Part 4 : Janji Amaterasu.

33 3 1
                                    

"Kalian apakan ibuku?!" Aku berteriak marah. Ada ledakan dahsyat di dadaku. Aku merasakan mataku, dadaku, tubuhku panas.

Tangan-tangan itu menyeret tubuh Ibuku, lalu berusaha meraihku. Aku berontak, "Lepaskan!" Aku berteriak parau.

"Kegelapan!" Tsukuyomi mengeluarkan kekuatannya.

Aku melotot ke arahnya, "CAHAYA!" Kusentakkan tanganku, emosiku meluap. Lalu gelombang dashyat itu menerpa tubuhku, aku terhuyung. Perlahan aku melihat selubung cahaya menyelimuti tubuhku. Aku bingung sesaat, namun segera bergerak menyelamatkan Ibuku yang sekarat di tanah.

Ayah dalam kewalahannya takjub melihatku melayang di udara dan mengeluarkan tenaga dalamku.

Tatapan mataku menyapu mereka, kekuatanku membara. Saat kugerakkan tanganku gelombang cahaya itu merambat di kegelapan malam, mengincar mereka dan berjatuhan terbakar. Aku tersentak. Sedahsyat inikah kekuatanku? Kuarahkan tanganku ke Tsukuyomi yang melemparkan kekuatannya ke arahku. Saat kugerakkan tanganku, Naga Api melesat dan melahap Tsukuyomi.

Ia meraung kesakitan dan membara dalam api. Berapa batang pohon cemara ikut terbakar, menyisakan bunyi berderak. Tanah berhamburan, hewan-hewan malam berterbangan riuh. Aku menangis. Aku tak pernah ingin menyakiti manusia. Tapi kini, aku terpaksa melakukannya. Tubuhku luruh di tanah. Orang-orang bertato itu sudah tumbang semuanya ditanganku. Kekuatan penghancur ini memang menakutkan.

"Emiko," suara Ayah lirih. Dengan air mata yang masih membanjir, aku berbalik menatap ayah. Ayah memandangku pedih. Kami berdua mendekat dan lebur dalam pelukan. Kami mendekati Ibu.

"Ibuuu..." aku tidak bisa menahan isakan pedih ini.

Ayah meraih tangan Ibu. Kami duduk mengelilinginya. Ah, aku lelah. Aku kesakitan, bingung dan marah dengan kekuatan yang tiba-tiba saja menguasai diriku.

"Jangan menangis, Amenominakanushi," suara Ibu mengambang. "Aku ingin mengatakan bahwa kau memiliki kekuatan itu. Engkaulah Amenominakanushi itu."

Aku tersedu, "Aku tak mau kekuatan ini, Ibu."

"Tapi ini takdirmu," Ayah kini ikut menangis.

Aku menggeleng,

"Ingat gunakan kekuatan ini untuk kebaikan anakku," Ibu membelai pipiku.

Ibu beralih memerhatikan Ayah.

"Susannoo, jaga Emiko baik-baik, demi aku. Dan aku berjanji untuk selalu bersinar untuk kalian. Kita pasti bertemu lagi dikelahiran berikutnya. Aku mencintaimu, Ahri-" Suara Ibu menghilang ditelan kegelapan. Aku menjerit memanggil Ibu berkali-kali, Ayah memeluk Ibu.

Perlahan tubuh ibu memecah, menjadi ratusan butir-butir cahaya berkilauan, lalu melayang ke udara. Kami segera bangkit, mengikuti ratusan kilau cahaya Ibu yang terus melayang menuju Gunung Fuji nun sana. Bersamaan seberkas cahaya merah keunguan mulai membayang.

Tak berapa lama, janji Ibu terbukti. Di puncak Gunung Fuji, matahari mulai merekahkan sinarnya. Untuk sesaat kami berdua melihat bayangan Ibu memburai senyum paling tulus yang pernah kami lihat. Inilah Janji Ibu, Janji Matahari yang setia menerangi semesta. Kami berdua berpelukan, masih larut dalam tangis. Meski bayangan Ibu akan selalu terlihat pada Matahari pagi, namun dunia bagi kami tak lagi sama.

Jepang-Indonesia, Mei 2011.

Janji MatahariWhere stories live. Discover now