"Mikaaa," suara itu memanggilku.
"....," acuhkan dia, aku bergumam pada diriku sendiri.
"Mika, hey, kau dengar tidak," suara itu memanggilku lagi. Kali ini lebih keras. Oke, aku harus menjawabnya. "Iya, aku dengar. Tidak perlu berteriak seperti itu, kok," kataku lebih keras. Sebagai balasannya, sebuah tangan kini sudah bertengger di pipiku dan mencubitku keras sekali.
"Ah, hentikan Reyna. Sakit tahu," aku menepis tangan itu dari pipiku.
Gadis bernama Reyna itu hanya bisa cemberut di sampingku. "Kalau sedang dalam misi kau menyebalkan sekali, Mika,"
Aku menoleh padanya, pada sosok nyaris sempurna itu, "Kau lebih menyebalkan. Berapa ratus kali harus kubilang namaku bukan Mika. Namaku Michael," ujarku.
Mata gadis itu membesar, "Nama Mika lebih manis," celotehnya asal.
Aku menghela nafas sambil memperhatikan wajah pualam gadis ini. "Itu kan nama buat anak cewek, aku ini cowok," aku beralasan.
"Eh, aku tidak pernah menganggapmu cowok kok," ujarnya sambil tersenyum padaku.
"Haah?" aku mengangkat sebelah alisku.
"Hehehehe," Reyna terkekeh. "Kau jauh lebih manis lagi kalau sedang kelihatan kesal seperti itu, Mika,"
Aku terperangah sebentar, lalu tanganku bergerak meraih rambut keperakannya dan mulai mengacak-ngacaknya.
"Aww, hentikan Mika," serunya sambil memegang tanganku.
Bibir Reyna mencebik. Caranya mengerutkan kedua alisnya itu memperlebar cengiran di wajahku.
"Apanya yang lucu?" tanya Reyna heran.
"Kau," akhirnya aku tergelak.
"Hentikan," pekiknya.
"Tidak mau," aku mulai menggodanya. Salah siapa yang menggodaku duluan?
Sebuah suara tiba-tiba bergaung di dalam kepalaku. Michael, Reyna, jika kalian mau berhenti bermain-main sebentar saja, aku mau kalian memperhatikan target kalian. Kak Anna memperingatkan kami dari kejauhan.
"Baik, kak" Reyna langsung kembali ke sikap formalnya. Bahkan Reyna yang paling cerewet pun tidak akan berani menentang kata-kata Kak Anna.
Sama seperti Reyna, aku langsung membuang tatapanku jauh lurus ke depan. Ke arah sebuah bangunan megah yang terletak beberapa ratus meter jauhnya dari sini. Aku berjalan mendekati tepi bangunan tempat kami berada. Angin kencang langsung menerpa wajahku, mengibarkan rambut ikal keperakanku juga jubah hitamku. Di atas bangunan itu, tepatnya di atapnya yang terbuka, beberapa orang , wanita dan pria berpakaian mahal tampak mengadakan sebuah pesta. Bisa kulihat mereka saling bercengkrama, dan bersenda gurau, dengan gelas minuman anggur terselip di jari-jari mereka. Hmm, pesta mortal, gumamku. Mataku mencari-cari di antara kerumunan itu. Mencari target kami.
"Semuanya sesuai rencana, target dipastikan berada di pesta itu," seru Reyna. Dia sudah berdiri di sampingku. "Target berambut pirang, mengenakan gaun merah, sekarang sedang berdiri pinggir meja bersama seorang pria. Itu...pacarnya, menurut bahasa mortal, ya kan?" tanya Reyna meminta persetujuan.
"Mata Charleazar benar-benar memudahkan segala pekerjaan," ujarku kalem. Charleazar adalah salah seorang dari kami. Matanya memiliki kemampuan melihat ke masa depan.
"Kalau menggunakan 'ini'," Reyna menyingkapkan sedikit jubahnya. Satu tangannya bergerak masuk dan mengelus gagang pedang yang tersampir di pinggulnya ,"Akan lebih mudah," dia memamerkan senyumnya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Of Blood and Sword
FantasyPernahkah kalian merasa, satu hari saja, berada dalam mimpi yang begitu indah sehingga kalian akan memohon untuk tidak segera terbangun dari mimpi itu. Aku yakin kalian pernah . Aku juga pernah kok. Hanya saja, mimpiku kali ini adalah mimpi buruk...