Lorong rumah sakit tiba tiba saja menjadi pusat peratian para perawat dan orang sekitar. Bagaimana tidak digo dan bruno seolah sedang lomba lari. Keduanya sama sama mengerahkan seluruh tenaga yang mereka miliki.
"lo akan nyesel sampai terjadi sesuatu sama sisi" ucap bruno ketika mereka sama sama terhenti didepan ruang ICU.
"sisi orang yang kuat, gue yakin dia bakalan baik-baik aja" jawab digo sembari mengatur nafasnya yang masih belum stabil.
Bruno menjatuhkan tubuhnya duduk dibangku rumah sakit dipojok ruangan. Digo masih sibuk mondar-mandir. Sisi masuk ruang ICU, bruno yang saat baru saja keluar dari café mendapat kabar langsung melesat begitupun digo setelah mendapat kabar dari sila ia langsung memacu kendaraan roda empatnya menuju rumah sakit.
"lo pasti tau kan sisi sakit apa bru? Setidaknya jangan buat gue merasa bodoh dan gak berguna karna sama sekali gak tau tentang penyakitnya" pekik digo didepan bruno.
"lo emang bodoh dig gak perlu lagi lo merasa bodoh dan lo emang gak berguna jadi lo gak perlu lagi sok ngerasa tersakiti kaya gini" bruno bangkit dari duduknya, setiap perkataan yang ia lontarkan terdengar penuh penekanan.
"permisi pak bruno dokter digo saya perlu bicara sebentar" dokter Irwan yang sengaja ditunjuk untuk khusus menangani sisi memecah ketegangan diatara dua sahabat ini.
Cepat cepat digo dan bruno berlari mendekat kearah pintu ruang ICU dimana dokter irwan berdiri.
"nona sisi bisa dipastikan sedang tidak dalam keadaan yang baik, mag yang sering ia keluhkan sudah mulai melukai hatinya"
"maksud dokter melukai hatinya?" Tanya bruno dengan wajah cengo, yang langsung mendapatkan toyoran dari digo.
"Eh bukan sakit hati pak bruno, tapi liver. Saya masih belum memastikan apa benar sudah bisa divonis liver atau masih gejala. Saya rasa dokter digo memahami keadaan ini" dokter irwan menepuk bahu digo beberapa kali.
"bagaimana keadaan sisi saat ini dok?" Tanya digo, suaranya mulai terdengar parau ia benar memahami bagaimana mengkhawatirkan-nya keadaan sisi saat ini.
"stabil, hanya saja karna nona sisi tidak meminum obat yang diberikan dan juga lambungnya kosong tak terisi apapun membuat keadaannya drop. Baiklah saya permisi pak bruno dan dokter digo. Nona sisi saat ini sedang beristirahat jadi saya anjurkan untuk nanti saja jika ingin menjenguk" dokter irwan segera berlalu dari hadapan dua sahabat itu.
Bruno dan digo saling berpandangan, layaknya sepasang kekasih. Pandangannya menyiratkan kekhawatiran yang sama dalamnya. Tak menunggu lama bruno menghambur memeluk digo, seolah menumpahkan segala lukanya digo ikut menangis.
"maafin gue bru, seharusnya gue gak bersikap seperti ini sama sisi dan juga lo" digo mengurai pelukkannya, mata dan hidungnya sudah merah dengan pipinya yang basah air mata.
"gak gampang untuk menghapus sesuatu yang pernah terukir dig, sekeras apapun lo dan sisi melakukannya jika itu cinta maka gak akan ada yang bisa menghalanginya"
Digo mengangguk membenarkan. Memang benar sekuat apapun kita menghapus sebuah rasa jika itu cinta maka sulit untuk membuatnya benar benar bersih dan kembali seperti sedia kala. Cinta sendiri yang akan membawanya sampai pada tujuannya.
"bahkan gue sendiri gak menyadari kalau sisi sudah terukir, gue sempat merasakan ukiran itu bru dan setelahnya gue kembali menghapusnya"
"apa lo berhasil dig?"
Digo menggeleng "menghapus yang terukir, it's a dream for me"
"gak akan ada sejarahnya ukiran akan hilang hanya dengan lo biarin dig,"
YOU ARE READING
Menghapus Yang Terukir
Fanfic~beberapa part diprivate~ Dia si pencuri hati menghilang berlari dan tak kembali Dia si penggenggam jiwa tak percaya dengan yang ada Dia si separuh jiwa terbangkan hati dan menyakiti Dia pernah menjadi bagianku ~ digo inilah kisah cinta seorang Dig...