Seanna mempercepat aktivitas memakai baju ketika melongok jam dinding. Sudah hampir jam tujuh. Tadinya dia berniat membantah Arland dan akan naik taksi saja ke rumah orangtua Arland, tapi karena Arland menyuruhnya dengan nada bicara khawatir, dia tidak pikir panjang lagi, ngebut naik ke atas untuk mandi dan ganti pakaian. Piyama sudah masuk ke keranjang pakaian kotor, kemudian dia beralih mengambil tas kecil yang tadi diletakkan di meja rias.
Arland yang sudah menunggu di dalam mobil ternyata sudah membukakan pintu untuknya. Seanna merunduk memasuki mobil dan duduk sambil merapikan ujung rok.
"Tadi, yang kamu nyuruh aku resign, serius?" tanya Seanna setelah mobil melaju keluar dari jalan kompleks perumahan.
"Kamu nggak bisa kerja di Kirei kalo Adit masih ngejar-ngejar kamu."
"Trus, memangnya pindah kerja bisa ngejamin Adit nggak ganggu aku lagi?" Seanna balik bertanya.
"Udahlah, nurut aja kenapa sih? Lagian kalo dibandingkan gaji kamu di Kirei juga masih banyakan gaji staf HRD kantorku."
"Ya, kamu bandinginnya nggak imbang sih." Seanna setengah menggumam, tapi diam-diam mengiyakan.
"Makanya, dipikirkan dulu." Arland menekan pedal gas saat mobil mendekati lampu merah, dan kini mereka bergabung bersama deretan kendaraan lain dan pengendara yang menunggu lampu hijau dengan tidak sabaran. "Lagian kualifikasi pendidikan kamu kan cocok? Manajemen. Iya kan?"
"Akuntansi. Tuh kan lupa lagi? Kamu aja yang MBA bisnis di Texas aku masih ingat." Seanna memanyunkan bibirnya.
"Gitu? Sori, lupa." Arland menunjukkan raut sedikit menyesal karena infonya meleset. Dia mengetuk-ngetuk setir dengan kedua telunjuk. "Jadi? Kapan kamu resign? Abis itu siapin berkas-berkas kamu, nanti aku tanya Roni lagi, berkas apa saja yang dikumpul."
"Nanti dulu. Aku kan nggak bilang mau?"
"Ya, harus mau."
"Ih, kok kamu malah ngatur-ngatur gitu sih? Aku kan udah lama kerja di Kirei, nggak bisa langsung keluar gitu aja?" Seanna mengucapkannya sedikit ngotot.
"Jadi kamu lebih milih kerja di sana dengan resiko digangguin Adit tiap hari dan tiap hari juga kamu ngadu-ngadu soal si Adit itu?" Arland berdecak. "Sini kasih nomernya, aku ajak ketemuan, kasih ultimatum ke dia. Lagian tuh orang aneh ya? Udah tau kamu sudah nikah, masih digangguin juga."
Sebal. Arland mungkin sudah sampai pada tahap itu. Kalau cemburu sih, tidak mungkin.
"Nomernya udah aku hapus. Tapi dia kan pinter, suka pake nomer baru."
"Kalo gitu, nomer kamu yang diganti."
"Nggak bisa dong. Nomerku ini udah delapan tahun aku pake. Sayang kan kalo diganti?" Seanna berkilah, dan memang demikian adanya.
Siapa sih yang tidak sayang dengan nomer yang sudah dipakai bertahun-tahun? Bukan perkara harga nomer baru. Kartu perdana 5000 juga ada yang jual. Cuma, nomer yang awet semacam itu kan historisnya banyak. Oke, simpelnya nomer kontak di dalamnya sangat penting. Tidak terbayang kalau dia harus ganti nomer, kan repot harus menghubungi teman-temannya satu-satu untuk mengabari perihal ganti nomernya.
"Nanti aku ngomong ke mbak Sarah soal resign. Dan ingat. Kalo ada nomer baru, abaikan saja."
"Tapi...,"
"Nggak ada tapi." Arland mengunci percakapan mereka tentang topik seputar Adit.
Seanna mendadak diam.
"Jangan marah ya? Ini juga buat kebaikan kamu."
"Iya, iya."
Seanna juga yakin Arland melakukan tindakan protektif semata-mata demi keselamatan jiwa dan raganya. Dalam hati dia beruntung bisa mengenal Arland. Rasa-rasanya baru kemarin, dia meratapi soal Ervan dan kini, sejak menikah dengan Arland, batinnya jauh lebih tenang. Dia juga lebih banyak tertawa dan hidupnya jauh lebih rileks sejak bersama Arland. Soal apapun yang akan terjadi nanti, Seanna enggan memikirkan.
***
"Pagi, Paak."
"Pagi, Sinta."
Arland balik menyapa resepsionis paling cantik yang melemparkan senyum manis namun tetap sopan kepadanya. Bersama beberapa karyawan yang kebetulan datang secara bersamaan, langkahnya memacu cepat menuju lift.
"Pagi, Pak Arland," sapa Ria, salah satu staff HRD di bawah kepemimpinan Roni, yang kini berdiri di samping kanannya.
"Pagi juga, Ria."
Lift yang mulai bergerak ke atas, dengungan obrolan, dan sesekali melongok penunjukan jarum jam, adalah aktivitas harian yang diakrabi Arland selama empat tahun terakhir ini. Empat tahun, begitu banyak pengalaman yang didapat selama bekerja. Dan kini lompatan karirnya telah mengantarkan pada pucuk pimpinan.
Jika dia belum menikah, posisinya pun belum sampai ke sana.
"Duluan, Paak."
Ria dan dua orang lainnya berhenti di lantai 7, karena memang di lantai itulah letak ruang HRD. Masih dua lantai lagi sebelum sampai di lantai 9 yang menjadi ruang kerjanya.
Arland merogoh celana, saat ponselnya bergetar.
Ternyata Seanna.
Selamat bekerja, Pak Direktur
Sebuah SMS dengan emoticon simpel. Itu emoticon paling simpel dari semuanya. Terkadang emoticon yang dilampirkan beserta SMS jadi ramai, entah simbol apa saja.
Arland spontan tersenyum. SMS yang rutin dikirimkan Seanna setiap pagi, padahal dia bisa saja mengatakannya langsung.
Buang-buang pulsa saja.
Arland mengetikkan Yep, dan langsung mengirimkan kepada si pengirim SMS yang saat ini pasti sedang sibuk mengobrol dengan mama. Sejak memperkenalkan Seanna ke mama, ternyata mama langsung suka. Komentar mama saat itu, simpel.
"Manis. Cocok sama kamu."
Ponselnya bergetar kembali. Arland bersiap-siap menelisik lagi kira-kira SMS apalagi yang dikirimkan Seanna saat sebuah SMS dari nomer lain, masuk.
Arland? Apa kabar?
Arland hampir menjatuhkan ponselnya jika saja tidak segera mengembalikan kesadaran.
Kyra?
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage With Benefits (Terbit Namina Books)
RomancePertemuan tidak terduga antara Arland dan Seanna membawa mereka kepada sebuah hubungan yang sulit terdefinisikan. Aneh, jika bisa dibilang begitu. Hanya mereka yang mampu menerjemahkan perasaan masing-masing. Apakah pernikahan mereka hanya soal manf...