Petang itu saat lampu-lampu kota mulai dinyalakan. Burung camar bergulung riang kembali ke sangkar. Renyah jingga mengelok siluet gedung-gedung pencakar langit. Dengan perasaan yang masih membuat Pilar senang. Belajar. Pilar belajar. Mungkin baginya sebelum Bonde memiliki ide nekad itu, bisa jadi setelah ini belajar menjadi kesibukan baru yang menyenangkan.
Tiga sampai empat kali dalam seminggu mereka berulah mengunjungi sekolah itu lagi. Sebenarnya mereka hanya berani ketika satpam penjaga sekolah sedang tidak ada di pos gerbang sekolah. Entahlah kemana perginya satpam itu, lari dari tugas atau bagaimana. Malah justru itu berita baik bagi mereka.
Sudah empat minggu mereka mencuri-curi kesempatan belajar. Pilar ternyata lebih cepat menangkap apa yang diajarkan Ibu guru dibanding Bonde. Usia Pilar sembilan tahun, Bonde sebelas tahun. Pilar tertinggal tiga tahun, Bonde lima tahun. Tapi, Pilar sudah bisa baca dengan lancar. Tentu saja Pilar selalu melatihnya. Setiap kali ada huruf-huruf menyusun kata, entah di stiker bus iklan makanan, di tiang listrik iklan untuk mencari pekerjaan, di tiap pakaian orang-orang yang memiliki tulisan pokoknya Pilar baca. Kadang sedikit kesusahan ketika ada tulisn berbahasa asing, yang membuatnya kesulitan membaca dan tidak paham.
Tiga kali pertemuan terakhir ini Pilar justru telah mencatat semua yang dipelajarinya di buku tulis. Pilar membeli alat-alat tulis dengan menyisihkan uang hasil ngamen sehariannya. Kembali lagi Pilar memilih berpuasa seharian. Beruntung Bonde memberinya nasi dan bumbu rendang. Lalu mereka makan bersama. Nikmat memang berkawan dengan orang yang tahu betul apa yang dirasakan kawannya.
Bonde pula sama, ikut mencatat semua apa yang dipelajarinya. Bonde terbilang lamban membaca jika dibanding Pilar. Tapi, kelebihannya tulisan Bonde jauh lebih baik dari Pilar. Tulisan sambungnya sudah sangat rapih. Mungkin sebab Bonde gemar menggambar jadi gerakan tangannya tidak kaku. Iya memang menggambar, tapi hanya dipasir saja diukir dengan batu-batu kecil.
Selain itu mereka juga belajar berhitung. Ini menjadi kesukaan Pilar setelah bernyanyi. Semuanya terasa mudah. Tapi, tidak dengan Bonde yang justru sedikit kesulitan. Lebih banyak bingung, bagaimana bisa hasilnya begitu. Mungkin Pilar lebih terbiasa menghitung uang hasil mengamen ketimbang Bonde yang lebih tahu mana piring bersih dan mana piring kotor. Sebenarnya semua orang pasti sudah bisa membedakannya.
"Aku yakin tulisanku akan mendapatkan nilai A+ seperti anak perempuan kepang dua itu. Bahkan aku curiga, punyaku jauh lebih baik. Haha." Bonde selalu senang memuji hasil tulisannya yang tersusun rapi. Lihatlaha nasib tulisan Pilar, tidak simetris, bahkan keluar dari garis. Seringkali Bonde meledeknya. Pilar selalu saja bisa membela diri, ini hanya sedang terburu-buru saja.
"Sejak kapan kita diburu-buru? Memangnya kau disuruh mengumpulkan tugasnya lalu dikejar waktu? Santai sajalah. Ah dasar kau ini." Bonde menonjok bahu Pilar seenaknya. Tulisannya tersenggol. Berantakan lagi.
"Ah kau ini. Lihatlah tulisanku hampir sempurna rapi. Tidak keluar garis. Malah kau goyangkan." Pilar menggeretu sebal. Setengah napas Pilar tahan agar tulisannya bederet sempurna. Bonde justru malah tertawa. Kembalilah Pilar diledek oleh kawan dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hidup
Teen Fiction"Berjanjilah, Nak! Kau akan buat Ibu bangga. Berjanjilah, Pilar! Jangan cemaskan hari ini. Boleh jadi, esok lusa kau yang siap memimpin dunia." "Maafkan Bapak kau, Pilar! Sungguh, Bapak teramat malu. Sisa waktuku hanya digelung penyakit, tergeletak...