Entry 4: Mungkin Aku Juga

196 38 8
                                    

4

Langit berkilatan tanpa bersuara, kuprediksi akan turun hujan besar sebentar lagi-menurutku aroma yang dibawa angin terasa sedikit berbeda setiap akan terjadi badai.

Sebetulnya ada satu hal yang mengganggu pikiranku sejak kemarin. Lana belum menemuiku sejak ia membaca Jurnal Anwil seminggu yang lalu. Karena terlalu kesal, jadilah sekarang aku terdampar disini.

Jalan Kandang Prahu tempatku tinggal selalu sepi setiap sabtu sore, hanya aku yang berjalan seperti orang bingung, membawa dua bungkusan Tahu Gejrot ditengah gerimis. Hanya sesekali motor ataupun mobil lewat. Jika Tukang jualan Getuk yang terkenal seperti-membawa-orkes-dangdut-sendiri mau dihitung juga. Yah bolehlah kubilang berlebihan saat kucetuskan kata 'sepi' itu.

Salahku juga yang memaksakan diri untuk membeli Tahu Gejrot yang terkenal enak didepan perumahan GSP itu. Aku jadi harus berjalan cukup jauh ditengah gerimis seperti sekarang ini.

Makin lama air yang menetes makin besar dan bajuku hampir-hampir basah kuyup karenanya. Dengan panik aku segera berlari mencari tempat berteduh, harusnya aku membawa payung tadi.

Untung bagiku bisa menemukan warung yang sudah tutup dan bisa berteduh disana. Satu-satunya hal yang kusuka dari hujan adalah bagaimana cara hembusan angin dingin membawa partikel-partikel halus air diudara melalui sela-sela tingkap jendela, lalu aroma tanah akan menyeruak, membuat suasana makin teduh-Petrichor.

Harusnya sih Ayah sudah pulang sekarang-setiap sabtu ia hanya bekerja setengah hari. Mungkin ia bisa menjemputku menggunakan mobil, hujan macam ini biasanya akan awet. Lagipula aku hanya memakai kaos oblong dan celana pendek yang sekarang sudah setengahnya basah-angin makin lama makin kencang dan aku mulai khawatir.

Jadi kutarik handphoneku dan mulai mengirim pesan singkat pada Ayah.

Ayah, jemput aku didepan tempat fotokopi biasa, aku diwarung depannya neduh.

Kurang lebih itulah yang aku ketik tanpa benar-benar melihat layarnya, kebiasaan anak jaman sekarang, aku sudah terlalu hapal letak keyboard tanpa harus melihatnya.

Tapi mataku seketika membelalak saat melihat pesan yang baru saja kukirim. Aku tahu ini pasti kelakuan iseng Ayah!

Empal Gentong, enyak enyak enyak enyak enyak enyak, enyak enyak enyak

Lagi-lagi Ayah mengubah semua kata sebanyak yang ia bisa pikirkan didalam pengaturan autocorrect. Pantas Handphoneku berubah letaknya saat aku pulang sekolah tadi!

Ayah!!!!

Tapi yang terkirim malah.

Empal Gentong!!!!

Merasa putus asa akhirnya aku mengirim pesan itu dalam bahasa inggris, singkat saja dan pasti langsung membuat Ayah tertawa terbahak-bahak.

Help.
++++++++++++

"Jangan bete gitu dong."

Langsung kudelikkan mataku pada Ayah, bagaimana mungkin aku tidak marah atau setidaknya kesal. Untung saja tadi aku belum mengirimkan pesan pada siapapun, tidak bisa kubayangkan betapa malunya aku jika harus mengirim pesan singkat seperti itu pada orang lain. Meskipun jika kupikir-pikir lagi cara Ayah mengerjaiku tadi ya, memang sangat lucu.

"Nggak aku nggak bete." Sengaja kusunggingkan senyuman dengan terpaksa.

Ayah sempat hanya diam, ia mengamatiku yang sedang mengeringkan rambutku menggunakan handuk lekat-lekat. Biasanya jika sudah kelihatan berpikir seperti itu Ayah sedang memikirkan hal yang absurd atau aneh lagi.

"Yuk ikut ayah." Ayah mengacak-ngacak rambutku kasar sembari beranjak dari kursi.

"Kemana?"

Bukannya menjawab Ayah malah mengambil kunci mobil dari atas meja.

The Lost Journal of GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang