya untuk menanyakan langsung pada sisi. Tapi niat itu kembali ia urungkan saat menyadari hubungan yang sedang tak baik diantara mereka.
"Digo !!"
Lamunan digo harus terhenti saat mendengar teriakan mamanya dari lantai dasar.
"iya ma" balas teriak digo membuka kamar. Dengan tergesa digo menghampiri mamanya.
Tubuhnya menegang, rasanya kakinya tak lagi bisa digerakkan. Mulutnya kelu untuk berucap, hanya kelopak mata yang sesekali berkedip.
"apa kabar bro" sapanya
Digo menggeleng pelan, masih tak mempercayai kehadiran sahabat lamanya itu.
"Bruno..."
**
YOU ARE READING
Menghapus Yang Terukir
Fanfiction~beberapa part diprivate~ Dia si pencuri hati menghilang berlari dan tak kembali Dia si penggenggam jiwa tak percaya dengan yang ada Dia si separuh jiwa terbangkan hati dan menyakiti Dia pernah menjadi bagianku ~ digo inilah kisah cinta seorang Dig...