01

260 14 0
                                    


Serum pembuat kekuatan super sedang dikembangkan di kalangan masyarakat. Ya, benar. Cukup memasukkan serum itu ke dalam tubuh kita, maka kita bisa memiliki kekuatan super. Bayangkan saja, manusia bisa terbang, membaca pikiran, dan lain-lain. Tentu saja asyik memiliki kemampuan seperti itu. Memuaskan fantasi kita semua.

Bayangkan saja, manusia tidak perlu susah payah bekerja untuk menafkahi hidup mereka dan keluarga mereka. Cukup dengan bantuan manusia-manusia super ini, mereka dapat mencukupi kehidupan keluarga mereka. Manusia-manusia super ini seolah-olah akan menjadi robot yang menggantikan pekerjaan manusia. Tentunya pekerjaan para manusia unggulan ini lebih efisien dibanding manusia biasa. Enak, bukan? Tentu saja.

Benarkah? Benarkah seperti itu?

"Ya, jangan lupa belajar, lusa ulangan Matematika materinya Matriks. Jangan sampai remedial, persiapkan untuk UN," Pak Darren – Ko Darren, begitu mereka memanggilnya – mengumumkannya sebelum keluar dari kelas. Bel pulang berbunyi, anak-anak kelas XII MIPA 5 keluar dari kelasnya satu per satu, menuruni tangga dari lantai 7 ke lantai dasar, tempat pintu keluar, kemudian meninggalkan bangunan sekolah, mempersiapkan diri mereka untuk ulangan Matematika yang akan datang – pelajaran laknat yang paling dibenci warga kelas itu, seakan-akan pelajaran itu juga memiliki suatu dendam tersendiri kepada kelas itu. Mereka selalu mendapat retest karena lebih dari 90% dari mereka tidak pernah lulus untuk mata pelajaran laknat itu. Sebenarnya mereka tidak pernah tahu bahwa dua hari lagi ada ulangan Matematika. Hanya Ko Darren yang pernah menjadwalkan ulangan secara semena-mena di sekolah itu. Agar selalu siap dalam keadaan apapun, katanya.

Salah satu di antara mereka adalah Alex Mayers, seorang siswa yang sering dianggap pintar dan menjadi acuan ketika ulangan matematika akan datang. Ia memilih jalan yang lebih cerdas : menaiki lift. Bukannya fisiknya lemah, tetapi ia hanya tidak ingin berdesakan dengan sesama temannya.

Ia menekan tombol 1 di lift, kemudian menutup pintu lift itu. Namun, pintunya tiba-tiba terbuka lagi, tanda ada orang lain yang ingin ikut. Tampaknya Alex tidak bermasalah dengan itu.

"Tunggu!"

"Eh, Alex?" orang itu – Michael Williams – menyapa Alex. Kasual.

"Michael."

"Lex, bagi jawaban LKS Matematikanya dong, gue nggak ngerti."

"Noban (20.000). Susah, tahu," katanya. Ia tidak pernah suka pekerjaannya disalin mentah-mentah. Paling tidak, sejak masa-masa awal SMP dimana kelasnya mendapat tugas yang sulit dan esok harinya ada ulangan. Ia sibuk memotret hasil pekerjaannya untuk dibagikan, dan tak belajar untuk ulangan yang akan diadakan hari berikutnya. Sejak kejadian itu, ia selalu meminta bayaran untuk hal-hal semacam jawaban LKS. Lumayan, uang jajan tambahan baginya.

"Dih, mahal banget, 30 nomor doang," bujuknya.

"Enak aja. Nilai lu waktu ulangan vektor kemarin berapa?" tanyanya. Jika nilainya jelek, mungkin ia akan menurunkan harganya sedikit.

"31. Lu nggak kasihan sama gue, nih?" bujuknya sambil menunjukkan kertas ulangannya yang terakhir. Ia benar-benar mendapatkan 31. Nilainya lebih kecil dari pada banyaknya murid di kelasnya.

"Iya, iya, kasihan. Ceban (10.000), dah," katanya. Sebenarnya ia sudah tahu sebelumnya bahwa Michael mendapat nilai 31.

"Sip. Gitu dong! Nih, fotoinnya malem ini, ya," katanya sambil menyerahkan 2 lembar uang lima ribuan.

Pintu lift terbuka, tanda sudah sampai ke lantai dasar. Michael berlari ke tempat favoritnya di sekolah – lapangan basket. Sebenarnya Alex tahu bahwa Michael hanya malas belajar sehingga meminta jawaban kepadanya, namun, bagi Alex, uang juga penting. Lagipula, pasti Michael tidak akan menyebarkan jawaban Alex. Ia tahu persis bahwa Michael adalah seorang pribadi yang pelit. Membagi sesuatu yang gratis ke temannya saja ia tidak mau, apalagi membagi sesuatu yang ia harus membayar untuk mendapatkannya.

Michael mengambil bola basket, mendribblenya, kemudian melemparnya ke dalam ring. Sepertinya dewi fortuna sedang tidak berpihak kepadanya hari ini sehingga bolanya tidak masuk.

"Dasar bodoh," gumam Alex sambil menghitung uang yang didapatnya. Ia belum dijemput oleh kawan-kawannya, jadi ia memutuskan untuk duduk di kursi yang terletak pada ujung lapangan basket, lalu mengerjakan LKS Matriks yang jawabannya pasti akan menjadi incaran seisi kelas, atau bahkan seangkatan.

"Pasti Michael sedang memikirkan cara menyontek di ulangan Ko Darren. Bodoh sekali, Darren selalu tahu ketika kamu menyontek."

Ia memulai dengan menuliskan nama, nomor, dan kelas; Alex Mayers, XII A5/03, lalu membuat kotak yang mengelilingi identitas dirinya itu, seperti apa yang sudah biasa ia lakukan untuk empat tahun terakhir.

Ia menuliskan jawabannya satu per satu. Susah sekali, pikirnya. Mungkin seharusnya ia menaikkan bayarannya setiap kali ada orang yang meminta jawaban LKS kepadanya.

Rombongannya datang – rombongan yang tidak terlihat secara jelas, namun ada.

Suara itu memanggil Alex, menjemputnya. Tidak ada yang bisa mendengarnya kecuali Alex sendiri. Mereka terlalu sibuk dalam aktivitasnya. Ia mengikuti orang yang "tak terlihat" itu, kemudian pergi ke suatu tempat.

Jalanan di kota itu penuh dengan kertas-kertas koran. Isinya kira-kira selalu menceritakan sesuatu yang sama.

"Bioteknologi non konvensional telah mencapai level baru dalam masyarakat. Kini, kita dapat melakukan kloning secara sempurna, bahkan bisa memusnahkan gen-gen buruk yang ada dalam kita. Kesempurnaan manusia sebentar lagi akan tercapai. Tidak diketahui siapa yang membuat produk bioteknologi baru ini, namun jasanya amat tak ternilai."

Seharusnya kloning ditiadakan. Manusia memang seharusnya tidak pernah mencapai kesempurnaan. Seharusnya, memang si penemu cara kloning itu tidak diketahui.

Di dalam sekolah, ia hanya murid biasa.

Di luar sekolah, siapa yang tahu?

FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang