Selesai sembahyang isya, murid-murid asuhan Bapak bergegas. Melipat alat sembahyang masing-masing. Tergesa-gesa keluar. Sesekali mereka saling menjahili. Menyembunyikan sendal kawannya. Lantas berlarian tidak mau tahu. Bapak sering kali mengingatkan, berhenti saling menjahili. Menakut-nakuti, nanti Allah marah, nanti Allah tidak sayang. Tapi mereka tetap bengal, tidak peduli dan siapa peduli.
Sekarang Pilar yang terkena usilan mereka. Sendal bagian kanannya hilang. Susah payah ia mencarinya di tempat gelap. Padahal hanya sendal butut yang ditakdirkan untuk sepasang. Berbeda gambar, bentuk dan ukurannya. Keterlaluan sekali.
"Hei, Pilar! Besok kau ikut denganku ya. Satu jam aku akan pinjam waktu mengamenmu. Kau setuju?" Pilar mengabaikan ajakan Bonde. Ia sama sekali tidak menoleh. Sibuk mencari sendalnya yang tidak sepasang kena usil.
Bosan memperhatikan temannya yang sibuk mencari sendal. Bonde melemparkan sesuatu ke arah Pilar.
Tepat di keningnya. Pilar mengaduh kesakitan. Lantas sadar, benda apa yang menimpuknya.
"Ah jadi kau yang menyembunyikan sendalku." Pilar mengacung-acungkan sendalnya. Berusaha memukul Bonde.
"Hei mana aku tahu. Benda jelek itu ada di samping saat aku duduk." Bonde menghindari. Meminta ampun. Dia jelas tidak tahu-menahu. Malah di salahkan. Boleh saja dia melaporkan karena sudah difitnah. Tapi apalah daya, dia tak tega kawannya yang dekil ini dikurung. Belum cukup umur.
"Aku bersungguh-sungguh, Pilar! Bukan aku. Mana berani aku berdusta." Bonde bersungut-sungut. Membela diri.
"Baiklah aku percaya." Pilar menurunkan sendalnya. Mengenakannya di kaki kotor karena banyak dakinya.
"Jadi kau mau mengajakku kemana tadi?" Pilar duduk di sebelahnya. Melipat sarung.
"Ini kejutan. Kau lihat saja nanti. Itupun jika kau setuju. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku pastikan kau akan rugi jika tidak ikut." Wajahnya dibuat serius agar kawannya yang sama dekil percaya dengan ucapannya.
"Lihat saja nanti. Kau tahu sendiri aku ini orang sibuk." Pilar berlagak menjadi orang yang terlihat penting.
"Sudah ku duga, Kawan. Kau sibuk bergelut dengan terik matahari." Bonde bergurau.
**
"Kau tidak bekerja, Bonde? Matahari masih belum tegak, kau berani mengajak putraku bermain?"
"Nanti mungkin jika sempat, Pak. Aku minta ijin meminjam Pilar, hanya ingin memberinya kejutan kecil saja. Sebagai kawannya yang baik, sesekali bolehlah aku membesarkan hatinya." Bapak bingung melihat bocah yang sama dekil dengan putranya berkata demikian.
Pilar keluar dari gubuknya. Setelannya tetap begitu saja. Baju kumal meski sudah dicuci dengan robekan dibagian lengan sekitar lima belas mili. Cemas-cemas melihat raut wajah bapaknya. Khawatir kemungkinan dimarahi, sebab Bonde tidak biasanya berkunjung di saat waktunya bekerja.
"Titip putraku ya!" Bapak menepuk-nepuk pundak Bonde. Yang ditepuk nyengir, mengangguk. Pilar bernafas lega. Syukurlah, kemungkinan dimarahi tiap maghribnya tidak terlalu mengkhawatirkan.
"Jadi kita mau kemana?" Pilar menyetel senarnya, memperbaiki suaranya agar tidak terlalu terdengar sumbang.
"Sudah ikut saja." Bonde santai. Pilar mengikuti arah Bonde. Sepertinya jalan yang ditempuhnya terlihat asing. Masuk gang kecil, melewati rumah warga, bertemu jalan raya.
"Gerbangnya dibuka." Bonde mengendap-endap. Pilar malah terlihat bingung. Ia masih belum mengerti tujuan Bonde.
"Kita masuk ke sana." Bonde menunjuk bangunan berlantai dua.
"Maksudmu, sekolah?" Pilar terlihat cemas. Bonde mengangguk mengiyakan.
"Kau gila, mana boleh aku mengamen di sekolahan. Mereka pasti akan mengusir pengamen. Toh aku jarang sekali mendengar pengamen bernyanyi di sekolah." Pilar memutar arah. Bonde berusaha mencegahnya, lengan Pilar ditarik, diajak berlari. Pilar berusaha melepaskannya.
"Aku memang mencari uang. Tapi tidak di sini, Bonde!" Pilar melotot, mengibaskan pegangan Bonde. Bonde malah tertawa. Menyentil telinga Pilar, ini adalah kebiasan Bonde. Usianya dua tahun lebih tua dari Pilar membuatnya merasa sok dewasa.
"Siapa pula yang mengajak mengamen? Kebiasaan manusia selalu begitu. Senang menduga-duga, padahal belum jelas apa yang sebenarnya terjadi." Pilar bersungut-sungut. Mengusap telinganya yang kesakitan.
"Kita ke sini untuk belajar." Pilar semakin bingung. Ini di luar perkiraannya.
"Gerbangnya dibuka, pertanda baik untuk kita."
"Apanya yang baik? Kita ke sini tidak berseragam, tidak punya alat tulis. Malah compang-camping."
"Kau ini banyak bicara. Kita hanya mendengarkan guru di luar saja, lalu kita simpan apa yang kita dengar di otak. Oh ya kau punya otak kan?" Bonde usil menunjuk-nunjuk pelipis Pilar. Pilar mengibaskannya.
Bonde menarik-narik pergelangan Pilar, berlari-lari kecil.
"Ini gila! Bagaimana jika.." Belum selesai Pilar berbicara, telapak tangan Bonde mengepal mulut Pilar.
"Kau ini macam ibu-ibu penumpang bis saja, banyak berbicara, banyak mengeluhnya. Sudahlah tidak usah berisik, kita aman selama tidak ada yang tahu." Telapak tangannya melerai. Mengelap ke celana coklat penuh debunya. Mungkin air liur Pilar menetes di telapak tangannya.
"Dasar bocah! Ketahuan sekali kau jarang sikat gigi. Tanpa ku cium pun, aromanya seperti kau tidak pernah mandi sewindu. Bisa jadi lebih dari itu."
"Bagaimana mana kau tahu jika aku tidak pernah mandi sewindu?" Pilar bersungut-sungut. Tidak rela bau ilernya diledek.
"Ah sudahlah. Kau ini buang waktu saja." Bonde berjalan kebingungan seperti sedang mencari-cari ruangan yang pantas untuk ia memulai belajar.
"Aku tidak ikut saja!" Pilar berhenti di belakang Bonde. Lantas Bonde mengernyit sebal.
"Kau ini bengal sekali, hah? Sudah menurut saja. Kau akan rugi jika tidak patuh." Bonde berusaha sebisa mungkin membuat Pilar yakin. Bahwa ini adalah kejutan kecil untuknya.
"Baiklah, demi menghargai niat baikmu. Aku ikut." Bonde sumringah, setidaknya walau Pilar terlihat terpaksa.
"Kita ke jendela sana! Itu jendela kelas satu. Siapa tahu kita bisa mengikuti pelajarannya. Ah, aku tidak sabar, Pilar." Bonde antusias sekali. Ia mengendap-endap, menggiring lengan Pilar.
"Lihat, kita simak baik-baik apa yg ibu guru itu ajarkan. Hati-hati jangan sampai mereka melihat kita. Ini pelajaran kelas satu SD. Perhatikan saja dan simpan dalam otakmu. Kau paham?" Pilar mengangguk, mengiyakan. Untuk pertama kalinya Pilar merasakan sekolah. Walau tanpa seragam, alat tulis lainnya. Serta tidak secara langsung Pilar merasakan bangku jati di dalam kelas itu, bertatap langsung dengan guru.
Lonceng bel sekolah berbunyi nyaring. Mereka bergegas pergi, sebelum akhirnya ada yang melihat dan akan mengusirnya.
"Nah seru bukan? Masih ada jatah untuk mengamen. Dan aku akan kembali menghabisi lemak di piring."
Pilar tersenyum sumringah. Tidak ada kata menyesal untuk hari ini menyisihkan waktunya bersama kawan dekatnya. Pilar mengangguk. Ini menyenangkan. Belum pernah Pilar merasakan senangnya belajar. Mengenal huruf, lalu mengejanya. Mengikuti apa yang Ibu guru tadi ajarkan. Bonde benar, ini seru sekali. Keseruan yang baru bagi Pilar adalah belajar. Walau hanya melindap di jendela kelas satu. Beruntung jendela itu tidak terlalu tinggi. Dan lebih beruntung lagi tidak ada yang tahu keberadaan mereka sejauh ini.
Kembalilah mereka ke rutinitas masing-masing. Pilar dengan ukulele menjelajah ibu kota dengan lagu-lagunya. Pun Bonde kembali menggeluti barang-barang kaca, membersihkan gelas, piring di warung nasi Padang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilar Hidup
Teen Fiction"Berjanjilah, Nak! Kau akan buat Ibu bangga. Berjanjilah, Pilar! Jangan cemaskan hari ini. Boleh jadi, esok lusa kau yang siap memimpin dunia." "Maafkan Bapak kau, Pilar! Sungguh, Bapak teramat malu. Sisa waktuku hanya digelung penyakit, tergeletak...