Berlian Herdion

125 10 0
                                    

Seorang remaja lelaki mendengar gadis meminta tolong. Anak itu tak bisa abai, dan memutuskan untuk turun dari kudanya. Arah suara terdengar tak jauh. Tak sampai semenit kini berlalu, dan kedua matanya menangkap punggung gadis itu, yang hanya duduk di tengah hutan dengan kaki yang berdarah bercucuran.

Anak laki-laki berpembawaan tenang itu langsung berlari dengan santai. Namun, kedua matanya tetap awas. Dia tahu, area ini dipenuhi perangkap beruang. Dia dan ayahnya sendiri yang memasangnya.

Anak lelaki itu hanya tersenyum di depan gadis yang sedang duduk. "Sedang apa di sini sendiri?" katanya. Gadis itu tidak menjawab.

Tangannya cekatan dan terlihat ahli. Dalam sekitar lima detik, kakinya sudah lepas. Darah mengalir lebih deras dari kaki gadis itu. Terdengar dia meringis, bersamaan dengan suara daun berdesik bak suara ombak di lautan.

"Terima kasih," kata gadis itu. Bicaranya cukup lancar, meski aksennya mengatakan kalau dia bukanlah orang daerah sini.

"Tunggu 'bentar. Belum beres." Anak itu berdiri, mengeluarkan segulung perban dan sebotol ramuan berwarna hijau. Botol kecil itu terlihat antik di mata si gadis berambut pirang keemasan.

"Gigit ini." Si lelaki memberikan perban pada si gadis. "Ini akan sakit," lanjutnya.

Tutup karet botol ramuan ditarik kencang oleh si lelaki. Isinya ditumpahkan, dan seketika gadis itu menjerit sekencang auman manusia serigala, tetapi tertahan karena perban. Tentu saja, jika tidak menggigit perban, aumannya akan bangunkan manusia serigala, atau beruang yang asli.

Sedetik berlalu, dua detik, dan darah serta luka di kakinya seperti menguap dan menghilang dari kulit. Gadis itu disembuhkan. Sambil tersenyum dan menghela napas lega, lelaki itu mengatakan, "Nah, sekarang kamu boleh berterima kasih."

Dan sebagai respon, gadis itu mengucap satu kata terima kasih dengan bahasa asing. Aneh, gadis itu tidak tersenyum.

"Sama-sama. Oh, iya. Kamu mau ke mana?" Sebaliknya, lelaki itu tersenyum, menjawabnya dengan bahasa lidah ibunya.

"Aku tidak tahu."

"Mau ikut ke kota?" Lelaki berdiri, menepuk bagian belakang celananya, dan mengulurkan tangan. Gadis itu menyambutnya dan mengangguk. Tak ada yang tahu apa yang ada di hati keduanya.

---

"Apa kamu tahu legenda tentang Berlian Herdion?"

Lelaki itu hanya mengangguk karena mulutnya penuh makanan. Kegaduhan memenuhi kedai. Namun, itu tidak menyurutkan semangat makan lelaki itu.

"Kamu percaya?"

Ada jeda sebelum ada jawaban. Jeda sekitar sepuluh detik yang rasanya amat lama. Di jeda itu, lelaki mengunyah dan menelan makannya. Dia lantas minum tergesa-gesa, barulah menjawab kalau dia sangat yakin dengan legenda itu. "Aku tahu itu ada."

Lelaki itu menunjuk mangkuk milik si gadis. Dia memegang tangan gadis itu, dan mendekatkannya ke mangkuk.

Makanannya hampir dingin. Namun, belum tersentuh sama sekali.

Sore itu dihabiskan dengan mereka berbincang-bincang. Meski begitu, masih terlihat amat jelas jauhnya jarak yang sengaja si gadis pasang dari lelaki yang berusaha menjadi temannya. Gadis ini misterius karena apa yang diucapkannya terdengar jauh dan begitu jauh dan amat sangat jauh dan asing bagi telinga lelaki itu.

Di satu waktu sebelum mentari mulai terbenam, dia berkata kalau rumahnya berlantai keramik. Lelaki itu hanya dapat membayangkan bagaimana ukiran-ukiran dan motif pada vas bunga keramik di rumahnya diterapkan di lantai rumah.

Di waktu lain ketika mentari sudah mulai mau terbenam, gadis itu mengatakan kalau di rumahnya, perapian tidak terletak di tengah ruangan. Bentuknya pun tidak sebesar milik lelaki. Akhirnya, lelaki itu bertanya, "Kamu orang mana, sih?" Gadis itu menoleh sebentar, dan kembali menatap mentari.

Dia menahan jawabannya dengan mulut yang gemetar. Dia menunjuk mentari, dan mengatakan kalau dunia yang dia kenal akan dapat ditemukan jika ada kapal yang mau membawanya ke arah matahari terbenam.

"Aku pesimis bisa kembali ke rumahku. Ibuku meninggal, dan aku diberi tugas untuk mencari ayahku yang katanya ada di daerah sini, dunia di mana mentari terbit." Suaranya terdengar sedih, punya emosi. Meski wajahnya sedatar manusia berwatak dingin, di matanya terlihat sekilas kesedihan.

Ketika melihat kenyataan itulah matanya melebar dan dia kaget. "Segala yang ada di balik senyumku adalah kosong. Aku tak pernah sepeduli dan seemosional dirimu. Aku tak punya hati." Itu yang dia katakan setelah bilang kalau dia amat kagum dengan dia. Untuk pertama kalinya, dia merasa punya emosi dan kepedulian. "Yang kutunjukkan kemarin hanyalah rasa tanggung jawab."

Gadis itu tak menjawab lagi. Entah apa dia bisa mengerti atau tidak. Yang jelas, wajahnya tetap kosong.

"Jadi, siapa namamu? Ah, nama ayahmu juga," kata lelaki. Dan mereka berkenalan.

---

Lelaki itu sudah memutuskan untuk membantu gadis ini. Dia membawanya ke rumah, dan mengatakan pada ayahnya kalau gadis ini butuh bantuan.

Kecantikan dingin itu diterpa api lampu minyak, sehingga tampak berkilauan. Untuk pertama kalinya dia tersenyum tipis dan meminta bantuan dari ayah lelaki itu.

Lelaki pergi, meninggalkan gadis dengan ayahnya karena ayahnya mengatakan ada yang harus dipertanyakan karena mereka harus hati-hati terhadap orang-orang asing.

---

Ketika kembali, gadis itu sedang duduk sambil menangis ... tidak juga. Setetes pun air mata tidak terlihat di matanya. Memang, keduanya berkaca-kaca. Namun, tak lebih banyak dari itu.

Gadis itu lantas bilang kalau dia akan pergi. Dan dengan itu, bahkan sebelum sempat lelaki berkedip mata, gadis berambut emas mengilap itu berubah menjadi sosok serigala purba, yang lebih besar dari anjing-anjing neraka.

Dan dia pergi setelah mata keduanya bertemu. Melompat keluar tanpa bicara, lalu menghilang ditelan malam. Bulu ekornya yang diterpa bulan adalah hal terakhir yang tertangkap matanya.

Pantai satu-satunya tempat dia merenung di kala malam. Pantai di kota kecil yang berpendapatan dari hasil tangkapan nelayan ini memang terkenal akan cantiknya. Rupanya elok, airnya wangi. Dan suara ombaknya bagaikan bunyi daun berdesik di tengah hutan lebat nan rimbun.

Dan di tengah debur ombak pasang yang terengah, secercah kilau menyulut perhatiannya.

Kakinya mendadak bergerak, padahal dia tertohok kaku semenjak gadis itu pergi. Gadis yang dia baru tahu adalah seorang Putri Purnama, leluhur bangsa manusia serigala.

"Gadis itu mencari ayahnya. Dan ayahnya adalah Putra Purnama yang kita bunuh tahun lalu. Apa yang bisa kita lakukan hanya menyuruh dia pergi, sebelum warga curigai kalau kita bersekutu dengan mereka," jelas Ayahnya tadi. Namun, lelaki itu tetap tak rela gadisnya pergi. Kagumnya itu telah berubah jadi cinta.

Cahaya itu menghilang ketika dia sudah selangkah dari sumbernya. Namun, sumbernya kini terlihat, sebuah berlian berbentuk satu tetes air berwarna biru langit transparan.

Tangan itu menggapainya. Dia tahu kalau itu Berlian Herdion.

Dia tak dapat tersenyum. Dia hanya bisa menggenggamnya, lalu duduk di tepi pantai. Abaikan ombak yang sentuh kakinya. Duduk di sana sepanjang malam.

Ayahnya datang esok hari. Dia tak tidur sama sekali. Hatinya gundah menatap ombak yang bergulungan. Dan mengatakan pada ayahnya apakah dia 'kan datang lagi?

"Kupikir tidak," jawab ayahnya, menggeleng pasrah.

"Dan kalau begitu aku berharap dia bisa kembali bahagia bersama kedua orangtuanya." Ucapan ini menyayat hatinya sendiri. Berlian Herdion mendadak mencair di tangannya. Namun, dia abai dengan itu.

Harapannya terkabulkan. Di tengah hutan ketika gadis itu berlari dalam bentuknya, serigala emas, dia tertembak sebuah panah bermata perak. Dia terjatuh, menghantam pohon. Lantas sesaat kemudian, nyawanya enyah dari tubuhnya.

Gadis itu kembali kepada kedua orangtuanya. Akan tetapi, tak ada angin yang dapat mengantar pesannya sampai ke telinga lelaki yang berharap di tepi pantai, di pagi hari yang amat damai.[]

Apex Predator - Kumpulan Cerpen [10/10 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang