Aku sudah terbangun jauh sebelum sinar matahari pertama jatuh di jendelaku. Kamarku sudah rapi sejak bermenit-menit lalu, yang berlalu dalam hening dan kebosanan, yah setidaknya untuk ukuran manusia. Agar tidak terlihat kaku, aku mondar-mandir saja mengelilingi kamarku ini. Kurang dari 1 detik, aku nyaris memutari ruangan ini 3 kali. Sepuluh detik berlalu. Aku bosan lagi. Lalu duduk diam di satu-satunya bangku di ruangan itu.
Aku menelengkan kepalaku, menoleh ke cermin di seberang ruangan dan melihat bayangan diriku sendiri dalam pantulan cermin. Seorang anak lelaki, dengan tubuh mungilnya dalam balutan seragam sekolah akademi Saint Verninford. Rambutnya yang coklat, agak ikal tersisir rapi, agak klimis malah, namun terlihat serasi dengan mata bulat besarnya. Kulit putih pucat yang nampak berpendar samar. Anak lelaki itu meraih dasinya, dan membetulkan letak dasinya yang sebenarnya tidak miring. Sempurna, gumamku sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatuku ke lantai. Ini hari pertamaku, dan aku tidak ingin mengacaukannya.
Hmm, aku mematung lagi. Duduk diam bagai patung di sudut ruangan, dengan tatapan yang nyaris kosong. Menghitung setiap detakan jam dinding yang terdengar bagai hantaman gendang di telingaku. Lalu telingaku mulai mendengar sayup-sayup suara. Suara penghuni kamar asrama lain saat mulai terbangun. Makin lama makin gaduh. Aku penasaran.
Aku memejamkan mataku dan mulai berkonstrasi ke satu sumber suara.
"Hey, Jeff, kau lihat kaus kakiku yang baru kucuci kemarin? Aku tadi meletakkannya disini," lalu terdengar suara langkah yang mondar-mandir ke sana kemari disertai bunyi gesekan antar kain, lalu kulit, dan bunyi-bunyian lainnya yang aku tidak tahu. Terdengar bunyi benda jatuh. Sebuah kotak sepertinya, dan agak berat, mungkin berisi buku. Lalu diangkat. Kemudian ditaruh di lemari kayu, paling atas. Kayu-kayunya berderit perlahan saat beban dari kotak itu mulai membebaninya. Kemudian suara-suara itu berulang lagi.
"Maksudmu yang warnanya hitam dan panjangnya separo betisku?" suara lain menyahut. Lalu aku seolah bisa melihat orang itu, aku yakin itu Jeff, mengangkat satu kakinya dan menunjukkannya pada temannya.
"Ah, itu dia, kenapa kau pakai,kembalikan padaku," tukas temannya itu. Dia berjalan mendekati Jeff. Lalu Jeff ini, dan temannya mulai terlibat dalam percakapan (kalau tidak mau dibilang pertengkaran) kecil. Aku tidak tahu apalagi yang mereka ucapkan karena aku sudah keburu mengalihkan konstrasiku ke kamar-kamar lainnya. Mendengarkan dengan seksama, merasakan perubahan-perubahan kecil di udara yang diakibatkan gerakan mereka, nafas mereka, getaran suara, bahkan detak jantung mereka. Rasanya seolah-olah aku ada diantara mereka, berada di dekat mereka. Aku bisa merasakan keberadaan orang-orang ini, seolah 'melihat' mereka dengan pendengaranku. Gelombang-gelombang suara yang kemudian oleh otakku, diterjemahkan dan divisualisasikan menjadi citra-citra yang buram, tapi beraturan. Terkadang ironis memang, kau bisa merasa sebegitu dekat dengan seseorang, bersinggungan hingga ke pusat keberadaan mereka, tapi tidak bisa menyentuh mereka.
Aku mendengarkan percakapan lainnya. Kali ini asalnya dari kamar yang berada dekat ujung lorong. Ada 4 orang disana. Aku bisa tahu dengan menghitung jumlah jantung yang berdenyut di ruangan itu.Dan kelihatannya mereka sedang membicarakan diriku.
"Kalian sudah lihat anak baru itu, yang masuk ke kamar 108," satu suara berkata lantang. "Yang cebol itu," ujar satu suara lain. (Ukh, seharusnya aku diubah saat aku berumur 18 tahun, bukan di usia anak-anak seperti ini).
"Aku sudah lihat. Taruhan, sepertinya dia akan segera menjadi perhatian gadis-gadis di kelas." terdengar bunyi bibir menyeruput susuatu dari gelas. Hmm, apa itu? Susu, atau kopi, menurutku keduanya. "Dia benar-benar tampan, aku jadi agak sedikit iri melihatnya," ujar suara ini. Aku merasa teman-temannya yang lain pasti sedang melihatnya dengan tatapan menyetujui.
"Cih," satu suara mendengus. "Kenapa dia harus masuk sekarang, bukankah sekarang sudah hampir akhir semester,"
"Entahlah, tapi sepertinya dia cukup cerdas. Dia masuk ke kelas X-1 loh."
"Itu bisa diatur. tergantung seberapa banyak pelicin yang dia gunakan,"
Aku mulai malas mendengarkan percakapan mereka selanjutnya. Jadi aku kembali ke inti diriku. Menjadi diriku lagi. Lalu mulai menghitung dalam hati, menunggu detakan jam hingga ke sekian kalinya. Lalu aku membuka mata, meraih tas di tempat tidurku, menyandangnya di punggungku lalu berjalan keluar kamar. Saat aku hendak meraih gagang pintu, aku merasakan sekelebat bayangan hitam melintas di jendelaku. Terlalu cepat untuk ditangkap mata manusia, tapi tidak dengan indra perasa super kaum kami. Aku menghentikan langkah. Aku tahu bayangan tadi adalah salah satu dari kaum kami. Dan aku mengenalnya. Citra dalam benakku menampilkan sosok Reyna yang sedang bersandar di pohon di depan jendela kamarku. Sosoknya dalam balutan jubah hitam menyamarkan keberadaannya, tapi dia sedang tersenyum, dan aku bisa merasakan dia sedang menatapku tajam dari belakang.
Alunan suara lirih, tapi berirama nyaris tak terdengar, bergema di kamarku yang sunyi ini. "Semoga berhasil.".
Aku tersenyum. "Tentu,"
******
Kelas itu dipenuhi riuh rendah saat guru tua disampingku mencoba menarik perhatian para siswanya. "Baiklah, anak-anak. Ini mungkin agak mendadak, tapi hari ini kelas kita akan menerima satu anggota baru." serunya dengan suara parau. Lalu dia menoleh ke arahku. "Kau dipersilakan memperkenalkan dirimu,"
Aku membalasnya dengan senyuman. Lalu aku melangkah ke depan, hanya satu langkah. Lalu menatap siswa-siswa didepanku, yang tiba-tiba terdiam. Aku tahu, mereka semua memperhatikanku. Menunggu. Aku menarik nafas, lalu berkata lantang, "Perkenalkan, namaku Michael Aussten. Dan ini pertama kalinya aku menghadiri sebuah kelas, karena sebelumnya aku home schooling. Aku merasa senang dapat berkenalan dengan kalian semua dan aku berharap kita akan dapat saling mengenal satu sama lain dengan segera,". Hening. Tidak ada yang bersuara, kecuali nafas mereka. Mereka masih terpana melihatku. Apa suaraku terlalu cempreng? Rasanya tidak. Kata-kataku ada yang salah? Aku sudah berlatih beberapa kali untuk menghadapi hal ini, tapi tetap saja aku merasa agak gugup saat ini. Ukh, aku tahu aku terlalu kaku. Dan ini tidak bagus. Mungkin aku harus mengikuti saran Reyna, meski aku sebenarnya tidak mau. Tapi aku tidak punya pilihan.
"Oh, ya, kalian dapat memanggilku Mika, jika kalian mau," ujarku pelan. Sedetik kemudian, hingar bingar meledak dalam kelas itu. Para anak lelaki tertawa geli, bahkan mengejek. Namun anak perempuan menjerit-jerit histeris.
"Namanya Mika, kalian dengar," pekik seorang gadis yang duduk di belakang.
"Imut banget," kali ini gadis yang duduk di depanku yang berkomentar.
"Cocok,cocok," yang lain menyetujui.
Entah darimana, tapi aku merasakan satu sensasi dingin yang aneh merayapi punggungku. Aku menatap para anak lelaki di kelas ini. Aku menelan ludah. Tatapan mereka dingin. Seolah ingin membunuhku. Entah kenapa, aku merasa musuhku bertambah secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Blood and Sword
FantasyPernahkah kalian merasa, satu hari saja, berada dalam mimpi yang begitu indah sehingga kalian akan memohon untuk tidak segera terbangun dari mimpi itu. Aku yakin kalian pernah . Aku juga pernah kok. Hanya saja, mimpiku kali ini adalah mimpi buruk...