5
Gemerlap cahaya lampu didepan membuat kami semua cukup lupa diri. Baik aku maupun Ayah lebih banyak makan dalam diam. Pilihan Ayah untuk 'kabur' karena Ibu sedang lembur dikantor-dan kami berdua termasuk tipe yang malas diam saja dirumah, merupakan pilihan yang sangat tepat.
Tempat ini selalu bisa meninggalkan kesan yang mendalam bagi keluarga kecil kami, aku lupa kapan pertama kali diajak kesini. Yang pasti aku sangat suka Gronggong dan hiruk pikuk sederhananya. Hanya ada satu hidangan istimewa yang dijual di bukit ini sejak dulu-jagung bakar. Rasanya masih sama, campuran mentega yang meleleh dan menyatu dengan rempah-rempah simple, tapi rasanya sangat enak.
"Ayah lembur deh ini." Ucap ayah tiba-tiba sembari menyesap kopinya.
"Harus jemput ibu lembur ya soalnya ya?"
"Diajak makan jagung bakar juga sama kamu."
"Ayah abis tiga."
"Lah, kamu disuruh bikin mie instant aja susah, ya Ayah laper." Digigitnya jagung itu dengan kasar.
Karena aku tahu Ayah akan mengajakku kesini jika aku tidak juga mau disuruh membuat mie instant ataupun telur ceplok. Siapa juga yang sudi menukar makan jagung bakar dibukit Gronggong dengan semangkuk mie yang 'hanya' bisa dimakan sembari termangu didepan televisi-kebosanan.
Tempat duduk kayu yang kami tempati sudah sedikit reyot dan tidak kencang lagi, tapi ini adalah satu-satunya spot terbaik versi keluargaku-Ayah sampai membuat semacam tempelan bertuliskan 'Juara 1' yang dipasang disamping meja.
"Eehh?!!"
Aku memekik lumayan kencang karena tangan Ayah tiba-tiba menutup mataku dengan kedua tangannya rapat-rapat.
"Sebentar, sabar." Perintah Ayah dengan tenang.
Setengah penasaran, aku ingin tahu Ayah akan berbuat apalagi kali ini. Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, kurasa tidak berlebihan jika sekarang agak sedikit kunaikkan tingkat kewaspadaanku.
"Biasa." Perintah Ayah pada seseorang.
Sebelumnya aku memang mendengar derap langkah kecil yang sedikit tergesa, apa Ayah memanggil pelayan warung?
Namun semuanya terjawab ketika suara petikan gitar mengalun pelan mengisi udara malam Gronggong yang penuh ingar-bingar. Lagu legendaris milik mendiang king of pop Michael Jackson itu mengalir indah sekali dari pita suara yang tidak kutahu milik siapa.
Ben, the two of us need look no more
We both found what we were looking for
With a friend to call my own
I'll never be alone, and you'll my friend will see
You've gotta friend in me.Saat itu juga dapat kurasakan bulu kudukku merinding, orang ini jelas punya bakat luar biasa dalam menyanyi. Siapapun dia yang ada dihadapanku, dapat kutebak pasti anak kecil berhati bak malaikat dan memiliki senyum semanis Michael Jackson cilik.
Ben, most people would turn you away
I don't listen to a word they say
They don't see you as I do, I wish they would try to
Im sure they'd think again, if they had a friend like Ben..Sejujurnya aku agak kecewa ketika mengetahui lagu yang ia bawakan telah habis, aku tidak sedang berbohong saat kubilang bukit ini seakan-seakan berhenti sejenak dari segala kesibukannya saat si anak ajaib itu membuka suara emas yang tidak dapat dibendung oleh apapun juga.
Tangan Ayah mulai turun dari mataku dan itu langsung membuatku membukanya dengan amat penasaran. Hal yang pertama kali kusadari adalah ternyata figur anak bersuara emas itu jauh dari bayanganku. Ia tidak terlihat polos sama sekali, lebih terkesan urakan dan sulit diatur. Sebatang rokok filter terselip dibelakang daun telinganya-padahal kutebak usianya baru menginjak umur sepuluh tahunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Journal of Gay
Jugendliteratur"Aku Gay, mereka bilang aku bencana nasional." Itulah kalimat pembuka singkat dari sebuah Jurnal yang Jorah temukan tanpa sengaja. Jurnal pribadi yang ditulis langsung oleh seorang pria bernama Anwil tentang kehidupannya sebagai Gay dilingkungan ya...