Hari ini Pilar mengamen di daerah stasiun. Ia hanya ingin mencoba beberapa tempat yang berbeda. Bosan harus bernyanyi di dalam bis. Khawatir supir bis sudah bosan setiap hari bertemu wajahnya.
Bonde tidak ikut. Ia kembali sibuk dengan piring-piring berlemaknya.
Pilar menduga, jika jatah uang yang akan didapatnya di stasiun akan lebih banyak bila dibandingkan dengan mengamen di dalam bis.
Sebenarnya ini kali pertamanya mengamen di stasiun. Banyak orang berlalu lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Seperti membawa koper yang besar, ada yang kewalahan membawa oleh-oleh turun dari kereta, ada yang melakukan ritual perpisahan, menangis berpelukan, ada pula yang cengengesan menertawakan orang yang sedang tidur di tempat tunggu karena posisi tidurnya yang tidak layak. Dan masih banyak lagi, tiap orang berbeda kesibukannya.
Pun Pilar ikut sibuk pula. Sebenarnya ia sibuk untuk mencari target memulai mengamen. Khawatir karena sibuknya semua orang di stasiun justru tidak berkesempatan memberi kencring untuk bocah dekil ini. Jangan-jangan dugaan nya keliru, jatah uang yang didapat di stasiun justru lebih buruk dari yang didapatnya di halte.
Terlanjur. Kaki telanjang nya sudah mendarat di stasiun. Apa salahnya mencoba? Boleh jadi, meski sedikit orang yang memberi, semoga saja di antara pemberi tersebut memberikan selain uang koin atau uang bergambar Kapten Patimura. Sebut saja gambar tokoh proklamator, Soekarno-Hatta.
Mondar-mandir ia berkelana ke tiap orang yang berbeda. Hasilnya sama. Bahkan orang-orang lebih memilih menghindarinya. Tau akan mengamen, dengan ukulele butut di tangannya.
"Kenapa susah sekali hari ini. Dugaanku salah." Begitu alamiah manusia, senang menduga-duga.
**
"Duh!" Pilar menabrak seorang gadis. Usianya kira-kira berbeda lima tahun darinya. Rambutnya dikucir dua. Berwajah peranakan.
Mata kecilnya berkaca-kaca. Merasa takut. Mengkhawatirkan. Kulit putih lembutnya, merah padam. Ekspresi menyedihkan. Apapun itu, dia patut dikasihani.
Pilar bingung. Kenapa gadis ini menangis? Apa Pilar tidak sengaja menginjak kakinya, atau wajah kumal Pilar yang mungkin terlihat menakutkan.
"Kau.. kau kenapa?" Ragu-ragu Pilar bertanya. Takut gadis ini berteriak dan menduganya adalah penculik.
Gadis itu justru benar-benar ketakutan. Tangisnya pecah. Astaga! Ini membingungkan.
"Aku bukan orang jahat. Jadi berhenti menangis. Jangan-jangan orang akan menduga aku akan berbuat buruk. Aku tidak seperti itu. Jadi kumohon jangan menangis." Gadis itu mulai tenang. Tapi masih sesegukan, mengatur nafasnya.
"Kalau begitu, aku pergi saja. Banyak urusan penting." Tiga langkah dari tempat gadis itu berdiri, tangannya menarik baju dekil Pilar. Gemetar. Sungguh, ekspresi ketakutan.
"Tolong." Suaranya parau. Gadis itu kembali menangis. Matanya menyisakan garis horizontal saat menangis.
"Bunda.. bundaku. Aku..tidak tahu." pecah lagi tangisnya. Kalimatnya terbata-bata.
Pilar menerka-nerka masalahnya. Sepertinya ia paham.
"Seperti apa dia?" Pilar bertanya serius. Menggenggam bahu gadis itu.
"Tas kulit berwarna coklat. Mengenakan seragam guru berwarna abu. Wajahnya mirip denganku." Matanya menerawang, mendeskripsikan bundanya. Tanpa babibu Pilar memulai pencariannya. Lengan gadis bermata sipit itu ia genggam kuat-kuat.
Pilar menerawang isi stasiun, namun yang dilihatnya bukan orang yang memiliki ciri sama dengan yang disebutkan gadis bermata sipit.
Kakinya pegal. Dua jam pecarian masih nihil. Gadis bermata sipit itu kembali merengek. Ia takut. Sangat takut. Terlalu kecil ia berpisah dengan bundanya.
Pilar gemas. Tapi kasihan. Dua jam berlalu ia sibuk membantu gadis yang ditabraknya, tapi nihil. Sementara matahari sudah hampir tumbang. Jatah dua jam mengamennya hilang.
"Kau jangan menangis. Perutmu pasti lapar. Biar aku belikan roti murahan di warung sekitar sini. Kau tunggu disini, dan jangan pergi. Aku tahu kakimu lelah. Ini perintah, kau harus turuti jika ingin selamat." Gadis bermata sipit itu mengangguk, tetap dalam keadaan takut.
**
"Jadi berapa? Aku ambil dua roti dan dua gelas air mineral."
"Tujuh ribu." Pilar merogoh saku celananya. Mengambil uang koin yang ditampungnya. Menghitung koin-koin tersebut.
Astaga! Uangnya kurang.
"Aku hanya punya lima ribu." Ibu-ibu warung kelihatan sewot, tidak suka. Dasar pengamen! Menduga itu hanya akal-akalannya saja agar bisa dikasihani.
"Saya saja yang bayar." Pilar menoleh. Siapa pula orang baik dengan suara lembut yang mau memberi tambahan dua ribu ini.
Yang ditoleh tersenyum. Senyumnya manis, matanya segaris. Berkulit Putih. Wajah Peranakan yang terlihat lelah. Seragam guru berwarna abu dengan tas kulit coklat menggantung di lengan kirinya. Oh astaga! Apa benar?
"Kau..apa itu... ini benar." Orang dengan wajah peranakan itu kebingungan. Apa pula yang dibicarakan anak dekil ini? Kenapa kalimatnya terputus-putus.
Pilar berlari menuju gadis bermata sipit. Gadis itu mukanya pias. Duduk di bangku sendirian. Matanya mulai layu.
"Ku mohon, ikut aku sekarang!" Pilar menarik lengan gadis bermata sipit. Gadis itu terhenyak. Badannya lemas. Lalu tersungkur. Oh astaga.
Suara hentakkan sepatu berhak terdengar mendekatinya.
"Anakku!" Orang dengan wajah pernakan itu mendekap gadis bermata sipit. Menangis sejadi-jadinya.
"Maafkan, Bunda! Bunda lalai!" Gadis bermata sipit itu setengah sadar membelai pipi lembut bundanya. Berkata lirih.
"Bu..n..da." Wajah putihnya pias. Setelah merah padam ketakutan, badannya malah mengigil.
"Bantu aku, carikan taksi!" Orang berwajah peranakan itu terburu-buru berdiri. Berkemas. Pilar tanpa diperintah dua kali sudah lari seperti kuda perang.
Hitungan menit, taksi sudah sampai di gerbong stasiun. Orang berwajah peranakan sudah masuk taksi. Tanpa menunggu waktu, taksi melesat. Hilang di balik pintu gerbang stasiun. Bahkan lupa berucap terimakasih pada Pilar, bocah dekil dengan ukulele usangnya. Pilar tersenyum kecut. Biarlah. Ibu selalu mengajarkannya arti ikhlas.
Maka disinilah Pilar paham, betapa berharganya ucapan terimakasih yang terdengarnya disepelekan. Tapi terserahlah. Mungkin mereka lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hidup
Teen Fiction"Berjanjilah, Nak! Kau akan buat Ibu bangga. Berjanjilah, Pilar! Jangan cemaskan hari ini. Boleh jadi, esok lusa kau yang siap memimpin dunia." "Maafkan Bapak kau, Pilar! Sungguh, Bapak teramat malu. Sisa waktuku hanya digelung penyakit, tergeletak...