Prolog : Selamat Datang di Mimpi Terburukmu

1.1K 9 0
                                    

Pernahkah kalian merasa, satu hari saja, berada dalam mimpi yang begitu indah sehingga kalian akan memohon untuk tidak segera terbangun dari mimpi itu.   Aku yakin kalian pernah . Aku juga pernah kok. Hanya saja, mimpiku kali ini adalah mimpi buruk. Dan yang lebih parah. Aku tidak bisa terbangun dari mimpi ini.

*******

Yah, semuanya kelihatan baik-baik saja hari ini. Aku baru saja memancing banyak ikan dari laut di pinggiran kotaku. Mister Andrew, memberikan harga yang bagus untuk ikan-ikan itu. Mengantongi beberapa koin yang bergemerincing di sakuku akan membuat ayahku senang hari ini. Dan benar saja, dia begitu gembira menyambutku di depan pintu rumah. Malam itu kami makan malam dengan dua kerat roti tawar dan 2 potong ikan asap. Makan malam yang cukup mewah, mengingat beberapa malam lalu aku dan ayahku terpaksa mengencangkan ikat pinggang.

Bulan di malam itu baru saja muncul di langit menjelang tengah malam. Sang putri pucat telah keluar dari peraduannya. Cahayanya berpendaran di sela-sela awan-awan kehitaman di langit malam ini. Cantik, gumamku. Aku hanya mendesah memandangi bulan itu dari balik jendela kamarku. Kapan ya, kira-kira manusia bisa mencapai bulan itu? Aku pernah mencoba berlari mengejar bulan semalam suntuk. Tapi, sang bulan seakan mengerti pikiranku dan berpacu lebih cepat dari kakiku dan buru-buru menenggelamkan dirinya ke lautan yang bagai tak berujung. Ah, ya, itu memang bukan pencapaian yang bisa dibanggakan.

Jadi aku memutuskan untuk jalan-jalan malam ini. Kemana saja kaki ini ingin melangkah. Kemana saja, asal sang bulan masih menemaniku. Sambil bersenandung, aku menyusuri jalanan setapak di kota kecilku. Pemandangan mulai berganti dari suasana malam kotaku yang remang-remang menuju ke kegelapan tanpa ujung di depan sana. Tapi aku tidak takut gelap. Aku memang masih berumur 14 tahun, tapi beberapa orang dewasa mengakui kalau nyaliku sama besarnya dengan mereka. Dan mengingat hal itu, cukup untuk membuatku membusungkan  dada.

Tanpa terasa aku kini berada di wilayah luar kotaku. Disini hanya ada sesemakan dan jalan setapaknya kurang bagus. Sepi. Yah, siapa lagi memangnya yang mau keluar larut malam begini. Kereta kuda pun tidak ada yang mau lalu lalang di tempat seperti ini.  Aku meneruskan perjalananku hingga aku sampai di sebuah halaman gereja tua yang terbengkalai. Bulan yang cerah membuat bayangan gereja itu tampak menjadi sesosok ksatria tua. Entah kenapa aku selalu berpikir begitu tiap melihat tempat ini. Dan tempat favoritku untuk menghabiskan malam selain ranjangku.

Baru saja aku hendak membuka pintu gereja ketika terdengar sebuah bunyi berdebam jatuh di samping gereja. Aku menelengkan kepala sebentar. Apa itu, ya? Penasaran, aku menuju ke sumber bunyi.

Kau tahu? Hal selanjutnya yang kulihat  nyaris membuat jantungku copot. Sesosok makhluk besar tergeletak di sana. Menggelepar, menahan sakit. Sekilas dari sini tampak seperti singa raksasa berwarna hitam, hanya saja dia bertanduk, bersayap dan tidak berbulu. Bulunya seperti tergantikan oleh lempengan  zirah di sekujur tubuhnya. Wow. Apa aku sedang bermimpi?

Urat-urat di dahiku berdenyut-denyut. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku berlari ke sesemakan rimbun tak jauh dari situ dan memutuskan untuk mengawasi hewan itu dari sana. Sudah kubilangkan, kalau nyaliku besar?

Hewan itu masih menggeliat liar, sampai cahaya kehijauan perlahan memancar dari tubuhnya lalu menutupinya. Sekilas, cahaya itu bersusun seperti cincin, atau apalah. Aku tidak benar-benar memperhatikannya karena aku kemudian menutupi mataku. Cahaya itu seolah meledak, dan begitu menyilaukan. Seakan membutakan mataku.

Beberapa saat kemudian, penglihatanku benar-benar telah kembali jernih . Tapi aku masih menggosok-gosok mataku. Lalu saat aku hendak melihat makhluk itu lagi, makhluk itu sudah tidak ada. Hanya seorang pemuda biasa. Tergeletak di tempat dimana makhluk tadi seharusnya berada. Hey, kelihatannya dia terluka. Darah merembes di rumput-rumput sekelilingnya. Berkilau, memantulkan cahaya bulan.

Aku baru hendak keluar dari persembunyianku, hanya saja saat aku melihat ada 11 pedang jatuh dari langit, dan langsung menghujam tubuh pria malang itu tanpa ampun, aku langsung mengurungkan niatku.

11 pedang tadi (aku menghitungnya) memaku pria itu ke tanah. Membuatnya berhenti menggeliat. Erangan pelan. Hanya itu yang kedengar. Apa dia sudah mati?

12 sosok hitam berjubah turun dari langit seolah-olah malaikat. Yah, malaikat pencabut nyawa menurutku. Aku tertegun menatap sosok-sosok itu berdiri mengelilingi pria tadi. Salah satu dari mereka , yang paling besar badannya, maju menghampiri pria itu. Lalu dia berlutut di dekat kepala pria itu. Kelihataannya dia bicara pada pria itu. Aku tidak bisa mendengarnya dari sini karena terlau jauh. Aku hanya bisa melihat  pria itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Pria besar tadi mendesah. Lalu dia bicara lagi. Tapi jawabannya tetap berupa gelengan kepalanya.

Pria besar itu mendesah, lalu berdiri dan mendekati satu sosok yang nampak berbeda dengan yang lain. Jubahnya memiliki bordiran-bordiran keemasan aneh yang bermotif rumit, sementara yang lain hanya mengenakan jubah polos. Pikiranku saat itu mengatakan kalau sosok yang satu itu adalah pimpinannya.

Pria besar itu bicara padanya. Dan sosok berjubah emas itu hanya mengangguk. Lagi-lagi aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Mereka bicara terlalu pelan. Aku tidak tahu apa itu mungkin memang kebiasaan mereka. Rasa penasaranku malah semakin menjadi-jadi. Kuputuskan untuk tetap mengamati kejadian ini.

Sosok berjubah emas itu mendekati pria malang tadi. Langkahnya seanggun dan seringan kucing. Lalu dia mengeluarkan, bukan, lebih tepatnya menghunus sebuah pedang dari pinggangnya. Sebuah pedang hitam, dengan motif yang bersulur-sulur keemasan pada bilahnya.

Sosok ini, berdiri diam di dekat pria itu. Hening. Lalu samar-samar aku bisa mendengar suaranya.

"Kau masih memiliki jalan kembali, Kreustch," kata sosok itu. Wah, walau samar-samar- tapi kata-kata singkatnya tadi seolah membiusku. Bagaimana tidak? Seakan suaranya adalah lantunan melodi paling indah yang dinyanyikan oleh seruling dewa Apollo. Begitu halus seperti sutra, seolah terukir begitu dalam hati siapapun yang mendengarnya,  dan syahdu, begitu melenakan. Tapi kenapa, ya? Suaranya terdengar sedih?

Tapi suaranya seakan tidak berpengaruh pada pria itu, malah dia tertawa. "Sejak kapan aku memiliki tempat kembali, Anna? Kau sudah tahu kalau kau melanggar hukum paling berat,"

Sosok ini seolah bergoyoang goyang seperti api ditiup angin. lalu tiba-tiba dia diam kembali. Entah bagaimana, aku merasa sosok berjubah itu tersenyum. Senyum yang sedih. Lalu sosok itu menghujamkan pedangnya. Tepat di jantung pria itu kurasa. Pria itu berteriak sebentar, lalu diam. Api! Api kebiruan menyala di tubuhnya. Membakarnya perlahan-lahan hingga tinggal abu. Aku tertegun. Sudah banyak hal yang begitu mengagetkanku hari ini. Siapa orang-orang ini sebenarnya.

Sebuah tangan, mencengkram kerah bajuku, lalu melemparkanku 5 meter ke udara. Aku memekik kaget, lalu jatuh berdebam. Rasanya sakit sekali. Lalu tangan-tangan lainnya mencengkram bahuku dan memaksaku berdiri. Sial, rupanya aku tadi dilempar ke tengah orang-orang ini.  Kurasa aku bisa mengalahkan 3 orang, tapi dua belas? Lain ceritanya.

Sosok berjubah menoleh padaku, lalu tangannya meraih kerudung yang menutupi wajahnya, dan membukanya. Sesaat aku terpaku pada sosok itu. Dia seorang wanita. Dan begitu cantik. Kulitnya seputih marmer, dan bibirnya yang merekah sempurna berwarna merah muda. Tapi matanya. Mata itu, juga berwarna merah, dengan satu garis tipis di tengahnya.

Saat dia menyeringai, aku bisa melihat dua buah taring kecil mencuat dari balik bibirnya. "Kelihatannya kita menemukan pengganti Kreustch,"

Of Blood and SwordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang