Part 1 : Ahriman

141 8 3
                                    

Hidupku saat ini sesuram lukisan Memento Mori. Kami begitu kehilanganmu Haruka. Sesuai keinginanmu, aku berpindah tempat untuk menjaga Emiko. Bersembunyi dari kejaran Tsukuyomi dan orang-orang aneh yang memiliki tato bulan sabit hitam dilengan mereka. Orang-orang yang menginginkan Emiko. Entah karena apa? Satu-satunya petunjuk untuk mencapaimu, adalah mengikuti mimpi-mimpi Emiko yang awalnya aku tak memercayainya. Tapi setiap malam Emiko mendongengkanku tentang pertemuannya denganmu. Engkau yang tampak agung dan bercahaya. Cantik melebihi segala yang ada.


"Ibu seperti matahari." Ucap Emiko, matanya dipenuhi kekaguman. "Lalu di dalam mimpi, Ibu berkata: bawa Amenominakanushi ke Gunung Fuji, saat titik balik matahari. akan kutunggu kamu di sana bersama Ayahmu."

Emiko menghela napas setelah mengakhiri cerita mimpinya. Sedang aku mengerutkan dahi, berpikir. Amenominakanushi? Mendadak saat itulah aku menjadi peka, aku menemukan tanda-tanda aneh di ruangan ini. Angka sembilan yang tertempel di lemari es, lalu lukisan crayon kapal laut kuno mengarungi lautan, dan tampak bayangan kapal dipermukaan laut seperti angka sembilan. Yang lebih aneh lagi di dada Emiko, sebuah tanda lahir berbentuk angka sembilan.

"Aku sangat merindukan Ibu, Ayah."

Aku menoleh dan kutemukan kedua mata Emiko mengalir dua anak sungai yang begitu deras. Gadis kecil sembilan tahun itu nampak rapuh. Kurengkuh Emiko. Ditelinganya kubisiki.

"Besok kita berangkat ke Gunung Fuji."

****8****

Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku teringat kali pertama datang ke Jepang, seperti sebuah panggilan. Pangilan yang terus menerus bergaung menembus waktu.

Susanoo. . .

Hingga hari dimana aku diundang untuk observasi melihat Kuil Ise di kepulauan Honshu. Pulau yang dijaga ketat oleh pemerintah Jepang. Sebagai Mahasiswa arkeologi dari Indonesia, aku memang tergila-gila pada artefak ataupun folklore Negeri Matahari Terbit.

Tepat selesai acara melihat-lihat Kuil Ise. Aku seperti terpanggil oleh sesuatu. Udara seolah berdenting dan begitu wangi, melebihi wangi sakura yang berguguran. Kuikuti intuisiku, dan semua orang tidak menyadari kepergianku menyusuri jalan setapak kecil yang mengantarku ke sebuah Kuil lain. Aku disambut oleh gerbang Tori, gerbang kayu yang tinggi dengan untaian tali besar yang menjalin dan gemerisik pepohonan di kanan-kiri tangga menuju kuil.

Aku tersentak. Susanoo. . . terdengar desis lirih nan magis yang sangat kukenal, memanggilku. Dengan langkah sedikit cepat, kunaiki tangga batu. Aku terkejut menemukan seorang gadis berambut hitam panjang mengenakan kimono yang koyak dengan gambar jalinan bunga rumit. Tubuhnya terluka. Dialah, Haruka.

Tanpa berpikir lagi, aku buru-buru mendekati dan meraih tubuhnya yang tergopoh-gopoh berjalan. Dalam pelukanku, tangan Haruka yang lemah menempel di pipiku.

Susanoo... akhirnya kau datang juga.

Jadi suara panggilan itu kau selama ini yang memanggilku menembus waktu.

"Iya, Ahriman." Aku tersentak lagi, barusan kami bertelepati. Dan anehnya, Haruka mengetahui namaku.

"Jangan takut, kita memang ditakdirkan saling bertemu dalam keadaan seperti ini." Haruka mengelus pipiku.

Kemudian keanehan terjadi. Pemandangan disekelilingiku perlahan berputar cepat, seolah kami berada dalam gasing waktu. Lalu entah dari mana, ada gambaran aku dan Haruka. Kami adalah dewa-dewi yang lahir dari mata dan hidung Izanagi, Ayah kami. Haruka adalah Amaterasu, Ia adalah matahari. Aku Susanoo, penguasa lautan dan badai. Dan yang terlahir dari mata kiri Izanagi, Tsukuyomi sang Bulan. Di gambaran itu, Tsukuyomi berniat membunuh Amaterasu, dan aku melindungi Amaterasu. Akhirnya aku mengetahui siapa diriku sebenarnya. Rasanya seperti menemukan kepingan jiwa yang hilang di suatu masa.

"Bawa aku pergi dari sini, Ahriman." Pinta Haruka, suaranya begitu lemah. "Cepat sebelum Tsukuyomi bangkit dari ketidaksadarannya."

"Kemana?" aku bingung, satu jam yang lalu aku masih Mahasiswa Arkelogi yang datang ke Ise untuk Observasi. Sekarang aku harus membawa Haruka pergi.

Harukamelambaikan tangan di udara, dan tiba-tiba saja gelembung cahaya melingkupikami, kemudian-DUAR!!! Aku terkejut. Bunyi ledakan dibelakang punggungku.Gelembung yang menyelimuti kami mulai melayang. Aku menoleh ke arah suaraledakan, seorang lelaki bertubuh tegap dalam keadaan terluka. Ia meraung, daritangannya keluar ular api berkepala delapan raksasa. Aku panik. Ular api kepaladelapan itu melesat ke arah kami. Aku memejamkan mata, memeluk erat Haruka.Bunyi desisan hebat, semua begitu cepat. Hingga-

Janji MatahariWhere stories live. Discover now