Entry 2: First impression

206 32 7
                                    

2

Ujian praktek dikelas tiga SMP memang sangat merepotkan. Beberapa hari ini aku sangat sibuk menyiapkan praktek seni budaya, aku hampir selalu pulang sore dan hanya sempat makan dan Sholat, setelahnya aku lebih memilih untuk cepat-cepat tidur.

Tanpa kusangka ujiannya berlangsung cukup lancar, aku sendiri hampir tidak percaya bisa mengingat semua gerakan tari topeng yang cukup banyak itu tanpa membuat kesalahan yang berarti. Mungkin Mbah Mari akan bertanya-tanya kenapa aku tidak main kerumahnya weekend ini, jika boleh memilih, aku lebih suka tenggelam diantara tumpukan buku-buku kuno itu sampai lupa waktu ketimbang memikirkan sore ini aku harus berlatih untuk ujian apalagi.

Bisa pulang sebelum Ashar sekarang menjadi hal yang aneh bagiku. Hari ini hari jum'at, aku harap Ayah sudah pulang kerja, kami tidak banyak bicara akhir-akhir ini karena kesibukanku sebagai anak-kelas-tiga-smp-yang-akan-ujian.

Melihat mobil Baleno Ayah terparkir diluar membuat senyumku langsung merekah. Mengobrol dengan beliau merupakan salah satu kegiatan favoritku. Ia selalu bisa membuat percakapan ringan menjadi sesuatu yang layak untuk dikenang.

Buru-buru kulepas sepatu dan melemparnya dengan asal, aku tidak lebih peduli jika nanti Ibu akan marah-marah. Aku sangat merindukan Ayah.

"Lho, tumben?" Suara teduh Ayah langsung menyapaku.

"Tumben apa?" Tanyaku lagi dengan senyum lebar.

"Tumben kamu masuk nggak nyanyi mars Parpol dulu."

Aku langsung tertawa terbahak-bahak, tentu saja ayah asal ngomong, mana mungkin aku masuk rumah sambil menyanyikan mars salah satu Parpol.

"Udah pulang yah?"

Ayah menghentikan meneguk air dari gelasnya, alisnya sedikit terangkat padaku seakan aku adalah manusia teraneh yang pernah ia lihat.

"Udah, nih buktinya airnya tinggal setengah." Ia menunjuk gelasnya dengan ekspresi bingung.

Dalam moodku yang terburuk sekalipun, Ayah selalu bisa membuatku tertawa sampai sakit perut, jika suasana mulai cair biasanya kami akan berdiskusi masalah yang lebih serius.

"Rambut kamu mulai panjang, mau potong kapan?"

Pertanyaan Ayah seperti menggantung diudara, sejujurnya aku tidak suka diatur masalah potongan rambut, potongan rambut cepak selalu sukses membuatku terlihat seperti kepala berbentuk telur-atau telur berbentuk kepala? Aku yakin dua-duanya sama-sama terdengar buruk.

"Tanggung ah, sebelum UN aja." Jawabku asal.

"Gurumu nggak marah?"

"Nggak, dia cuma jadi inget muka aku lebih baik."

"Baguslah, pasti dia ingat begini 'Oh si Jorah itu ya, yang gondrong, anaknya pak Hamlin', wah cepet terkenal nanti ayah." Aku tahu maksud Ayah adalah mengejekku.

"Memang kalau aku potong rambut, aku jadi tambah pinter belajarnya yah?" Kilahku masih berusaha bertahan pada argumenku.

"Pantas Bang Amin jenius ya?"

Kukerutkan keningku karena pertanyaan Ayah tadi, apa hubungan percakapan ini dengan Bang Amin? Ia pemilik bengkel kecil didepan gang rumahku.

"Apa hubungannya yah?" Kupaksakan untuk tertawa mengejek.

"Itu rambut dia panjang." Jawab Ayah acuh sembari menurunkan koran yang sedang ia baca.

Oh, tentu saja, aku lupa sedang berbicara dengan siapa.

"Iya, besok aku potong rambut."

Sementara Ayah terlihat makin sengak, aku hanya bisa bermuka masam.

The Lost Journal of GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang