03

130 6 7
                                    

Ulangan Matematika berjalan seperti biasa. Otak yang panas, kepala yang bertumpu pada tangan, coret-coretan tidak rapi pada lembar jawaban, dan segala hal yang dapat dilakukan oleh 37 manusia yang malas berpikir. Lebih tepatnya, 36. Alex tidak termasuk dalam kumpulan itu.

"Lex! Nomer 4, Lex! Gimana? Rumusnya apa?" bisik Jason, teman Alex. Seperti anak-anak yang dianggap pintar pada umumnya, Alex tidak menjawab. Buat apa? Dia sendiri juga tidak membayar. Sepertinya Jason muak akan perilaku Alex. Mereka berdua duduk di pojok belakang kelas, tempat terjauh dari meja guru. Tempat terstrategis untuk memamerkan kecepatan refleks mata.

Jason mencoba melirik pekerjaan Alex. Alex tidak peduli apakah ia berhasil menyontek atau tidak. Kalau berhasil, ya selamat. Kalau tidak, ya sudah. Namun, sepertinya, refleks mata Ko Darren mengalahkan Jason. Tiba-tiba, tanpa disadari Jason, Ko Darren sudah berdiri di sampingnya.

Alex mencoba memberi kode kepada Jason mengenai apa yang terjadi. Ia melirik ke arah kanan, ke arah Ko Darren. Cukup jelas, sehingga Jason melihat Ko Darren yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.

"Refleks mata kamu bagus," puji Ko Darren, "tapi lebih bagus refleks mata saya," lanjutnya sambil bertepuk tangan sarkastik.

"Saya rasa, kamu tidak perlu diberitahu lagi setelah ini harus pergi ke mana dan bertemu dengan siapa. Benar?" tanya Ko Darren. Maksudnya adalah Jason harus pergi ke ruang kepala sekolah dan bertemu dengan kepala sekolah – prosedur yang biasa bagi anak-anak yang kurang handal dalam menyalin pekerjaan temannya. Alex tersenyum kecil, senyum khasnya yang sering ia keluarkan setiap kali ada orang yang gagal menyontek pekerjaannya.

Jason menatap Alex sembari keluar dari ruang kelas. Tatapan yang hanya Alex yang mengerti maksudnya. Tatapan itu seperti versi tanpa suara dari "Pulang sekolah. Lorong tempat parkir." Kalimat standar memulai sebuah perkelahian. Bukan. Kalimat standar yang Jason akan ucapkan setiap kali ia gagal menyontek. Jika Alex ingin menghindarinya, ia bisa. Namun sepertinya ia tidak akan menghindarinya. Lagipula, bukankah seru mengajarkan orang kebenaran yang seharusnya dilakukan? Apalagi menggunakan cara yang keras.

Maka datanglah Alex ke tempat itu ketika pulang sekolah. Tidak ada orang. Tidak. Pasti Jason lebih pintar dari ini. Pasti ia bersembunyi. Tetapi sepertinya ia belum datang.

Dan dan Bryan masih terkurung di dalam ruang kelas yang sama karena kelas mereka ribut dalam pelajaran Sosiologi. Pelajaran yang paling membosankan, menurut mereka.

"Duh, gue mau pulang. Pengen cari artikel lagi," keluh Dan.

"Artikel apaan? Jangan-jangan lu nyari yang ga bener, lagi," tebak Bryan.

"Najis. Ngapain coba," jawab Dan. Bryan tertawa kecil, takut ketahuan oleh sang guru.

"Artikel manusia unggulan lah. Gua bener-bener nggak nyangka hal begituan yang gua awalnya nonton di film-film, sekarang udah mau jadi kenyataan," kata Dan.

"Santai aja, lah, paling begituan mah, Chris yang beresin. Dia kayaknya nggak santai banget. Lagian, enak kan, kalau kita gak usah bekerja?"

"Tapi kan emang pada kodratnya manusia harus bekerja keras! Dari zaman Adam dan Hawa juga emang kita harus berjerih payah!"

"Ah, ya udah, deh."

"Silakan pulang sekarang. Jangan ribut lagi di kelas saya," suruh Miss Grace ketus. Akhirnya pintu kelas XI SOS 1 terbuka dan mereka turun ke lantai dasar.

"Gila kali ya itu guru, gue capek banget!"

"Tahu, lah. Mau soal etika, nilai, semuanya dia mah udah gila."

FiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang