2

98 11 4
                                    

Selepas sembahyang maghrib, ritual selanjutnya adalah mengaji bersama. Ada beberapa anak, tetangga Pilar yang sama pula menetap di gubuk reot, menyetor Al-Quran. Bapak yang mengajari mereka mengaji. Ingatan makhrojul huruf dan tajwid yang diajarkan kakek Pilar masih membekas. Cara terbaik agar selalu mengingatnya adalah kembali membagikan ilmunya kepada orang lain.

Anak-anak seusia Pilar bergantian, mengantri menyetor Al-Quran. Tidak hanya Al-Quran, ada pula yang masih memegang Iqra. Seharusnya setiap hari berganti ke halaman berikutnya, namun masih belum fasih, Bapak selalu meminta mengulang ke halaman sebelumnya. Beberapa anak terlihat kecewa, padahal ingin sekali beralih tingkatan, membaca Al-Quran. Beberapa pula terlihat pasrah. Mau bagaimana lagi jika belum fasih? Kebanyakan anak-anak sukar membedakan huruf ja dengan ha dengan kha. Huruf fa dengan qa. Kesukarannya tidak hanya membedakan setiap huruf yang hampir sama. Pun kesulitan menyebut huruf-huruf yang terdengar sama, namun beda penempatan suara yang harus dikeluarkan. Dan banyak variasi kesukaran lain yang berbeda.

Beruntung, Pilar sejak kecil diajarkan Bapak setiap usai magrib di rumah, sebelum rutinitas pengajian ini dilakukan di masjid. Di usianya yang baru menginjak 10 tahuh Pilar sudah dua kali khatam Al-Quran.

"Pilar, suara ukulelenya jelek. Berhentilah membunyikannya! Itu mengganggu konsentrasi bacaku." Bonde melirik sinis. Ia merasa terganggu. Belum tuntas satu ayat saja, konsentrasinya sudah buyar. Bapak ikut sinis pula. Sorotnya berucap, berhentilah! Atau aku bakar ukulelenya!

Tanpa Bapak berucap begitu, Pilar sudah meletakkan ukulelenya. Ada-ada saja, sembahyang saja harus membawa ukulele.

**

Pengajian berakhir ketika adzan isya berkumandang. Semua bergegas sholat berjamaah.

Selepas sholat isya, anak-anak melipat sarungnya, berlarian pulang menuju gubuk masing-masing. Mereka harus beristirahat untuk bertemu hari esok yang melelahkan. Bekerja. Tidak ada diantara mereka yang mendapatkan pendidikan layak. Karena enam kepala keluarga yang tinggal di gubuk kondisinya sama. Sudahlah, tidak baik jika disebutkan kondisinya. Menyedihkan.

**

"Kau sedang apa, Pilar?" Di tengah teriknya jalanan Ibu Kota. Hilir mudik orang-orang melakukan kesibukan masing-masing. Lalu lalang asap-asap yang selalu terlihat pekat, hitam.

"Menurutmu?" Pilar malas menjawab panjang. Bonde, tetangganya sekaligus kawan dekatnya selalu bertanya hal  yang tidak perlu ditanyakan. Nyatanya dia tahu Pilar sedang membetulkan ukulele, yang senarnya putus dua.

Satu senar berhasil diperbaiki. Berfungsi semestinya. Satunya lagi, masih belum bisa. Karena senar yang dimilikinya hanya satu, jatah yang seharusnya untuk senar yang putus lebih awal. Padahal boleh saja hari ini dia membeli senar lagi. Apa boleh buat, dia tidak ingin sepanjang maghrib rutin dimarahi Bapak hanya gara-gara senar.

"Sini! Biar aku saja yang membetulkan." Bonde mengambil alih ukulele yang sedang di pangkuan Pilar. Lantas mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Ah! Itu senar.

"Bagaimana aku mengganti uangnya, Bonde?" Hanya soal uang Pilar merasa kaku. Cemas. Khawatir pula bapaknya akan kembali memarahi jika ketahuan membeli senar.

"Hei! Tidak usah khawatir. Kau boleh mengganti jika kau sudah sukses nanti. Akan ku doakan kau sukses, agar aku tidak rugi sudah mencarikan senar ini untuk gitar kecil butut yang suaranya sumbang." Bonde terkekeh. Pilar hanya nyengir, memukul pundak Bonde.

"Mungkin kita terlalu kecil untuk sukses sekang, Pilar." Bonde sejenak diam. Menerawang padatnya jalanan. Kalimatnya sok bijak, sok dewasa. Tapi, dia spontan berucap kalimat yang lebih dewasa dari usianya. Hanya tiba-tiba terlintas.

Pilar menoleh. Tidak mengerti maksud kawannya. Yang ditoleh malah menatap.

"Kau baik-baik saja, Pilar? Ukulelemu sudah ku perbaiki. Sekarang aku mengijinkanmu memainkannya." Pilar mengangguk. Patah-patah memetik senar ukulele.

Suaranya terdengar lebih baik dari sebelumnya. Meski tidak sebaik suara ukulele yang masih baru.

"Terimakasih, Bonde." Bonde mengangguk tersenyum.

"Hari ini aku ingin ikut mengamen denganmu. Kau setuju? Aku bosan jika harus mencuci piring-piring tukang nasi padang itu. Tanganku terasa panas sepertinya tadi malah mencuci piring dengan sambal." Pilar tersenyum, mengangguk, mengiyakan.

Mereka berdua berjalan bebarengan. Menunggu di halte, menunggu bus yang berhenti untuk di loncati.

Dua bocah kumal bersenandung di dalam bus. Bonde sebenarnya tidak pandai bernyanyi. Terkadang tidak bisa mengontrol tinggi-rendah suara. Seringnya justru menghancurkan lagu.

"Hei, Nak! Biar kawanmu saja yang menyanyi. Suaramu seperti jeritan zebra yang terlindas. Bahkan lebih buruk." Bapak-bapak yang sedang tidur saja sampai terbangun. Yang dihina malah terus bernyanyi tidak peduli. Pilar justru malah menertawakan. Iringan ukulelenya pun ikut sumbang karena malah menertawakan temannya ini.

Hari ini hasil mengamen dibagi dua dengan Bonde. Sebenarnya Bonde tidak ingin menerima. Ia hanya bermaksud melepas bosan selalu bertemu dengan piring-piring kotor dan banyak lemak yang susah hilang.

Pilar memaksa. Ia tak tega melihat Bonde jika tidak mendapat jatah dari hasil mengamen yang mereka lakukan bersama.

Mereka beristirahat di halte. Menghitung recehan di dalam bungkus plastik, bekas permen.

"Apa jatah uang hari ini lebih buruk dari kemarin, Pilar?" Pilar menggeleng, tersenyum. Kembali menghitung recehan. Kebanyakan uang yang mereka dapat adalah koin, ada beberapa uang lembaran, hanya saja lebih banyak bergambar Kapten Patimura.

"Hari ini dua kali lipat dari hasil kemarin. Ini bagus." Pilar tersenyum bangga. Kembali lagi ia memasukkan uang receh nya ke dalam plastik.

"Itu semua karena aku ikut mengamen denganmu. Seharusnya kau berterimakasih amat banyak padaku. Hari ini kau berhutang lagi. Tapi tenang, kawan. Sekali lagi aku tidak akan tega memintamu menggantinya saat ini juga. Akan ku tunggu kau sukses, biar kau menggantinya lebih banyak." Bonde merangkul Pilar. Menepuk-nepuk bahu. Pilar malah mencibir. Tapi tidak apalah, semoga doa kawannya ini dikabul. Biar saja sekarang bersarang di langit-langit, mungkin sedang antri, menunggu terjawab oleh Sang Pengabul Doa.

Pilar HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang