Hari sudah benar-benar larut saat aku menyelesaikan bacaanku, Pria Tua dan Laut . Alberta, guru sastra meminta kami memilih satu bacaan dan menuliskan resensinya. Itu bagian yang menyenangkan bagi yang lain. Bagiku? Saat dia menatapku, alih-alih aku disuruh memilih, aku malah disodori sebuah buku usang olehnya. "Ini, bacalah" dia tersenyum dengan bibirnya yang keriput itu. "Cucuku senang cerita ini" ujarnya. Aku menerima buku itu (dengan pasrah) dan berterima kasih, tak lupa aku menyuginggkan seulas senyum untuk menunjukkan maksudku. Nenek tua keriput itu terkekeh, lalu mencubit pipiku dengan gemas (aku sudah terbiasa berhadapan dengan wanita-wanita tua, dan kebanyakan mereka terobsesi untuk mencubitku, jadi aku tidak terlalu heran). Sebenarnya itu buku yang cukup bagus. Jadi aku cenderung menikmati buku itu halaman demi halaman. Aku menghabiskan 10 menit berikutnya menuliskan resensi buku itu di buku tugasku.
Ketika aku selesai , aku melirik arlojiku sekilas. 01.46, pantas asrama begitu sepi. Penghuninya pasti sudah tidur berjam-jam tadi. Kebiasaan burukku, saat aku sedang asyik dengan sesuatu, aku akan mengacuhkan hal lainnya. Termasuk kadang-kadang...Reyna. Terkadang aku merindukan wajah cemberutnya saat aku berpura-pura mengacuhkannya. Bayangan itu membuatku tersenyum tanpa sadar. Arrghh. Setidaknya aku harus bersabar untuk melalui hari-hariku yang biasa dengan Reyna sampai tugas ini selesai. Toh, ini tidak akan berlangsung selamanya. Aku menghela nafas, lalu berjalan menghampiri jendela dan menutup tirainya. Namun segera kubuka lagi. Pemandangan di hadapanku ini selalu membuatku tercengang.
Bulan purnama. Penuh. Bersinar megah jauh di atas sana. Langit begitu cerah dan hanya sedikit bintang yang tampak malam ini. Angin berhembus, membuat daun-daun berkeresak. Bayangan dahan-dahan mati, bagaikan tangan tanpa daging yang berusaha menggapai dengan sia-sia di bawah cahaya temaram bulan.Lolongan anjing di kejauhan menambah syahdu malam purnama ini.
Aku menutup mataku, dan entah kenapa, seolah satu berkas memoriku terbuka, dan menampilkan kilasan-kilasan memori secara acak. Lalu satu ingatan yang paling kuat mengambil alih dan menyeretku masuk jauh ke dalamnya.
******
Aku membuka mata, dan menemukan diriku berada di tengah padang rumput yang begitu luas. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan rumput yang samar berwarna hijau. Di ujung sana sebuah gunung, dengan angkuhnya, berusaha merentangkan dirinya dan menggapai langit dengan puncaknya yang tertutupi es.
Aku menengadah dan menemukan bola bulat emas itu, pucat pasi dalam rengkuhan langit malam. Ahh, betapa cantiknya, gumamku. Aku merentangkan tanganku ke atas. Seakan berusaha untuk memeluknya walau tahu itu percuma. Semilir angin malam mengantarkan bau rumput, dan satu bau lain yang membuatku mengernyitkan alis. Oh, sial, mereka disini.
Aku berdiri di tengah padang rumput ini, tapi aku tahu aku tidak sendirian. Disana, di antara semak-semak tinggi dan rimbun beberapa pasang mata mengawasiku dengan tajam. Mengintai. Menunggu. Untuk membunuh.
Segerombolan makhluk dengan tinggi lebih dari 2 meter yang ditutupi bulu-bulu tebal berwarna coklat kehitaman menyeruak keluar dari sesemakan. Dengan wajah jelek dihiasi bulu yang penuh gigi taring dan air liur, hei, ini serius kok. Mereka benar-benar jelek, dan bau. Seperti anjing buduk yang jatuh ke dalam selokan dan terjebak selama 3 hari di dalam sana. Kau bisa bayangkan? Bagus, karena yang kuhadapi sekaranag ini 5 kali lebih bau.
"Sshhh, aku akan memakan bola matanya sebagai kudapanku nanti," satu menggeram. Liurnya yang lengket berayun-ayun di dagunya.
"Aaarrr, jantung dan otaknya punyaku, kalian boleh ambil sisanya,"sergah yang satu lagi. Mereka mulai berkelahi satu sama lain. Dasar anjing kampungan.
"Hei!" aku berseru. "Kalian yang akan mati malam ini, dasar penjilat bulu" geramku.
Kata-kataku menarik perhatian mereka. "Apa kau bilang tadi? Nyamuk?" salah satu dari mereka menggeram terputus-putus. Oke, dia tertawa mendengar julukan baruku.
"Aku bilang kalian yang akan mati" geramku lagi. Aku menarik pedangku keluar dari bilahnya.
Oke, aku terlambat bilang. Terkadang ada situasi dimana kau tidak tahu bagaimana asal mulanya dan.. taadaaa, kau berada di pusat kekacauan. Aku menggelengkan kepalaku. Kawan, selamat. Kau berhak atas 5 ekor werewolf yang ingin menjadikanmu makan malam. Ada yang lebih buruk?
Ya, aku sendirian dan harus membunuh mereka malam ini.
Selanjutnya hanyalah sekedar kelebatan ingatanku. Aku ingat melihat sebilah pedang bagai kilatan ketika mencabik-cabik perut seekor werewolf. Mengeluarkan isinya dengan kecepatan luar biasa. Lalu dunia bagaikan berputar saat aku bersalto dan menancapkan pedangku menembus otak werewolf lainnya. Berikutnya adalah kilasan cipratan darah, organ tubuh yang terburai keluar, cakar-cakar yang mengkilap, dan pedang yang berlumuran darah. Antara raungan kesakitan dan tawa kesetanan saat membunuh dengan penuh gairah. Malam itu terasa begitu hidup.
Aku hanya ingat bagian akhirnya. dimana aku membakar setumpuk bangkai werewolf. Apinya besar dan begitu tinggi, hingga sempat kukira akan membakar bulan. Mayat-mayatnya berkeretak bagai menjerit tidak rela saat api mulai melalap habis jasad mereka. Hingga hanya abu yang tersisa dari mayat-mayat itu. Meninggalkan aku dan kesunyian di padang rumput itu.
"Dalam sinar bulan kami dilahirkan. Dan dalam rengkuhan sang purnama kami akan kembali," gumamku sambil menatap bulan.
Angin malam kembali bertiup, mengantarkan bau rumput... dan kematian.
****
Aku tersenyum, dan membiarkan cahaya bulan mengenaiku beberapa saat lagi. Dingin, dan memberikan perasaan yang begitu familier. Beberapa saat lamanya aku membiarkan tubuhku menyerap cahaya bulan. Menyerap cahaya temaramnya, sangat sulit untuk melukiskan bagaimana rasanya. Mungkin indra perasaku bisa melukiskannya seperti aku meminum darah seorang gadis perawan yang masih belia, langsung dari lehernya yang jenjang dan tak bercela itu, tanpa menyisakan setetes darahpun dalam tubuhnya yang meregang dalam cengkraman maut . Menikmati setiap detakan jantungnya yang perlahan melambat dan kesadarannya yang mulai memudar. Ya, bagitu membuatku kecanduan. Aku menyeringai ke arah bulan. Terkekeh. Entah sudah berapa ribu kali aku bermandikan cahaya ini, tapi tidak pernah sekalipun membuatku bosan.
Lalu aku menutup jendela, menguncinya, kemudian sebelum menutup tirainya, aku bergumam lirih "Selamat malam,"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Blood and Sword
FantasyPernahkah kalian merasa, satu hari saja, berada dalam mimpi yang begitu indah sehingga kalian akan memohon untuk tidak segera terbangun dari mimpi itu. Aku yakin kalian pernah . Aku juga pernah kok. Hanya saja, mimpiku kali ini adalah mimpi buruk...