Sisi mengerjapkan matanya beberapa kali. Tubuhnya masih terasa lemah, bibirnya masih pucat. Matanya melirik sekilas kesisi ranjang, digo masih menelungkupkan wajahnya diatas kedua tangannya. Perlahan tangan mungilnya mengusap lembut rambut digo tanpa berniat membangunkan sang empunya.
"hey maaf aku membangunkanmu ya" tegur sisi mengulas senyum, digo mendongakkan kepalanya. Memandang bidadari yang masih terbaring lemah dihadapannya itu.
Hari ini sisi akan mendapatkan hasil pemeriksaannya, apakah ia benar ia di diagnosis liver atau tidak. Hari ini akan menjadi penentu langkah digo selanjutnya. Ia masih enggan untuk mengakui kecemasannya, bahkan obrolan panjang dengan bruno tak banyak memberi pengaruh terhadap sikapnya.
"pak dokter kok gak dinas?" sisi menopang tubuhnya dengan kedua tangannya, hendak menyandarkan dikepala ranjang.
digo kembali mengulas senyum, hanya menggeleng lemah. Tubuhnya ikut mengeluarkan keringat dingin, tak nyaman rasanya hingga digo bangkit dari duduknya.
"mau kemana?" sisi menahan tangan digo ketika digo hendak membalikkan tubuhnya.
"keluar sebentar, lo udah terlihat lebih baik. Sila sebentar lagi akan datang" digo memandang sisi yang masih setangah berbaring. Padahal ia sendiri belum mendapat kabar dari sila apakah dia sudah akan mengunjungi atau tidak.
"oh thanks ya kak digo, gue boleh minta tolong" sisi memandang digo penuh harap. Tak menunggu digo langsung mengangguk patuh.
"tolong minta kak bruno aja yang nemenin gue."
Digo kembali menjatuhkan tubuhnya duduk disisi ranjang, menghela nafas panjang. Sulit sekali rasanya untuk berterus terang pada perasaannya sendiri. Malu jelas, untuk sekedar mengatakan dengan lantang sebuah cinta saja ia tak memiliki kekuatan.
"bruno sibuk si, lo gak bisa terus terusan bergantung sama dia" digo memberi pengertian. Ingin bruno sebenarnya untuk memberi pengertian sisi. Sebelum bruno meninggalkan rumah sakit dia memang sempat meminta digo untuk memberi sisi pengertian karna sudah akan dipastikan sisi akan mencari bruno.
"lo ngertikan si?" Tanya digo kembali saat sisi hanya mengulas senyum.
"gue ngerti kak, lo bisa pergi sekarang. Gue gak akan bergantung sama siapapun. Gue mampu berdiri diatas kaki gue sendiri" matanya menatap digo, tajam tapi berarti. Air matanya sudah mengatung, sisi kembali sendiri.
"bukan gitu maksud gue si, gue hanya gak pengen lo bergantung sama bruno karna itu akan membuat pekerjaan dia terbengkalai, dia harus mengurus beberapa kantor cabang si dan dengan lo selalu meminta dia untuk menjaga lo, bruno akan semakin terbebani. Gue harap lo ngerti.
Sisi mengangguk, matanya terpejam membuat air matanya terjun begitu saja. Masih sama rasanya ketika ia harus melepas digo. Rasa nyeri dihatinya terus menekannya, tangan kirinya yang bebas menekan dadanya.
"si lo gak papa?" digo yang melihat sisi meringis menahan sakit bangkit berdiri meraih tangan sisi.
"rasanya gak jauh beda, sama persis ketika gue harus melepas kakak senior dulu. Gue sendiri dan seperti orang bodoh. Semua udah berakhir kak, lo boleh pergi."
"tugas gue belum selesai si" digo membantu sisi untuk kembali berbaring.
"kak udahlah, lo gak perlu berbaik hati ngurusin gue kalo pada akhirnya lo sendiri yang akan membuat gue berakhir. Gue cinta sama lo" sisi meremas kedua tangan yang menggenggamnya. Pandangannya jatuh tepat dimanik mata digo.
"gue gak bisa kak harus terus bermain drama seolah kita sudah benar berakhir, ikatan itu memang sudah terputus. Tapi cinta sejati tak terikat kak, akan ada dan terus ada sampai takdir berakhir" ungkap sisi akhirnya. Ia sudah tak bisa berlama-lama menahannya lagi, perdebatannya dengan bruno tempo hari sedikit banyak yang memberinya dorongan untuk segera mengakhiri drama kehidupan cintanya.
"sekarang terserah kakak, lepaskan jika gue bukan cinta yang seharusnya dipertahankan. gue gak akan pernah memaksa lo untuk tetap bertahan dengan sebuah cinta yang dianggap sebuah kepalsuan."
"si.." digo mendongakkan kepalanya, menatap sisi hingga sisi mengakhiri setiap kata yang ingin ia lontarkan.
"apa gue terlalu pengecut untuk sekedar mengaku cinta sama lo? Apa gue terlalu bodoh untuk mempertahankan sebuah ketidak percayaan? Gue cinta sama lo" digo kembali bangkit dari duduknya, menangkup kedua wajah sisi memandangnya lekat.
"gue cinta sisi, gue cinta sama lo" digo mengulang sebuah pernyataan cintanya. Suhu ruangan kembali menghangat, perlahan bibir lembab digo jatuh dikening sisi. Lama. Digo menahannya.
Sisi memejamkan mata menimakmati setiap sentuhan digo. Menyalurkan seluruh rasa rindu yang sudah menyiksanya.
"apa gue masih pantas untuk menerima sebuah cinta dari lo kak? Apa seorang penghianat cinta seperti gue ini masih pantas?"
Digo mengurai pelukkannya, ia menangkup kedua pipi sisi. Tatapannya menusuk, mencari sebuah kebenaran dari ucapan sisi.
"apa yang ngebuat lo bisa mengelompokan mana yang pantas dan mana yang gak pantas untuk sebuah cinta si? Cinta itu sederhana, sesederhana menerima kekurangan tanpa mempermasalahkan kelebihan. Sesederhana ketulusan tanpa kemunafikan. Sesederhana kehidupan nyata tanpa ada drama. Sesederhana hujan yang terus tanpa pamrih turun meski tak diinginkan, sesederhana matahari yang akan terus bersinar memberi kehidupan tanpa meminta kita untuk membayarnya. Sesederhana sisi yang selalu berkorban untuk dokter bodoh macem gue ini"
Pandangan digo tak lepas dari kedua manik mata sisi. Sisi menarik nafas panjang, rongga dadanya terasa menghimpit pernafasannya. Mendengar penuturan digo membuat pelupuk matanya penuh. Air matanya kembali siap untuk terjun bebas.
"tak akan ada lagi alasan mengapa, kenapa dan bagaimana tentang mencintai dengan cinta. Perjalan cinta kita ini cukup memberi sebuah pelajaran berharga untuk mengerti sebuah arti kehilangan"
Sisi menyunggingkan senyum disudut bibirnya, kebahagiannya kembali membuncah ketika ia dengan jelas pengakuan cinta digo untuk kedua kalinya.
"sekarang izinkan kakak seniormu ini untuk kembali mengukir disisi lain lembar hatimu" digo menarik sisi jatuh didada bidangnya. Masih diatas ranjang, mereka larut didalam ruang rindu yang lama kosong tak terjamah.
"permisi.." decitan dan sapaan dari balik pintu ruang rawat sisi membuat digo melepas pelukkannya. Seorang perempuan mengenakan seragam putih, perawat. Membawa sebuah nampan berisi sup dan juga nasi yang dimasak lembek seperti bubur. Diletakkannya disisi ranjang tempat sisi terbaring lemah.
"dokter digo sedang tidak ada tugas? Dokter digo juga harus istirahat. Ibu sisi dokter digo ini sudah sejak kemarin disini menunggu ibu sadar tanpa mau beranjak sedikitpun bu. Laki-laki yang setia bukan bu? Beruntung sekali ibu mendapatkan dokter digo ini, andai saja masih ada lelaki seperti dokter digo ini saya juga mau disisain satu bu"
suster itu berkata tanpa jeda, sembari memeriksa infus dan juga menyiapkan makanan untuk sisi. Suster itu terus saja bercerita bagaimana digo. Sontak saja digo memelototkan matanya mengintimidasi, sisi hanya tergelak tawa. Ternyata dari sikap labil dan angkuhnya yang tak mau mengakui masih ada ukiran cinta diantara mereka, digo masih menjadi sosok senior yang perhatian.
"suster mau? Ambil aja sus dokter digonya" goda sisi.
"jangan jadi nyebelin deh si" desis digo yang masih menopang tubuh sisi duduk.
"wah makasih lo bu sisi, "
"tapi kalo dokter digonya mau ya sus" sisi menutup mulutnya sendiri menahan tawa yang akan segera meledak melihat wajah badmood dokter tampan yang sedang duduk satu ranjang dengannya itu.
**
Alhamdulilah bisa next lagi, bismilah cerita ini akan segera berakhir. Baca cerita baruku ya Our World lebih ke teenfiction. Jangan lupa vote dan commentnya ya. Untuk yang menjalankan ibadah puasa selamat menjalankan ibadah puasa.
YOU ARE READING
Menghapus Yang Terukir
Fanfic~beberapa part diprivate~ Dia si pencuri hati menghilang berlari dan tak kembali Dia si penggenggam jiwa tak percaya dengan yang ada Dia si separuh jiwa terbangkan hati dan menyakiti Dia pernah menjadi bagianku ~ digo inilah kisah cinta seorang Dig...