1

140 12 7
                                    

"Pergi! Cepat sana pergi! Anak tidak tahu diuntung ! Uang untuk dibeli makan malah dibelikan senar! Kau kira senar bisa buat mu kenyang, hah?" Bapak menarik lengan dengan sisa tenaganya yang masih kuat. Lantas membawa keluar. Mengusir dengan amukannya yang tak kunjung surut.

"Sakit, Pak. Pilar hanya ingin memperbaiki ukulele ini agar bunyinya bagus." Tangannya mengelus-elus pergelangan yang sakit, dipaksa keluar dari rumah oleh Bapak. Bapak tetap melotot. Tidak peduli seberapa sakit tangan anaknya, dan seberapa keras ia memaksanya keluar.

Ukulele yang sedang diperbaiki senarnya malah terputus menjadi dua. Karena tersangkut lantas terjatuh. Astaga! Malang sekali bocah dekil ini. Sisa cat ukulele itu sudah berwarna kumal, banyaknya malah terkelupas. Kayu ukulele itu pun sudah tidak mulus, karena seringnya digigiti tikus-tikus yang nakal. Iseng menjaili.

"Ada apa ini?" Dari kejauhan Ibu datang, selesai membereskan cucian milik keluarga PNS. Adalah sudah tiga tahun Ibu menjadi seorang pembantu di rumah tersebut. Waktu kerjanya hampir sama dengan kerja matahari. Sekitar matahari pagi beranjak hingga selepas matahari tumbang di ufuk barat. Dengan langkah gontai Ibu memperulur kondisi buruk di rumah itu. Pakaian daster corak bunga yang dekil dan robek karena tersangkut paku, lembab. Sisa keringat hasil kerja keras seharian yang perlahan mengering. Ciput yang dikenakannya sudah berubah warna. Dulu putih muda, sekarang putih tua. Atau apalah itu untuk mendeskripsikan warna kotornya.

"Kau tanya saja pada anak tidak tahu diuntung ini! Sudah muak aku memarahi dia sepanjang maghrib ." Bapak bersungut-sungut. Lantas pergi dengan sisa marah nya. Rambut separuh berubannya tertimpa cahaya senja. Berkilauan memasuki rumah.

"Ada apa, Nak? Kau bermasalah apa lagi?" Dengan bijaknya, Ibu meraih ukulele usang milik Pilar. Sesekali ciput dekilnya melorot karena karetnya sudah longgar, tidak berfungsi baik.

Pilar hanya diam, duduk di bangku depan rumah. Sebenarnya tidak layak disebut rumah, lebih tepatnya gubuk, reot pula. Jika rumah, bertulang besi-besi kuat menunjang kokoh. Maka ini hanya kayu sisa yang Bapak pungut di pinggiran jalan, sebagiannya lagi Bapak beli dari seorang kakek pemulung. Harganya tak seberapa, hanya 25 ribu/batang kayu dengan panjang 1.5 meter saja. Namun sulitnya uang 25 ribu yang membuat kerongkongan tercekat. Astaga! Itu cukup untuk makan bertiga. Bapak, Ibu, dan Pilar. Seharian mereka berpuasa demi kayu dengan panjang 1.5 meter saja.

Jika rumah, padat oleh batu bata merah dengan semen. Maka ini hanya bilik-bilik sisa. Pun sama nasibnya. Ditemukan dan dibeli dari para pemulung.

Pilar bergegas meraih ukulele usangnya. Mencoba kembali memperbaiki dua senar yang terputus. Ibu duduk di sampingnya. Sekarang paham apa masalahnya.

"Nak, jangan begitu. Itu tandanya Bapak kau sayang padamu. Husnudzon, Pilar. Bapak kau hanya tak kuasa melihat kau kelaparan. Susah-susah loncat sana-sini mencari uang. Lalu dengan mudah digunakan untuk hal yang seandainya tidak kau beli pun tidak masalah." Kulit kering sisa sabun mengusap-usap rambut merah Pilar, karena seharian bergelut dengan terik matahari.

Pilar hanya diam. Tapi hatinya berucap, memaki-maki. Apa salahnya? Pun senarnya ia beli oleh hasil peluhnya sendiri. Tak ada yang dirugikan. Karena ia mampu tanggung resiko. Andai saja Bapak tidak tahu Pilar membeli senar, maka tidak adalah cerita senarnya putus dua.

Gema adzan maghrib jelas mengaum melalui speaker masjid dekat gubuk reot. Adzan di masjid lain pun sama berkumandang saling bersahutan, merambah Ibu Kota. Gemerlap lampu-lampu sudah menyala dari ujung ke ujung. Tapi tidak bagi gubuk reot milik Bapak Pilar. Hanya sebuah lilin. Jangankan lampu listrik, petromak saja sudah tidak terpakai. Menganggur di belakang gubuk, karena minyak tanah yang sudah kering.

"Sudah maghrib, Pilar. laksanakan sembahyangmu! Jangan banyak menunda jika kau masih sempat. Bergegas ambil wudhu, Pilar!" Ukulelenya belum benar-benar baik. Sebenarnya tidak akan benar-benar baik karena kayunya saja sudah tidak utuh. Seandainya saja Pilar tidak merawatnya dengan sungguh-sungguh, sudah punah ukulele itu. Suaranya sudah mulai sumbang saat dipetik, malah terkadang terdengar semrawut.

Gontai ia menyeret kakinya menuju gubuk. Lantas mengambil sarung pemberian almarhum kakeknya dulu, hadiah saat ia berhasil dibujuk untuk disunat. Belum sempat ia mandi. Hanya berganti pakaian yang sama lusuhnya. Kabar baiknya, pakaiannya jauh lebih bersih dan layak untuk digunakan sembahyang.

Bapak di dalam gubuk pun sama. Bersiap-siap mengambil peci, berganti pakaian yang lebih layak untuk dipakai sembahyang.

Mereka bergegas bersama menuju masjid. Namun langkah mereka tidak sejajar. Pilar tertinggal sepuluh langkah di belakang Bapak. Sengaja. Ia masih kesal soal kejadian tadi.

"Hei kenapa kau lamban sekali? Anak laki-laki mana boleh kemayu seperti itu?" Bapak malah memutar balik mengahadap Pilar yang jalannya leha-leha. Sadar ditegur seperti itu, patah-patah ia mempercepat langkahnya. Kakinya malah tersandung sarung karena tidak terkontrol, langkah kakinya tidak bisa dibuka lebar-lebar.

Sekian detik, langkahnya sudah sejajar denga Bapak. Hanya saja langkah Bapak lebih lebar dibandingkan langkahnya.

Pilar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang