Chapter 3: The Call

2K 210 11
                                    

Jungkook's POV

"Ibu? Ibu?! Apa yang terjadi?!" kepanikan melandaku hebat.

Telepon pun terputus seketika. Takut terjadi sesuatu, kuhubungi kembali ibu. Namun sayangnya tak bisa karena pulsaku habis. Berputar pandanganku ke arah Mickey.

"Mickey, apa yang harus kulakukan?"

Respon yang ia berikan adalah berbaring lalu menutup matanya. Apa itu artinya tidur? Tidak pikir panjang, aku langsung melakukannya. Di tempat tidur aku berbaring memandang langit-langit kamar. Malam ini aku tidur bersama Mickey. Saat aku masuk ke kamar tidur, ia mengikutiku. Mendengar jeritan ibuku sendiri yang entah apa penyebabnya membuatku cemas. Imajinasiku menyebar ke mana-mana mengira-ngira penyebab jeritan tersebut.

Banyak kemungkinan ibuku sampai menjerit keras. Jika hanya karena serangga kecil, ia tak akan menjerit. Yang ia lakukan hanya menginjaknya dengan begitu enteng. Sesuatu hal mengerikan terjadi padanya? Ingin kutanyakan perihal itu namun pulsaku habis. Ini harus segera diisi ulang agar bisa menghubungi mereka lagi. Akankah mereka menelepon balik? Aku harap begitu.

.................

Akhir pekan sudah di hadapan mata. Sudah bersih, rapi dan wangi, sekarang aku sudah siap untuk keluar rumah. Hal terakhir yang harus kulakukan sekarang hanya menunggu Jimin datang. Jarum jam menunjuk ke angka 9 dan 12, pukul 9 tepat. Di waktu bersamaan suara pintu diketuk terdengar. Dengan senyum ceria di wajah kuhampiri pintu. Gagang pintu kuputar dan berdirilah seorang pria di sana. Hendak kututup kembali pintu, namun dia memaksa masuk. Siapa orang ini berani-beraninya memaksa masuk?

Ia terlanjur masuk ke dalam rumah. Sebagai seorang lelaki aku memberanikan diri menghadapinya.

"Mau apa kau? Siapa kau?" tanyaku yang siap bertarung jika perlu.

Sangat tidak sopan, pria itu langsung mencekik leherku tanpa permisi. Aku tak tinggal diam, kucekik balik dirinya lebih keras lagi. Pertarungan pun dimulai tanpa aba-aba terlebih dahulu. Matanya menatapku dengan tajam, aku juga melakukan hal yang sama. Hidung dan mulutnya ditutupi masker juga topi hitam yang terpasang di kepala, persis seperti orang sebelumnya yang bepenampilan sama. Yang dipertaruhkan adalah nyawa, jadi aku tak boleh kalah. Ketika pertarungan hampir memanas, seseorang memotongnya begitu saja.

"Ada apa ini?" kaget orang itu berdiri di pintu membuka sepasang matanya bulat-bulat.

Kami berdua seolah tak mendengar ucapannya sama sekali. Tidak hanya mencekik, kita juga saling memukul juga saling melukai dengan benda yang ada di sekitar. Jimin yang masih diam di pintu mulai masuk dan mencoba melerai kami. Dengan kedatangan Jimin, orang itu berhenti berkelahi dan malah melarikan diri. Baju orang tersebut dicengkeram Jimin sehingga ia sulit untuk kabur. Pria misterius itu berusaha meloloskan diri, namun cukup sulit. Tapi tak lama setelahnya ia berhasil lolos.

"Jimin, kenapa kau begitu ceroboh?!" emosiku mulai naik.

................

Kaki-kaki kami berjalan di sepanjang trotoar. Sungguh siang yang cerah, tak ada satu pun awan yang menghalangi sinar matahari masuk ke permukaan bumi. Cuaca yang panas seperti ini paling enak makan makanan atau minum minuman dingin. Di masing-masing tangan kami ada es krim yang begitu dingin untuk melawan rasa gerah. Perhatian kami yang sebelumnya terfokus pada es krim tersebut pun berpindah. Tangan seseorang menepuk pundak kami yang membuat aku dan Jimin hampir menjatuhkan es krim kami. Kepala kami berputar ke belakang, tertangkap mata dua orang yang familiar.

"Rupanya kalian di sini!" ucap Jin yang tersenyum lebar menunjukkan gigi putihnya.

Seketika aku menjadi canggung.

Black Out 2 (Sequel dari "Black Out")Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang