Jeritan Seorang Pengecut

314 20 17
                                    

Di depan jalan Setiabudi Bandung, dia bersandar di tembok sebuah gang sempit yang temaram. Cengkeraman dingin dan langit biru kelam memanjakannya. Puluhan manusia yang merokok tertangkap matanya, jelas sekali, pasti. Karena ... aku pun begitu, sedang melihat banyak manusia berpakaian wanita yang menumpangkan kaki sambil menyesap senyawa nikotin ke dalam dadanya.

Sedang apa aku? Entahlah. Aku hanyalah seorang remaja frustrasi yang mencari jalan yang benar-benar cocok untukku.

Kemeja biru bermotif kotak membalut tubuhku yang kurus meski tak kering. Maksudku, benar-benar tidak kering. Harfiah.

Kuusap sekali rambut panjang sebahu yang tidak kuurus, meskipun memang khusus hari ini kubilas shampo agar wangi. Kuharap, aroma AXE Black ini tidak akan mengganggunya, menutupi wajahku yang dipenuhi oleh bekas jerawat.

Ada resah, ada bimbang, jantung menggedor meminta aku pergi saja. Ada pula secarik kertas di tanganku, yang beberapa kali kuremas dan kubuka kembali. Sebuah nota transfer uang ke rekening seseorang yang sekarang sedang kutunggu. Ini uang muka, katanya. Makanya, aku sanggupi saja.

Aku bukan orang kaya. Kerjaku hanya diupah sejuta setengah setiap bulan. Lelahnya, sakitnya, semuanya tidak dapat terbayarkan oleh uang sebesar itu. Hanya sebesar itu. Tidak adil, bukan? Dunia memang tidak adil. Semenjak lahir, aku selalu ditempatkan di tempat yang salah.

Dan aku tidak percaya aku akan menghabiskan sepertiga dari gajiku untuk meminjam delapan jam waktunya. Aku tidak percaya.

Sekali kukibas rambut yang semenjak tadi dilibas angin sehabis hujan. Aku berpikir, apakah memang menjadi pria itu nikmat? Namun, sedikit pun tidak terlintas di pikiranku untuk melakukan itu. Hal yang terpenting bagiku sekarang adalah menemuinya. Aku harap dia bersedia. Aku harap dialah kunci masalahku.

"Aku benci pria!" Andai aku bisa berteriak seperti itu sekarang. Aku benar-benar benci kendati aku seorang pria. Aku bahkan membenci diriku. Tahu kenapa? Ego. Harga diri. Amarah. Kekerasan. Seks. Apa bagusnya?

Ayahku pemabuk. Penjudi. Ulung dia, soal itu. Gadaikan rumah, menjual properti, melakukan apa pun yang melanggar hukum. Jahat.

Tahu? Ibuku mati disiksa habis olehnya. Aku bahkan tidak tahu di mana dia dikuburkan karena yang aku tahu, tubuhnya tidak ditemukan.

Semenjak hari naas itu, aku menjadi anak bajingan pembunuh. Tidak, sejatinya aku juga bertanggung jawab soal itu. Sejatinya, jika aku tidak ada, ibuku pasti tidak perlu mempertahankan pernikahan jenaka itu, dan tidak perlu harus bersabar hanya untuk dijual.

Aku menggeleng, menunduk. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan kecuali menunggu kunciku. Atau, apa aku pergi saja? Tidak, jangan. Aku harus menunggu.

Dan dia datang ketika rintik hujan kecil menitik di atas kulit tanganku. "Kinan?" panggilnya, dan aku hanya menoleh, lalu mengangguk.

Terlalu gelap untuk dapat kulihat dia sedang apa. Aneh, dia bisa melihatku di dalam kesuraman ini. "Ini aku," jawabku. Tidak kutanyakan kenapa dia bisa melihatku.

"Ayo," ajaknya. Dia merangkulku, membawaku berdiri. "Maaf lama, ya!" Suaranya manis, benar-benar kewanitaan.

"Tidak apa-apa," jawabku. Dia lebih tinggi dariku, sekitar sepuluh sentimeter. Langkahnya cepat padu, sementara aku melangkah gontai. Memasuki jalanan besar bermandikan cahaya, rintik air di udara terlihat jelas tertarik gravitasi.

Aku mendengkus, tidak sengaja terlalu kencang. Dia menoleh, dan barulah jelas kulihat kalau dia begitu cantik. Pulasan riasan wajahnya benar-benar manis, tidak dipaksakan, tidak berlebihan. Segalanya natural.

"Kenapa? Tidak senang?" Dia sedikit memberengut, dan kujawab dia dengan senyuman dan sebuah lambaian tangan.

"Bukan begitu," sambungku. "Aku hanya terlalu banyak pikiran."

Apex Predator - Kumpulan Cerpen [10/10 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang