Part 3 : Haruka

33 3 0
                                    

Entah, ini untuk malam yang keberapa aku berhasil lepas dari rantai-rantai Tsukuyomi. Aku berhasil kabur dari penjara. Bulan pucat keperakan itu menggantung sendiri kesepian. Persis seperti diriku yang menanti kedatangan Ahriman dan Emiko, di Gunung Fuji.

Ah, kenapa mereka lama sekali? Apakah Ahriman tak mengerti pertanda yang kukirimkan lewat mimpi Emiko? Dadaku semakin buncah oleh rasa rindu dan cemas. Aku berharap tak terjadi sesuatu yang buruk pada mereka.

Tiba-tiba sebuah suara samar tertangkap gendang telingaku. Kelebat bayangan hitam itu terlihat lagi melintas di depanku. Aku menegakkan telinga, bulu kudukku meremang, pupil mataku membesar. Apakah orang-orang bertato bulan sabit itu sudah sampai lagi ke sini? Ahriman dan Emiko seharusnya tidak terlambat.

"Ayah..." suara itu samar terdengar. Kali ini aku terperanjat, nyaris terjatuh dari tempat persembunyianku di atas pohon cemara. Apakah aku tak salah dengar?

"Sstt!" suara lain menyahut. Tanganku semakin gemetar. Aku tak salah dengar. Sungguh! Itu suara Emiko dan Ahriman, dua orang yang sangat kurindukan. Mereka sudah datang. Aku ingin segera turun dan memeluk mereka, namun segera sadar bahwa itu berbahaya.

Aku mencoba membangun kontak batin dengan Ahriman, namun gagal. Sepertinya Ahriman sedang tidak tenang. Tak lama, kudengar suara kecil Emiko mendesis, lalu menceracau tak jelas. Ah, aku berhasil membuat Emiko memasuki alam bawah sadarnya.

Aku harus menuntun mereka memasuki gerbang Tori dan mendekati Naiku. Kini posisi kami hanya dipisahkan beberapa batang pohon cemara yang berumur ratusan tahun. Pohon yang tak pernah ditebang sejak kuil suci ini dibangun untuk pertama kalinya.

Amenominakanushi, aku kembali membangun hubungan batin dengan anakku. Memusatkan seluruh konsentrasiku.

Ibu, Emiko menjawab lirih.

Teruslah ikuti suara hatimu, sebentar lagi kita akan bersatu.

Aku terus bercakap-cakap batin dengan Emiko, menuntun langkah kakinya dalam kegelapan. Sinar redup bulan menerobos masuk di antara rimbun cemara yang membentuk siluet menyeramkan. Kulihat samar wajah Ahriman yang tegang, sementara wajah Emiko pucat dan kehilangan gairah. Kasihan Emiko, mimpi-mimpi itu pasti telah menyiksanya. Ditambah pelarian demi pelarian mereka menghindari orang-orang bertato bulan sabit hitam itu.

Aku lelah. Emiko menghentikan langkahnya, kakinya gontai berjalan.

Teruslah melangkah, penyatuan kita akan menyelamatkan semesta.

Emiko menarik napas berat. Aku bisa mendengar hembusan napasnya dari tempatku. Duh, betapa hatiku melompat keluar rasanya. Ingin sekali memeluk Emiko dan meluapkan kerinduanku. Tak tega melihatnya tersaruk-saruk berjalan dengan mata setengah menerawang dan mulut yang terus menceracau.

Naiku beberapa langkah lagi, dan aku sudah membuka gerbang Tori untuk kedua belahan jiwaku. Areal Naiku adalah areal terlarang untuk dimasuki, kecuali bagi kelurga kaisar Jepang dan aku tentu saja. Ya, aku adalah seorang Saishu yang mengabdi di kuil ini sejak remaja. Seharusnya, aku tak boleh menikah selamanya. Begitulah aturan yang telah digariskan untuk seorang Saishu. Seorang gadis suci reinkarnasi Dewi Amaterasu. Namun, aku berani membelokkan Takdir, karena rencana Tsukuyomi.

Aku terkejut, mendengar Emiko berteriak.

Tsukuyomi dan beberapa sosok bayangan hitam mengepung Emiko dan Ahriman. Mereka sudah datang! Orang-orang bertato itu! Aku segera menutup kembali gerbang kayu Naiku yang tinggi dan berat. Orang-orang jahat itu tak boleh masuk ke dalam Naiku.

Ahriman menghimpun kekuatannya dan melesatkan cahaya kebiruan dari tangannya menghantam Tsukuyomi. Ahriman melindungi Emiko. Secepat kilat, aku melayang turun dan melumpuhkan beberapa orang-orang yang mengepung Ahriman. Lalu berusaha menggapai Emiko yang menangis lirih dalam pelukan Ahriman. Tapi sial salah satu orang bertato itu berhasil melempar belati, mengenai tanganku! Aku mencabutnya tanpa memedulikan rasa sakit yang luar biasa.

"Haruka!" teriak Ahriman menyapaku saat tatap kami bertemu. Aku hanya menatap sekilas, lalu bergerak cepat menangkis serangan.

"Emiko! Gunakan Amenominakanushi," Teriakku mencoba menyentuh Emiko yang nampak ketakutan.

"Gunakan, Nak, aaakh!..." Aku menggigit bibirku, perih. Lalu aku tak merasakan apa-apa lagi pada lenganku yang terkena belati. Rupanya belati itu dilumuri racun dan mematikan simpul sarafku.

"Menyerahlah Amaterasu, Amenominakanushi akan menjadi milikku." Desis Tsukuyomi.

"Tidak! Tidak akan kubiarkan kau menghancurkan Bumi, demi Takamagahara." napasku tersengal. Kini aku merasakan racun itu sudah menjalar bersama aliran darahku. Dadaku terasa panas terbakar. Aku berusaha memusatkan konsentrasi untuk menghimpun tenagaku, tapi gagal. Tangisan Emiko mengiritasi konsentrasiku.

"Haruka bertahanlah!" aku tahu konsentrasi Ahriman terpecah.

"Jangan pedulikan aku Susanoo, aku akan hadang mereka. Cepat bawa Emiko memasuki Naiku, cepat!" Air mata merembes di pipiku, aku merasakan perih dan panas di seluruh tubuhku.

Tsukuyomi pun berhadapan denganku, pertarungan kali ini aku harus memenangkannya. Aku lengah, Emiko menjerit, tangan-tangan orang bertato itu mulai menyentuhnya, berusaha menarik Emiko. Ahriman pun sudah terluka. Aku melihat darah menodai pakaiannya. Tsukuyomi menggunakan kesempatan itu, untuk melesatkan cahaya merah membara dan mengenai aku.

Untuk sesaat aku melayang terjatuh, waktu serasa berjalan lambat. Aku mendengar Ahriman dan Emiko berteriak. Kami terpisah beberapa meter. Rasanya seperti terpisah setengah keliling dunia. Aku tersengal, lalu muntah darah. Aku sudah tak kuat. Pemandangan di sekeliling semakin samar di mataku. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Aku rubuh.

Janji MatahariWhere stories live. Discover now