Part 9-Heartbreak

32.2K 1.3K 35
                                    

Rasya's POV

"Pak Budi, semalam Radit nggak pulang?" tanyaku sambil menuang teh ke gelas kecil, jam sudah menunjukkan pukul lima dan aku harus segera berangkat. Tadi pagi kuperiksa badanku sudah tidak lagi berwarna merah, ah bersyukurnya aku.

"Tidak Bu, Bapak ke mana memangnya Bu?" balas Pak Budi membuat aku memutar otak.

"Saya juga nggak tahu, semalam buru-buru banget," kataku sambil menggigit bibir.

"Ke kantor mungkin ya Bu," sahut Pak Maman. Kemudian aku mengangguk pelan, "Mungkin ya Pak," jawabku.

Hal pertama yang kulakukan tadi pagi adalah mencari Radit ke segala penjuru, tapi nihil, aku tak menemukan batang hidungnya.

"Bi, saya berangkat dulu ya. Saya tugas jam enam nih Bi," kataku sambil mengambil tas.

"Iya Bu, hati-hati ya Bu, jalannya masih gelap," balas Bi Inah. Aku mengangguk dan melambaikan tangan sambil tersenyum.

Sejak aku menikah dengan Radit, aku tak mempunyai nomor teleponnya, jadi aku tak bisa menghubungi dia. Ah mengapa aku harus khawatir berlebihan, batinku.

Aku sudah tiba setengah jam yang lalu di rumah sakit, aku bergegas menuju ruang transit dokter. Rival sudah ada di sana sambil tersenyum.

"Gini terus dong Sya tiap hari, nggak telat," katanya sambil setengah tertawa.

"Iya iya Pak Dokter," balasku sambil cemberut. "Aku visit pasien dulu ya," kataku pada Rival dan dibalas anggukan.

Beberapa perawat menghampiriku sambil tersenyum, aku balas tersenyum.

"Dok, ini ada pasien baru di ruang VIP I, kemarin malam masuk," katanya pelan. Aku membuka catatan pasien tersebut. Risa Vania.

"Oke, kita ke sana sekarang," balasku kemudian mempercepat langkah.

Perawat tadi mengetuk pintu ruang VIP 1, kemudian membukanya perlahan, seorang pria membelakangi pintu dan sedang mencium kening perempuan yang terbaring di banker. Aku tersenyum kecil, ah sungguh bahagianya pasangan ini.

"Selamat pagi Ibu Risa, pagi ini jadwal visit dokter," kata perawat yang datang bersamaku, namanya Zee, aku cukup akrab dengannya.

Laki-laki yang beberapa detik lalu membelakangi kami sudah berbalik, astaga! Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku pasti salah lihat! Tidak mungkin ada Radit di sini, halusinasiku sungguh berlebihan.

"Dit, sini dong," kata perempuan yang terbaring di banker.

Siapa? Dit? Aku sedang tidak berhalusinasi. Aku menatap Radit kemudian menghela nafas. Radit hanya diam mematung, mungkin dia sama kagetnya dengan aku.

"Dok?" tanya Zee membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh ke arahnya, kurasakan mataku memanas. Untuk apa Sya? Untuk apa kamu menangis? Hentikan semua harapmu untuk bisa bahagia bersama Radit, teriakku dalam hati.

"Cukup baik perkembangannya, Ibu jangan terlalu banyak bergerak dahulu ya, pagi ini akan kami rontgen ulang bagian kaki kanan," kataku mengakhiri. Hatiku sungguh kacau rasanya, aku memberikan catatan medis pada Zee kemudian bergegas keluar.

Zee berlari kecil mengikuti.

"Dok, apa sedang nggak enak badan?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aku menggeleng, "Masih berapa pasien Zee?" balasku. "Lima belas dok," jawabnya cepat.

Lima belas pasien sudah selesai kukunjungi dan kuperiksa perkembangannya. Hatiku tetap sakit rasanya jika terlintas ingatan tentang Radit yang sedang mencium kening..ah aku lupa namanya. Aku memang tak tahu apapun tentang Radit, tentang apa yang dia lalui sebelum kami menikah, tentang apapun aku tak tahu.

Tak terasa butiran air mataku jatuh. Hentikan Sya, rutukku dalam hati.

Radit's POV

"Selamat pagi Ibu Risa, pagi ini jadwal visit dokter," kata perawat yang datang. Aku melepas tangan Risa yang sejak tadi menggenggamku dan berhenti mencium keningnya.

Aku melihat Rasya berdiri bersama seorang perawat di sampingnya, aku sungguh terkejut melihatnya. Ah betapa bodohnya aku, inikan rumah sakit tempat Rasya praktek.

"Dit, sini dong," kata Risa yang membuat Rasya terdiam.

Rasya menatapku beberapa saat, aku hanya diam mematung melihatnya. Aku tidak tahu bagaimana harus menyikapi ini.

"Dok?" kata perawat di sampingnya, membuat Rasya tersadar dan segera berjalan kemudian memerika Risa.

Aku menghela nafas melihatnya. Kulihat mata Rasya berkaca-kaca setelah itu.

"Cukup baik perkembangannya, Ibu jangan terlalu banyak bergerak dahulu ya, pagi ini akan kami rontgen ulang bagian kaki kanan," katanya setelah memeriksa Risa. 

Aku tetap diam dalam posisiku. Dasar bodoh Radit, batinku. Rasya bergegas keluar tanpa melihat ke arahku, perawat yang datang bersamanya melakukan hal yang sama setelah memeriksa infus Risa.

"Dit, istrimu nggak papa tadi malam kamu nggak di rumah?" tanya Risa membuat otakku berhenti berfikir. Aku melihat ke arahnya.

"Nggak tahu Ris, aku keluar sebentar ya," balasku, di kepalaku diisi penuh oleh bayangan Rasya yang menatapku dengan terkejut.

Apa yang harus kukatakan padanya? Mengapa aku sungguh khawatir? Mengapa aku takut kehilangan...ah ini tidak mungkin.

Menit sesudah itu aku setengah berlari keluar dari koridor ruangan VIP, kucari Rasya ke seluruh penjuru, tapi aku tak melihatnya sama sekali. Oh, dia pasti sedang visit pasien di ruangan VIP juga, batinku. Aku berlari kembali ke ruangan VIP, namun nihil, aku tak menemukan dia.

Aku menarik nafas panjang, aku sungguh takut Rasya marah padaku.

Baru saja kemarin kami berdamai tentang keadaan ini.

Aku menyandarkan tubuh pada dinding, kemudian berjalan pelan kembali menemui Risa. Aku harus menjelaskan pada Risa bahwa aku tak bisa meneruskan hubungan ini, aku sudah menikah, dan aku tak bisa melepaskan Rasya begitu saja.

Updatenya sekalian dua part soalnya sedikit hehehe

Happy reading^^

Saya lihat ada yang baca aja udah seneng banget

Walau ini masih jelek banget dan abal-abal huhuhu

Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang